Ibadah puasa di bulan suci Ramadhan 1438 H telah berlalu. Bulan nan agung ini dengan segala keberkahannya telah meninggalkan kita. Semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah Swt dan kita dapat berjumpa kembali dengannya di tahun yang akan datang dalam keadaan sehat wal afiat.
Puasa adalah salah satu ibadah tertua yang dilakukan umat manusia. Usianya sama dengan usia manusia itu sendiri. Nabi Adam as saat keluar dari surga melakukan puasa sembari bertaubat. Dalam sebuah riwayat disebutkan karena pohon / buah yang dimakan beliau berada di perut selama 30 hari, maka diwajibkanlah puasa 30 hari untuk anak keturunannya. Nabi Nuh as juga berpuasa selama 3 hari di dalam kapal sambil menunggu banjir bandang surut.
Sedangkan dalam Islam, Puasa baru diwajibkan pada tahun kedua Hijriah di mana kewajibannya setelah turunnya ayat 183 dari Surah Al-Baqarah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Satu hal yang perlu diklarifikasi benarkah puasa sudah ada di masa sebelum Islam? Ada beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa puasa tidak diwajibkan pada selain umat Islam. Tidakkah riwayat-riwayat tersebut bertentangan dengan firman Allah Swt di atas:
Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu (QS. Al-Baqarah [2]:183.)
Jawabannya : Riwayat-riwayat yang datang melalui jalur Mazhab Ahlul bayt as tidak ada di dalamnya yang menafikan kewajiban puasa atas umat-umat terdahulu. Riwayat tersebut hanya menegaskan bahwa puasa di bulan suci Ramadhan tidak diwajibkan kepada umat sebelumnya, karena Itu merupakan keistimewaan yang Allah swt telah berikan kepada Nabi-Nya Muhammad saw dan umat beliau. Dia mewajibkan atas mereka puasa di bulan Ramadhan dan bukan bulan-bulan yang lainnya, Allah swt berfirman:
﴿فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ﴾
Barang siapa di antara kamu menyaksikan (hilal) bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu (Al-Baqarah [2]:185.)
Karena bulan Ramadhan adalah paling mulianya bulan di sisi Allah Swt di antara semua bulan, oleh karenanya Dia mewajibkan puasa di dalamnya atas umat Nabi paling mulia Saw sebagai keutamaan bagi umat ini atas seluruh umat-umat terdahulu.
Dari riwayat-riwayat tersebut yang menunjukkan bahwa bulan Ramadhan tidak diwajibkan di dalamnya puasa atas selain umat Islam adalah riwayat dari Syekh Shaduq, beliau pernah meriwayatkan di Man la Yahdhurul Faqiih dengan sanadnya dari Hafs bin Ghiyast Al-Nakha’i berkata: Aku mendengar Abu Abdillah as bersabda: Sesungguhnya bulan Ramadhan tidak diwajibkan puasa di dalamnya atas satupun dari umat-umat terdahulu sebelum kita. Maka aku bertanya kepada beliau: Lantas bagaimana dengan firman Allah swt “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.? Beliau menjawab: “Sesungguhnya Allah Swt mewajibkan puasa bulan Ramadhan atas para nabi bukan atas umat-umat mereka, maka Allah Swt mengutamakan dengannya umat ini dan menjadikan puasa di dalamnya wajib atas Rasulullah Saw dan atas umat beliau.
Hadis selanjutnya apa yang telah diriwayatkan oleh Al-Kafi dengan sanadnya dari Abu Ja’far as, beliau bersabda: ketika datang bulan Ramadhan Rasulullah saw bersabda, “wahai manusia! Ini adalah bulan yang Allah Swt mengistimewakan kalian dengannya dan telah hadir di hadapan kalian dan ia adalah penghulu dari semua bulan-bulan…”.
Juga termasuk dari yang berkaitan dengannya apa yang termuat di dalam kitab Al-Shahifah al-Sajjadiyah di dalam doa Imam Ali Zainal Abidin as ketika beliau ingin berpisah dengan bulan Ramadhan. Beliau mengatakan: “Kemudian Engkau mengutamakan kami atas seluruh umat yang ada dengannya (bulan Ramadhan) Engkau memilih kami dengan keutamaannya dan tidak pada para pembawa syariat yang lainnya maka kita berpuasa dengan kebesaran-Mu di siang harinya dan kita bangun dengan pertolongan-Mu di malam harinya”.
Riwayat-riwayat tersebut tidak bertentangan dengan kandungan ayat di atas, karena sesungguhnya kandungan ayat tersebut adalah puasa diwajibkan atas umat-umat terdahulu sedangkan jika itu diwajibkan di bulan Ramadhan atau selainnya maka ayat tersebut tidak menyebutkannya dan menerangkannya, sementara penyerupaan kewajiban puasa atas umat Islam dengan diwajibkannya atas umat-umat terdahulu tidak mengharuskan adanya kesamaan dalam kriterianya, cukup di dalam penyerupaan adanya kesamaan antara yang diserupakan dengan yang diserupai di dalam beberapa sisi, jikalau puasa diwajibkan atas sebagian umat-umat kemudian diwajibkan atas umat Nabi Muhammad Saw maka yang demikian saja cukup dengan mengatakan sesungguhnya itu diwajibkan atas umat Islam sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum mereka, maka tidak ada pertentangan antara kandungan ayat tersebut dan antara apa yang dijelaskan oleh Nabi Saw dan Ahlulbayt beliau as bahwa puasa tidak diwajibkan atas umat-umat terdahulu di bulan Ramadhan dan sesungguhnya kewajibannya di bulan Ramadhan adalah termasuk dari keutamaan-keutamaan umat Islam.
Memang termuat di dalam sebagian kitab-kitab tafsir Ahlusunnah yang menjelaskan bahwa puasa Ramadhan dahulu diwajibkan atas orang-orang Nasrani dan diwajibkan atas mereka untuk tidak makan dan minum setelah tidur dan tidak menikahi wanita di bulan Ramadhan maka puasa di bulan Ramadhan menjadi berat atas mereka di musim dingin dan musim panas dan ketika mereka melihat yang demikian mereka berkumpul dan menjadikan puasa tersebut pada musim di antara musim dingin dan musim panas, mereka berkata: “kita tambah dua puluh hari, kita mengganti dengannya atas apa yang telah kita perbuat”, maka mereka menjadikan puasa mereka selama lima puluh hari.
Sementara yang lain ada yang berpendapat bahwa puasa di dalam bulan Ramadhan tadinya telah diwajibkan pada seluruh umat-umat yang turun pada mereka kitab yaitu dari orang-orang Yahudi dan Nasrani, sementara sebagian yang lainnya berpendapat bahwa puasa di bulan Ramadhan dahulunya telah diwajibkan atas seluruh umat.
Kalau seandainya pendapat-pendapat tersebut telah ditetapkan maka itu bertentangan dengan yang termuat dari jalur kita dari Rasulullah Saw dan Ahlulbayt beliau as, hanya saja bertentangannya semua itu dengan apa yang termuat di jalur kita tidaklah membahayakan setelah ditetapkannya bahwa semua anggapan yang bertentangan dengan apa yang datang dari jalur kita gugur untuk diakui kebenarannya.
Bagaimanapun juga sesungguhnya anggapan-anggapan tersebut juga telah gugur untuk diakui kebenarannya bahkan menurut para pengkaji dari ulama-ulama Ahlussunnah sendiri.