Pengetahuan dan kecenderungan manusia melampaui batas-batas:
-Inderawi dan material
-Partikular dan personal
-Lokal
-Kondisional atau temporal
Pengetahuan manusia melewati “kulit” sesuatu, menembus isi; esensi dan subtansi sesuatu serta apapun yang terkait dengannya. Ia singkap masa lalu dan pikirkan masa depan. Pandangannya jauh, luas luas dan dalam. Nalarnya sampai pada soal ketiada batasan dan keabadian. Ia temukan hukum universal dan realitas yang luas melalui pengetahuan partikular.
Kecenderungannya pun melambung tinggi, mencari nilai dan mengejar kesempurnaan. Baginya, terkadang nilai keyakinan lebih tinggi dari semua nilai, dan pengabdian kepada umat manusia menjadi lebih penting dan utama dari kepentingan pribadinya. Menjadi satu rasa dengan orang lain, turut sedih saat mereka dalam kesusahan dan merasa senang kala mereka dalam kebahagiaan. Ia rela mengorbankan kepentingan pribadi demi keyakinannya yang suci, bahkan tanpa beban ia serahkan nyawa dan hidupnya.
Ruh Individu dan Masyarakat
Pengetahuan atau pandangan luas tentang dunia di bawah sekumpulan kaidah dan logika yang khas, disebut “ilmu”. Ialah hasil usaha keras umat manusia yang terhimpun di masa lalu dalam kurun waktu yang panjang menuju kesempurnaan.
Kecenderungan spiritual yang tinggi adalah buah keyakinan dan keimanan pada suatu realitas di alam dunia ini. Ialah realitas yang meliputi, impersonal dan immaterial. Keimanan ini pun lahir dari suatu pandangan dunia dan marifat, yang telah disampaikan oleh para utusan Tuhan kepada umat manusia. Atau juga oleh sebagian filosof sebagai bentuk perenungan mereka yang melahirkan keimanan. Kecenderungan insani yang didasari keyakinan dan pemikiran inilah disebut iman.
Dua hal itulah (ilmu dan iman), yang mendasari insaniyah manusia dan perbedaan dia dengan semua makhluk se-genusnya, yakni binatang. Keistimewaan pada diri manusia ini diingkari oleh sebagian orang dalam satu kelompok, bahwa perbedaan pengetahuan yang dimiliki manusia dan binatang, adalah perbedaan kuantitif atau kualitatif, bukan subtantif. Mereka abaikan perkara-perkara besar dan fundamental itu, yang memikat perhatian para filosof besar Timur maupun Barat. Perbedaan kecenderungan antara manusia dan binatang, tidak mereka pandang.
Kelompok lainnya melihat perbedaan itu, tetapi mereka percaya bahwa yang hidup dan bernyawa hanyalah manusia. Ia berperasaan dan punya kecenderungan. Sedangkan binatang seperti mesin, tak punya rasa dan kecenderungan.
Berbagai definisi dari para pemikir tentang manusia. Antara lain darinya: manusia itu hewan berfikir; yang merdeka; pendosa; pengejar nilai, suka keindahan, pendamba keadilan; dan lain sebagainya. Tiap-tiap definisi adalah benar di tempatnya. Akan tetapi, berangkat dari ilmu dan iman, didapati perbedaan yang mendasar itu, dan dikatakan bahwa manusia adalah yang berilmu dan beriman. Dua hal inilah menjadikan dia berbeda dengan semua makhluk hidup lainnya.
Adanya kesamaan dan kebedaan manusia dengan binatang itu dikarenakan manusia memiiliki dua kehidupan; haiwani dan insani. Dengan kata lain, memiliki kehidupan material dan kehidupan kultural atau spiritual. Dari sini terlontar soal: Adakah hubungan antara haiwaniyah manusia dan insaniyahnya? Dan apakah yang satu sebagai dasar dan yang lain sebagai cabang?
Hakikatnya, perjalanan manusia menuju kesempurnaan berangkat dari haiwaniyah menuju insyaniah. Manusia pada mulanya sebagai sosok material, bergerak sampai pada subtansi spiritual. Ruhnya di balik jasad, akan menggapai kesempurnaan dan kemandirian atau kebebasan.
Haiwaniyah manusia ibarat lingkungan di dalamnya insaniyah dia tumbuh berkembang. Insaniyahnya sebagai individu maupun masyarakat- mendewasa menuju kebebasan dengan kuasa atas segala aspek. Individu yang menyempurna, akan menguasai lingkaran eksternal dan internal dirinya. Kebebasannya dari dominasi lingkaran itu bergantung pada keyakinan dan iman. Masyarakat juga demikian.
Manusia Iman
Benih masyarakat lebih banyak berkaitan dengan aspek ekonomi. Ruhnya diperankan oleh aspek kultural dan spiritualnya. Sebagaimana ada timbal balik antara jasad dan ruh manusia, dan sebagaimana perjalanan kesempurnaan individu adalah menuju kebebasan dan pemerintahan ruh, masyarakat pun demikian. Yakni, masyarakat insani semakin sempurna, kehidupan kulturalnya semakin mendominasi kehidupan materialnya. Manusia mendatang adalah haiwan kultural, bukan haiwan ekonomis; adalah manusia akidah dan iman, bukan manusia perut dan fisik.
Makna tersebut bukanlah bahwa masyarakat bergerak dengan paksaan atau kemestian, langkah demi langkah di atas garis yang lurus, menuju kesempurnaan nilai-nilai kemanusiaan. Bukanlah selalu dalam setiap waktu melangkah lebih maju dari masa sebelumnya. Bisa jadi manusia melewati satu periode kehidupan sosial, dengan semua kemajuan sains dan teknologi, dari sisi spiritualitas mengalami kemunduran.
Makna tersebut ialah bahwa manusia dalam semua geraknya mengalami peningkatan dari sisi material maupun spiritual. Gerakan spiritualnya tak mesti di atas jalan yang lurus. Terkadang berbelok ke kanan dan kiri, berhenti, dan terkadang mundur. Namun demikian, secara keseluruhan adalah sebuah gerakan dan langkah ke depan. Inilah yang dikatakan bahwa manusia datang adalah sosok kultural, bukan ekonomis. Adalah haiwan akidah dan iman, bukan perut dan badan.[*]
Referensi:
Muqaddimei bar Jahanbinie Islami/Syahid Muthahhari
Baca: Ahlul Bait Nabi saw., Penjaga Ajaran Islam