Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Abu Dzar dan Berhala Munat

Suku Ghifar merupakan suku penyembah berhala. Mereka tinggal di dekat Madinah (Yatsrib), tempat yang dilewati rombongan pedagang berasal dari Makkah.

Anggota suku Ghifar menyembah berhala bernama ‘Munat’. Mereka mengira Munat-lah yang menentukan takdir. Maka mereka mengunjunginya dan mengurbankan domba untuknya.

Suatu hari, Jundub, seorang pemuda suku Ghifar yang miskin mengunjungi Munat. Dia mempersembahkan susu asam (yoghurt) dan mulai mengamatinya. Tapi Munat tidak bergerak dan tak pula meminum susu itu. Jundub terus menunggu.

Seekor rubah lewat. Rubah itu malah meminum susu asam yang dipersembahkan Jundub untuk Munat. Lalu Rubah itu mengangkat kakinya dan mengencingi telinga Munat. Tetap saja Munat diam. Anak muda itu tertawa. Dia mengejek Munat. Lalu ia mencela dirinya sendiri karena telah menyembah batu yang bodoh dan tidak mengerti apa pun juga. (Baca: Tetangga… Oh Tetangga…)

Jundub menatap langit yang biru dan cerah. Ia juga memandangi gurun yang luas. Lalu ia teringat apa yang dilakukan rubah tadi terhadap Munat. Setelah merenungi semua itu dan berfikir panjang, Jundub pun percaya bahwa dunia memiliki Tuhan Yang Mahaagung, jauh lebih agung dibandingkan Munat, Hubbal, Latta dan berhala lainnya.

Sejak saat itu, Jundub percaya pada pencipta langit dan bumi.

Hari-hari berlalu, ahli kitab (Kristen dan Yahudi) memberikan kabar baik tentang munculnya seorang Nabi baru yang waktunya akan segera tiba.

Orang-orang Arab mengabarkan hal itu. Mereka yang tadinya mengolok-olok berhala-berhala menunggu sejak lama kedatangan Sang Nabi.

Suatu hari, seorang datang dari Makkah dan berkata pada Jundub, “Ada seorang lelaki di Makkah berkata bahwa tiada Tuhan selain Allah dan mengaku bahwa dirinya adalah seorang nabi.” (Baca: Berkah Makanan Sayyidah Khadijah a.s.)

Jundub bertanya, “Dari suku manakah ia berasal?”

Orang itu menjawab, “Ia berasal dari suku Quraisy.”

Jundub bertanya lagi, “Dari keluarga (Bani) mana?”

Orang itu kemudian menjawab, “Dia berasal dari Bani Hasyim.”

Jundub bertanya, ”Apa yang dilakukan suku Quraisy padanya?”

Orang Makkah itu menjawab, “Mereka telah menuduhnya sebagai seorang pembohong. Mereka berkata bahwa dia adalah tukang sihir dan orang gila.”

Orang itu pun kemudian pergi. Dan Jundub pun berpikir dan berpikir lagi. (Baca: Tak Perlu Alasan Untuk Berbuat Baik)

Jundub mengirim saudaranya Anis ke Makkah untuk mendapatkan kabar tentang nabi baru itu. Anis pun kemudian berangkat ke Makkah. Anis menempuh ratusan mil perjalanan.

Dengan segera Anis pulang kembali untuk memberi tahu saudaranya, “Aku telah melihat seorang laki-laki. Ia memerintahkan agar berperilaku baik dan menghindari perbuatan keji. Ia mengajak mereka agar menyembah Allah. Aku telah melihat ia berdoa di Ka’bah. Aku telah melihat seorang pemuda, yaitu sepupunya Ali, berdoa di sampingnya. Dan aku telah melihat seorang wanita (istrinya), Khadijah berdoa di belakang mereka.”

Jundub bertanya,” Lalu apa lagi yang kau lihat?”

Anis menjawab, ”Itulah yang kulihat. Tapi aku tak berani mendekatinya karena aku takut pada pemimpin Quraisy.”

Jundub tak puas dengan apa yang ia dengar. Lalu ia pun pergi menuju Makkah untuk mencari tahu tentang Nabi itu. (Baca:

Ketika anak muda dari suku Ghifar itu tiba di Makkah, matahari sudah mulai tengelam. Ia pun duduk di sudut Ka’bah untuk beristirahat dan berfikir bagaimana caranya bertemu dengan nabi baru itu. (Baca: Cinta Kasih Imam Husein as)

Saat itu juga, datang seorang pemuda, dan melihat Jundub tampak memikirkan sesuatu. Pemuda itu adalah Ali bin Abi Thalib a.s. (sepupu Nabi Muhammad saw) yang kemudian membantu Jundub bertemu Nabi saw.

Di saat itulah, pribadi Muslim yang baru telah lahir. Seorang sahabat besar Nabi, yaitu Abu Dzar Al-Ghifari, yang memiliki nama asli Jundub bin Junadah.

Setelah mempelajari Islam, Abu Dzar berjuang keras membantu dakwah Nabi saw. Banyak masyarakat suku Ghifar dan suku-suku lain di sekitar turut masuk Islam berkat jasanya.

Ia adalah pendukung setia Nabi dan pembela Islam sejati. Jiwa dan raganya telah dikorbankan untuk menegakkan agama Islam. Bahkan ia selalu mementingkan Nabi saw. dan ajaran Islam ketimbang dirinya sendiri. Tak hanya sekali Abu Dzar harus menerima penyiksaan dari kaum kafir Quraisy atas keislamannya dan pembelaannya terhadap Rasulullah saw. (Baca: Kehebatan Doa)

Hingga suatu ketika Rasulullah bersabda, “Adu Dzar, semoga Allah mengasihimu! Engkau akan tinggal seorang diri, meninggal seorang diri, dan memasuki surga seorang diri. Beberapa orang Irak akan bahagia karenamu, mereka akan memandikan tubuhmu, mengafanimu, mendoakanmu, dan menguburkanmu.”

Sepeninggal Nabi saw., Abu Dzar mulai mengajarkan hadis dan perilaku Nabi kepada masyarakat. Dia mengutuk pemerintah yang korup, kejam, dan bemewah-mewahan.

Muawiyah, gubernur Syam saat itu berupaya menyuap Abu Dzar agar diam. Namun upaya itu tidak berhasil hingga Abu Dzar dipenjarakan atas tuduhan-tuduhan palsu, hingga suatu ketika Abu Dzar diasingkan ke sebuah tempat tak berpenduduk, bersama istri dan anaknya. (Baca: Kijang yang Setia)

Di sebuah gurun, antara Mekah dan Madinah, Abu Dzar menghabiskan sisa hidupnya. Di akhir hayatnya, sebuah kafilah melintasi kawasan itu. Sang istri melambaikan tangan dengan tujuan meminta pertolongan untuk suaminya yang sebentar lagi akan meninggal dunia.

Malik Harts Al-Asythar, salah satu di antara rombongan dari Irak itu. Mereka segera mendatangi Abu Dzar di pembaringan.

Di akhir hayatnya Abu Dzar berkata, “Wahai saudaraku, bergembiralah! Rasulullah saw. telah mengatakan kepadaku bahwa aku akan mati di gurun dan akan ada beberapa orang Mukmin yang akan menghadiri kematianku.”

Tak berselang lama, Abu Dzar memejamkan mata untuk selamanya.

Innalillah wa inna ilaihi raji’un.

Baca: “Pernikahan Surgawi

 

No comments

LEAVE A COMMENT