Taubat adalah ikrar untuk kembali dan taat kepada Allah setelah penyesalan atas segala maksiat dan dosa yang telah diperbuat. Karena setiap manusia non-maksum tidaklah lepas dari maksiat dan dosa dalam menjalani hidup maka pertanyaan yang mengemuka ialah kapan taubat harus dimulai, dan dimulai dari mana?
Banyak orang memilih bertaubat setelah melewati usia muda, karena masa muda dipandang sebagai fase pergolakan hawa nafsu dan syahwat, dan masa tuapun dipandang sebagai fase di mana manusia lebih berkemampuan untuk menyucikan diri atau bertazkiyah. Benarkah demikian?
Jawabannya ternyata tidak demikian karena beberapa faktor sebagai berikut;
Baca: Munajat Taubat
Pertama, kebiasaan bermaksiat dan mengumbar syahwat di masa muda menjadi penghalang bagi tazkiyah di masa tua karena kebiasaan itu mengelamkan mati, mematahkan jiwa, dan mengeruhkan hati nurani. Akibatnya, taubat di masa tua akan jauh lebih sulit daripada meninggalkan dosa di masa muda.
Kedua, kelemahan yang terlanjur dominan dalam diri manusia di masa tua akibat pengumbaran dosa dan maksiat di masa muda membuatnya sangat sulit untuk bersabar menanggung beratnya beban tazkiyah dan perlawanan terhadap hawa nafsu.
Ketiga, banyak syahwat dan birahi yang cenderung semakin bergejolak di masa muda. Kalaupun gejolak ini dapat dikurangi atau diredam di masa tua dengan cara yang halal maka masih ada syahwat lain yang kian bergejolak dengan semakin bertambahnya usia. Manusia boleh tua, tapi ambisi dan angan-angan panjang (thulul amal) justru dapat semakin meremaja, sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah saw sebagai berikut;
Baca: Taubat Nasuha (1/5)
« يهرم ابن آدم ويشبّ منه اثنان: الحرص على المال والحرص على العمر.
“Anak Adam akan menua, tapi ada dua hal yang padanya justru meremaja; hasrat kepada harta dan hasrat kepada usia.”[1]
يهلك ـ أو قال ـ يهرم ابن آدم ويبقى منه اثنتان الحرص والأمل.
“Anak Adam akan binasa –atau menua- tapi dua hal padanya akan tetap bertahan; ambisi dan angan-angan.”[2]
حبّ الشيخ شابّ في طلب الدنيا وإن التفّت ترقوتاه من الكِبَر، إلاّ الذين اتقوا، وقليل ماهم.
“Kecintaan orang tua dalam mencari dunia senantiasa muda, meskipun kedua tulang bahunya berhimpitan satu sama lain akibat penuaan, kecuali orang-orang yang bertakwa, dan jumlah mereka sedikit.”[3]
Panjang angan dan pengumbaran hawa nafsu dalam pengertiannya yang mutlak jauh lebih destruktif daripada gejolak birahi atau hasrat seksual semata di masa muda. Amirul Mukminin Imam Ali as berkata;
ألا إنّ أخوف ما أخاف عليكم خصلتان: اتِّباع الهوى وطول الأمل، أمّا اتِّباع الهوى فيصدّ عن الحقّ، وأمّا طول الأمل فيُنسي الآخرة.
“Ketahuilah bahwa yang paling aku takutkan dari kalian adalah dua karakter; mengikuti hawa nafsu dan berpanjang angan. Mengikuti hawa nafsu menghalangi dari kebenaran, sedangkan panjang angan melupakan akhirat.”[4]
Adapun pengumbaran nafsu birahi hanyalah bagian kecil dari pengumbaran hawa nafsu secara umum.
Dengan demikian, tahdzibur ruh atau tazkiyah nafs sudah seharusnya dimulai sejak usia akil baligh atau awal usia remaja dan masa puber. Allah SWT berfirman;
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّر. . .
“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir.”
Imam Jakfar al-Shadiq as menyebutkan bahwa ayat ini merupakan celaan terhadap remaja usia 18 tahun.[5]
Tentu akan lebih baik lagi apabila seseorang dapat membina dirinya sebelum usia akil baligh agar langkahnya tidak tergelincir setelah memasuki usia akil baligh dan supaya dia dapat konsisten pada taklif atau taat kepada hukum-hukum agama sejak awal masa akil baligh.
Baca: Keharusan Bertaubat (3)
Alhasil, bagi orang yang tidak beruntung dapat bertazkiyah sejak usia dini maka paling tidak dia harus dapat memulai pada usia semuda mungkin dan jangan sampai menunda-nunda waktu lagi, betapapun banyaknya waktu yang sudah terlewatkan dengan sia-sia. Karena semakin ditunda akan semakin berat pula kemauan untuk beramal salih dan semakin sempit pula kesempatan untuk itu dibanding waktu-waktu sebelumnya.
Imam Jakfar al-Shadiq as menyebutkan;
مكتوب في التوراة نُحنا لكم فلم تبكوا، وشوّقناكم فلم تشتاقوا … أبناء الأربعين أُوفوا للحساب، أبناء الخمسين زرع قد دنا حصاده، أبناء الستّين ماذا قدّمتم وماذا أخّرتم، أبناء السبعين عدّوا أنفسكم في الموتى …
“Dalam Taurat termaktub: ‘Kami merintih untuk kalian tapi kalian tak menangis, dan Kami beri kalian semangat tapi kalian tak bersemangat…. Wahai orang-orang yang berusia 40-an tahun, bersiaplah untuk diperhitungkan. Wahai orang-orang yang berusia 50-an tahun, ada tanaman yang sudah dekat masa panennya. Wahai orang-orang yang berusia 60-an tahun, apa yang telah kalian dahulukan dan apa yang kalian akhirkan? Wahai orang-orang yang berusia 70-an tahun, kalian adalah musuh diri kalian dalam kematian….”[6] (mz)
(Bersambung)
[1] Bihar al-Anwar, jilid 73, hal. 161.
[2] Ibid.
[3] Al-Mahajjah al-Badha’, jilid 8, hal. 249.
[4] Bihar al-Anwar, jilid 73, hal. 163.
[5] Tafsir al-Burhan, jilid 3, hal. 366.
[6] Bihar al-Anwar, jilid 6, hal. 36.