Memang manusia biasa tak luput dari kesalahan. Jika kemudian ia berbuat dosa untuk kedua kalinya, atau bisa saja ia tergelincir mengulangi kesalahannya, hal demikian tak berarti pintu tobat telah tertutup baginya. Seandainya atau sekalipun dua hal yang berlawanan; antara bertobat dan berdosa, terjadi secara bergantian dan berulang-ulang, yakni setelah bertobat ia melakukan dosa lagi lalu bertobat lagi dan seterusnya, kewajiban tobat dengan persyaratannya tetaplah berlaku baginya.
Baca: “Makna Islam“
Berbeda halnya dengan tobat yang tak serius dalam arti dia akan mengulangi perbuatan dosa. Sebuah hadis dari Ahlulbait Nabi Saw menerangkan: من استغفر بلسانه ولم يندم بقلبه فقد استهزأ بنفسه; “Siapa yang beristigfar dengan lisannya tanpa penyesalan di hatinya, sungguh telah memperolok-olok dirinya sendiri.”
Jadi, istigfar atau bertobat kepada Allah haruslah benar-benar dan sungguh-sungguh.
Istigfar Sebuah Karunia Allah
Di antara manfaat istigfar ialah apabila seorang hamba Allah melakukannya dengan benar, niscaya terbuka baginya pintu keberkahan-keberkahan ilahiah. Karena sejatinya dosa itu menghalangi karunia-karunia ilahiah, berupa hidayah dan inayah Allah Swt, yang sangat diperlukan hamba-Nya. Dengan istigfar, maka hijab yang terbentuk sebagai efek perbuatan dosa menjadi lenyap, dan pintu rahmat Allah terbuka lebar baginya.
Baca: “Doa Imam Ja’far Shadiq Untuk Memudahkan Urusan“
Selain membawa manfaat ukhrawi, istigfar juga membawa manfaat duniawi sebagaimana diterangkan dalam Alquran:
“Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu..” (QS. Hud [11]: 52)
Istigfar itu sendiri adalah bagian – dan salah satu rukun – dari tobat yang berarti kembali kepada Allah. Ia sebuah karunia besar dari Allah Swt, dalam arti bahwa Allah membuka pintu tobat bagi hamba-hamba-Nya, agar mereka dapat melakukan peningkatan atau mencapai tingkatan-tingkatan kesempurnaan, dan juga agar perbuatan dosa tidak menjatuhkan diri mereka dari kesempurnaan insani.
Dampak Berbuat Dosa
Setiap dosa berbuntut mudarat bagi jiwa dan spiritualitas manusia; memisahkan dirinya dari dimensi spiritual yang dengannya ia menjadi beda dari binatang; mengikis insaniyah dan mendekatkan pada kebinatangan serta kejumudan.
Sebagai misal, dalam sejarah diceritakan: dalam perang Uhud, kemenangan yang sudah di tangan Muslimin pada awal peperangan, kemudian berubah menjadi kekalahan. Sebabnya adalah kelalaian sejumlah orang. Ketika mereka ditugasi Rasulullah Saw berjaga di lorong bukit untuk mengantisipasi serangan musuh dari belakang, mereka meninggalkan posisi mereka dan turun, demi mengambil harta rampasan yang tercecer di medan pertempuran.
Baca: “Kesulitan Hidup, Keagungan Hidup: Potret Kisah Hidup Rasulullah dalam Surah Adh-Dhuha“
Pada saat posisi mereka berada di bawah, tiba-tiba musuh datang dari belakang, menyerang dan menghabisi mereka. Mereka kalah akibat tidak menjalankan tugas atau melakukan kesalahan.
Kekalahan ini juga menimbulkan keguncangan psikologis dan beban perasaan yang berat bagi Muslimin saat itu. Hingga kemudian turun wahyu yang memberi ketenangan dan petunjuk bagi mereka, dan menjelaskan faktor-faktor serta kondisi-kondisi yang menyebabkan kekalahan mereka.
Rangkaian ayat-ayat sucinya berujung pada firman Allah:
“Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari dua pasukan itu bertemu, hanya setanlah yang menggelincirkan mereka, disebabkan sebagian dosa yang telah mereka perbuat (di masa lampau), dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 155)
Artinya, bahwa hal terjadinya sejumlah orang yang melalaikan tugas sehingga musuh menjadi menang dalam perang, bukanlah sebuah kebetulan.
Referensi: Imam Ali Khamenei, Makarim al-Akhlaq wa Radzailuha
Baca: “Imam Ali Khamenei: Soal Palestina, Kalian Akan Ditanya oleh Rasulullah SAW“