Agama memuat masalah-masalah keyakinan dan pengamalan. Bagian pertamanya yang menjadi dasar agama, disebut akidah (عقيدة; ‘aqîdah). Kata ini berasal dari ‘aqd (عقد), yang berarti pengikatan hubungan. Hubungan sesuatu dengan lainnya, bisa bersifat material, seperti menyambungkan dahan pohon dengan dahan pohon lainnya (yakni, pengawinan atau pencangkokan).
Hubungan itu bisa juga bersifat spiritual, seperti pengikatan pria dan wanita (yakni, pernikahan) melalui akad nikah, sehingga terikat satu sama lain. Berangkat dari sini, aqîdah (baca: akidah) adalah apa yang tersambung atau terhubung dengan benak, pikiran dan jiwa manusia. Hal rasio menerima suatu pandangan -terlepas benar dan tidaknya- artinya, penyambungan pandangan itu dengan rasionya.
Kita ambil contoh, menerima atau menolak (yang berarti tidak menyambungkan) pandangan bahwa bumi mengitari matahari atau sebaliknya; darah mengalir dalam badan atau tidak; alam semesta memiliki pencipta; manusia akan hidup setelah mati dan sebagainya. Hal menerima pandangan terlepas benar dan tidaknya- artinya menyambungkannya dengan rasio dan menguatkan hubungan ini. Hubungan itu disebut akad, dan pandangan itu disebut akidah.
Peran Akidah
Setiap manusia mempunyai pandangan dan kecenderungan terhadap segala sesuatu dalam hidupnya. Semua orientasinya ini didasari oleh keyakinan atau akidahnya. Dengan demikian akidah berperan besar dalam kehidupan individual dan sosial. Dalam hal ini, Allah swt berfirman: كُلٌّ يَعْمَلُ عَلى شاكِلَتِهِ; “Tiap-tiap orang berbuat menurut cara (dan kepribadian) masing-masing.” (QS: al-Isra 84).
Manusia berbuat sesuatu, melakukan ini dan itu atas dasar pandangan dan kecenderungannya terhadap sesuatu. Dengan kata lain, keyakinannya lah yang mendasari semua tindakannya. Oleh karena itu, dirinya; kepribadian dan realitas eksistensialnya dibentuk oleh akidahnya.
Akidah dia yang mendorong dirinya berbuat sesuatu dan mengarahkan dirinya. Jika keyakinannya sesuai dengan realitas, maka jalan kehidupannya lurus. Jika tidak, maka menyimpang. Karena itulah Islam mempunyai perhatian yang serius di dalam meluruskan keyakinan-keyakinan manusia. Agama ini sangat menekankan peran dan nilai akidah bagi manusia.
Di dalam Islam, akidah merupakan tolok ukur semua perbuatan, termasuk perbuatan-perbuatan yang baik. Sebab, perbuatan yang baik jika tak didasari akidah yang benar, menjadi tak bernilai. Imam Baqir as berkata: لا ينفع مع الشك والجحود عمل; “Tiada manfaat amal yang disertai keraguan dan pengingkaran.” Maksudnya, bahwa kebenaran perbuatan, manfaat dan perannya di dalam peningkatan insaniyah bergantung pada kebenaran akidah (keyakinan) si pelaku.
Dengan demikian, jika tak terbentuk akidah yang benar pada diri seseorang atau dia mengingkari atau meragukan kebenaran, maka perbuatan yang didasari hal tersebut menjadi sia-sia. Atau katakan, sia-sialah amal minus akidah yang benar, atau dengan mengingkari atau meragukan kebenaran. Sebab, akidah memotifasi untuk berbuat sesuatu. Motifasi inilah yang menentukan konsep amal, baik dan buruknya.
Dalam akidah Islam, manusia setelah kematian dan saat memasuki alam lain setelah kehidupan sebelumnya, soal pertama yang dihadapkan kepada manusia yang tercatat di dalam file amalnya adalah masalah keyakinan. Siapa tuhanmu? Nabi dan imammu? Dan seterusnya.
Di antara semua pemikiran (semua agama) di dunia, takkan didapati pemikiran yang memandang sangat penting dan memberi perhatian sedemikian besar terhadap apa yang diyakini umat manusia. Oleh karena itu, di mata Islam pengkajian akidah berada di posisi terdepan.
Sebuah Kisah Hikmah
Syaikh Shaduq (381 H) seorang ahli hadis, menukil riwayat dari Quddam bin Syuraih bin Hani, dari ayahnya ia meriwayatkan: Di hari perang Jamal, datang seorang badui kepada Amirul mu`minin as. Ia mengatakan: Hai Amirul mu`minin, apakah Anda mengatakan, Tuhan itu satu?
Pertanyaan ini bagi orang-orang yang pada saat itu dalam kondisi berperang, para pejuang yang tak mempunyai urusan lain selain terkait dengan persoalan perang, bukanlah saat yang tepat dalam kondisi itu. Pertanyaan yang layak terlontar bagi mereka adalah yang terkait dengan peperangan.
Saat mereka melihat si badui melontarkan masalah akidah, dan tak ada kaitannya dengan soal perang sementara ia bisa menanyakan itu di waktu lain, hal dia tak kenal kondisi ini membuat mereka geram. Mereka teriak keras memprotesnya. Imam Ali as melihat si badui dalam diprotes sedemikian, mengangkat cela itu dengan kata-kata yang bijak dan mendidik, yang menunjukkan pentingnya kajian akidah. Beliau berkata: Biarkan dia! Sesungguhnya apa yang diinginkan si badui ini adalah yang kita inginkan juga.
Imam mempunyai sikap yang lain. Saya pikir, beliau pun tidak menyalahkan pasukannya yang memprotes si badui, bahwa pada umumnya pertanyaan semacam itu tidaklah tepat pada saat yang sulit. Kendati demikian beliau tidak mengatakan, Jangan bertanya soal itu, untuk saat yang sangat genting seperti ini. Bagi beliau justru sebaliknya, agar muslimin memperoleh pelajaran darinya tentang falsafah jihad dan pentingnya kajian akidah.
Beliau mengatakan: Biarkan dia menyampaikan soal-soal yang ingin dia tanyakan! Karena perang ini dalam melawan para musuh itu, kita mempunyai tujuan. Kita berperang bukan untuk mengejar kekuasaan atas yang lain dan menguasai mereka. Tetapi tujuan kita adalah marifat. Perang kita ini adalah untuk mengangkat tabir-tabir hakikat.
Falsafah jihad adalah membebaskan manusia dari belenggu akidah yang menyimpang; menggelar ruang yang sesuai untuk akidah yang benar; serta bidang keyakinan-keyakinan yang benar dan ilmiah.
Referensi:
–Mausuah al-Aqidah al-Islamiyah/Syaikh Muhammad Reysyahri