Benarkah ayat al-Quran menganjurkan pemukulan?
Sebelumya telah disebutkan bahwa teks Islam melarang tindak kekerasan dalam interaksi publik maupun domestik. Namun, secara khusus kita akan menemukan perbedaan dalam hal pemberian ganjaran terhadap pelanggaran atau la ngkah penyelesaian masalah. Misalnya, ketika mengarahkan agar istri kembali melanjutkan kehidupan berkeluarga dan melaksanakan kewajibannya. Surah An-Nisa: 34 menyebutkan 3 tahapan yang dilakukan seorang suami ketika menghadapi istri nusyuz yaitu:
وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ
- Menasehati sang istri,
- Menjauhkan diri dari istri ketika bersama di tempat tidur
- Memukulnya
Qaimi (dalam Salari Far, 1389 H.S) menyatakan bahwa kondisi tersebut di atas tidak akan terjadi jika dalam interaksinya suami mampu bersahabat dan bertoleransi kepada istri. Langkah tersebut dapat menyelesaikan masalah jika suami terbiasa dengan perilaku yang mengarah kepada kekerasan terhadap istri, sehingga membawa istri pada tindakan nusyuz. Menjadi catatan bahwa tindakan nusyuz meliputi suami dan istri. Ayat ini sering dipahami secara salah sehingga menjadi dalil pembenaran tindakan kekerasan terhadap istri. (Baca: Inilah Wanita…)
Berkaitan surah An-Nisa: 34, pendapat ulama menyatakan keharusan untuk menjalankan 3 tahapan secara berurutan sebagai berikut:
- Nasehat
Pada tahapan ini ayat al-Qur`an menggunakan kata فَعِظُوهُنَّ (fa’izhuhunna) agar suami memberi nasehat agar istri menjalankan kewajibannya. Tentunya nasehat akan berpengaruh jika diberikan dengan cara dan perkataan yang baik. Penyelesaian masalah melalui komunikasi verbal sangat efektif karena kedua pihak dapat mengungkapkan harapannya satu sama lain. Sehingga mengingatkan kembali perjanjian yang telah diucapkan pada saat akad nikah. Al-Qur`an menggambarkan dengan baik bagaimana melakukan mau’izhah hasanah yang tentunya sedikitpun tidak bisa diklasifikasikan sebagai kekerasan.
- Menjauhkan diri dari istri ketika di pembaringan
Ketika nasehat tidak berhasil menyelesaikan masalah, Al-qur`an menyebutkan tahapan kedua sebagai problem solving yaitu وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ (wahjuruhunna fil madhaji’). Meliputi membelakangi istri di tempat tidur, tidak berhubungan suami-istri dan tidak menyapanya. Dalam kondisi ini, suami tetap tidur di tempat yang sama dengan istri namun mendiamkannnya, agar istri menyadari perasaan suami. Tidak dianjurkan untuk meninggalkan istri dan pergi ke tempat lain. Karena dapat memperuncing masalah ketika menyebabkan istri semakin menunjukkan perilaku buruk. Istri akan merasa kurang nyaman dan tidak mampu menarik perhatian suami. Ganjaran yang bersifat psikologis ini diharapkan dapat menyadarkan istri akan kesalahannya. Telah disebutkan sebelumnya bahwa Islam melarang untuk tidak bertegur sapa. Namun dalam kondisi khusus, hal ini dapat digunakan sebagai teknik memberi ganjaran seperti dalam pemberian salah satu mau’izhah. Tentunya dalam batasan tidak lebih dari tiga hari. Bentuk mau’izah ini tidak dapat dikategorikan sebagai kekerasan karena bertujuan untuk menyelesaikan konflik dan memperbaiki hubungan keluarga. (Baca: Keluarga dalam Perspektif Ajaran Islam)
- Ganjaran Fisik
Secara umum, Islam tidak membenarkan tindakan kekerasan fisik terhadap siapapun. Bahkan setiap bentuk kekerasan yang dilakukan akan diganjar dengan denda dalam bentuk uang atau qisas. Demikian juga halnya kekerasan terhadap wanita, Islam tidak memberi ruang untuk melegitimasi tindakan ini. Apakah hukuman fisik yang dimaksudkan dalam ajaran Islam dapat dianggap sebagai kekerasan? Sebelumnya perlu menjawab beberapa pertanyaan berikut:
- Kapan ganjaran fisik yang dimaksud dapat digunakan?
- Bagaimana bentuknya?
- Apa dasar pembolehannya?
- Apa yang perlu diperhatikan berkaitan dengan kondisi zaman sekarang dengan cara ini?
Pertanyaan pertama jawabannya adalah bahwa dua tahapan sebelumnya sangat efektif dalam menyelesaikan masalah. Hanya ketika dua tahapan sebelumnya tidak berhasil, tahapan ketiga dapat digunakan. Tahapan ini hanya dianjurkan ketika istri tidak menjalankan kewajibannya, (yaitu tidak memenuhi kebutuhan seksual suami tanpa ada halangan syar’i dan keluar rumah tanpa izin) dengan kemungkinan memberi pengaruh kepada istri. Bentuk tindakan ini tidak dapat digunakan dalam penyelesaian masalah lain. Lain halnya ketika istri merasa tindakan nusyuznya dapat dibenarkan karena ia tidak mendapatkan hak dari suami. Penyelesaian masalah harus menggunakan pendekatan nusyuz suami dan istri. Yaitu dengan berbagai pendekatan untuk mencapai kesepakatan. Nusyuz suami meliputi: tidak memberikan hak nafkah istri, tidak adil dalam mendatangi istri (dalam kasus poligami), berperilaku buruk dalam interaksi dengan istri dan tidak peduli keadaan istri. Jika terjadi syiqaq,penyelesaiannya harus merujuk hakim syar’i sebagaimana disebutkan dalam surah an-Nisa ayat 35:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Bentuk ganjaran fisik yang dimaksud berbeda dengan kekerasan fisik. Karena dalam penjelasan ini, disebutkan bahwa pemukulan hanya pada batas memberikan efek psikologis. Tidak boleh sampai melukai atau meninggalkan bekas pada badan إِذا عصينكم فِي الْمَعْرُوف ضربا غير مبرح [1], misalnya menggunakan miswak (sikat gigi) أنه الضرب بالسواك. [2].
Selanjutnya tafsiran dharaba pada surah an-Nisa ayat 34, tidak semua ulama sepakat bahwa kata ini bermakna pukulan fisik. Mengutip pendapat Syahid Muthahari (dalam Salari Far 1389 H.S) dharaba tidak bermakna tekstual. Tetapi bermakna pukulan psikis yaitu menunjukkan ekspresi tidak suka kepada istri. Pembolehan dilaksanakannya tahapan ini semata digunakan untuk mengingatkan istri akan kewajibannya. Sehingga dapat menghindari kehancuran keluarga dan menunjukkan pengayoman suami di keluarga. Secara fisik perempuan tidak mungkin melakukan hal yang sama kepada pria. (Baca: Nusaibah, Pahlawan Perempuan di Perang Uhud)
Perlu diperhatikan juga, tahapan ini bukan merupakan keharusan. Namun, tak lain merupakan hak yang diberikan Allah Swt kepada suami sebagai solusi sebuah masalah. Ganjaran fisik dengan syarat dan pembatasan, tidak dapat digolongkan sebagai kekerasan fisik. Pemukulan tidak boleh disertai dengan kekerasan dan tanpa tujuan, apalagi untuk menyakiti. Lebih dari itu, pukulan juga harus tidak menimbulkan gangguan fisik.
Jadi, masihkah tafsiran atas teks agama dapat dijadikan alasan apalagi landasan untuk sebuah kekerasan dalam rumah tangga (khususnya pemukulan terhadap istri)? Demi membumikan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammmad salallahu alaihi wa alihi, selayaknya kita bersatu dalam aksi “Say No To Violence Against Women and Girl”.[*]
Catatan Kaki:
[1]Jalaluddin As Suyuthi, Al-Durr al-Mansur fi al-Tafsir bi al-Matsurah, jil. 2, hal. 522 http://lib.eshia.ir/
[2] Syaikh Thabarsi, Tafsir Majma al-Bayan, (penjelasan ayat nusyuz), jil. 3, hal. 80 http://lib.eshia.ir/
Referensi:
Salari Far (1392), Muhammad Reza, Khusyunat khanegi alaihi zanan baresi elal wa darman ba negaresy be manabi’ Islami, Daftar Mutala’at wa Tahiqiqat Zanan, Tehran, Iran
Baca: “Stop KDRT Dengan 6 Prinsip Ini!“