Abul Fadhl Abbas adalah pemuda Bani Hasyim pemegang panji pasukan Imam Husain a.s. Dialah lambang kesetiaan dan namanya senantiasa dikenang, dihargai, dan dihormati untuk selamanya. Ibu Abbas adalah Ummul Banin, berasal dari suku yang terkenal kegigihan dan keberaniannya. Ummul Banin menikah dengan Imam Ali a.s. dan dikaruniai empat orang putra, dan putra pertamanya adalah Abbas. Pada Hari Asyura, putra-putra Ummul Banin mempertaruhkan hidup mereka dengan cara terhormat dan mulia. Nama mereka terukir indah di sepanjang sejarah Islam.
Abbas dalam bahasa Arab berarti singa. Dialah singa yang membuat siapa pun terpesona. Sesuai dengan namanya, segala perilaku Abbas mengagumkan. Roman muka Abbas sangat rupawan. Tubuhnya tinggi semampai. Abbas juga memiliki kekuatan yang tak tertandingi dan spiritualitas yang tinggi. Dibandingkan pemuda Bani Hasyim lainnya, Abbas paling menonjol dan unggul di masanya. Dia tak tertandingi kecuali oleh Imam Husain a.s.
Imam Ja’far Shadiq a.s. berkata: “Pamanku, Abbas adalah lelaki yang berhati bersih dan memiliki keimanan kuat. Dia berjihad di jalan Allah bersama Abu Abdillah (Imam Husain a.s.) dan melewati ujian Ilahi dengan keberhasilan yang utuh.”
Imam Ali Zainal Abidin a.s. berkata: “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada pamanku, Abbas, yang telah mengorbankan hidupnya demi saudaranya dengan kedua tangannya yang tertebas. Allah Yang Mahakuasa menganugerahkan kepadanya sepasang sayap yang memudahkannya terbang menuju surga Bersama para malaikat sebagaimana Allah telah menganugerahkan hal yang sama kepada Ja’far bin Abi Thalib.”
Disebutkan bahwa pada hari Pembalasan nanti, majelis para syuhada seolah ingin bersaing agar bisa menyamai seperti Abbas. Abbas mendapatkan kehormatan karena dididik, dirawat, dan dilatih oleh tiga orang imam suci, yaitu ayahnya yang mulia, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s., kedua saudaranya yang mulia, Imam Hasan dan Husain a.s.
Baca: Keutamaan Abul Fadhl Abbas, Putra Ali
Rona wajah Abbas bercahaya bak bulan purnama dan keelokannya tiada tara. Karena segala kebaikan dan keelokan yang dimilikinya itulah Abbas diberi gelar Rembulan Bani Hasyim. Saat terjadinya peristiwa Karbala, usia Abbas menginjak 34 tahun. Sesuai kesepakatan para sejarahwan dengan merujuk pada riwayat dan bukti sejarah, Abbas adalah pemuda yang paling berpengaruh di Karbala. Karena itulah, dia menjadi benteng terakhir Imam Husain a.s.
Abbas adalah pemegang panji-panji perang rombongan Imam Husain. Ketika tak ada lagi pemuda yang tersisa di samping Imam Husain kecuali dirinya, Abbas meminta izin kepada Imam Husain untuk berjihad melawan pasukan Yazid. Namun Imam Husain a.s. bukannya mengizinkan Abbas untuk maju perang, melainkan meminta Abbas mencari air untuk kaum wanita dan anak-anak, yang nyaris mati dicekik dahaga.
Abbas adalah pemuda pemilik keahlian berperang yang hanya bisa dibandingkan dengan keahlian perang Imam Ali a.s. ayahnya. Untuk mengurangi derita kehausan putri-putri Rasulullah Saw, Abbas menerobos ribuan pasukan Yazid yang memagari Sungai Efrat bak singa mengamuk. Sementara itu, Sungai Efrat dibentengi oleh pasukan Yazid terdiri dari pasukan pemanah, pasukan tombak dan pasukan pedang. Meski mengetahui hal itu, semangat Abbas untuk mengambil Sungai Efrat demi adik-adik dan keponakannya yang kehausan berhari-berhari tak surut. Abbas menerjang barisan itu dengan serangan maut dan menyungkurkan setiap orang yang menghadangnya.
Maka terbukalah jalan untuk mengambil air di sungai Efrat. Abbas berhasil membunuh sekitar 80 tentara musuh. Setelah berhasil mendekati bibir sungai, Abbas pun membawa kudanya untuk meminum air di Sungai Efrat. Kemudian Abbas mengisi penuh girbah yang dibawanya. Seketika itu terbayang di benak Abbas, Imam Husain, dan wanita-wanita serta anak-anak di perkemahan yang ditinggalkannya. Harapannya hanyalah segera kembali ke tenda, mempersembahkan air kepada Ahlulbait Nabi Muhammad Saw. Dengan sisa tenaga, dia berusaha mencapai perkemahan Imam Husain a.s.
Dahaga Imam Husain as dan keringnya rongga leher anak-anak dan wanita-wanita terus membayangi pikiran Abbas. Efrat berkilauan di bawah terik matahari, bak permata sinarnya menari-nari. Dia urungkan niatnya untuk meneguk air Efrat meski hanya setetes. Setangkup air di tangannya dilepaskan kembali seraya berkata: “Bagaimana mungkin seorang budak akan meminum air sementara tuannya sedang dicekik dahaga? Adakah teladan yang lebih baik bagi kesetiaan,ketakwaan, dan kemanusiaan?”
Abbas segera melesat membawa girbah berisi air di lengannya. Sambil tertawa terbahak-bahak, pasukan biadab itu menghadang Abbas yang hendak menuju perkemahan Imam Husain. Pasukan Yazid segera membentuk formasi, mengepung jawara yang kehausan itu. Para binatang buas berkepala manusia itu semakin merapat. Kini tiada celah bagi Abbas untuk mengehentak kudanya, kecuali menerobos pasukan itu.
Tiba-tiba sebuah tombak meluncur bak meteor mengarah ke dada Abbas. Secepat kilat Abbas menangkalnya, dan tombak itu pun gagal mencapai sasarannya. Tata krama perang tak lagi diindahkan. Jiwa-jiwa kerdil itu seperti kawanan serigala lapar yang memamerkan taring-taringnya dan menjulur-julurkan lidahnya. Seperti anjing hutan mereka menggongong mengerumuni buruannya. Rupanya padang sahara itu telah berubah menjadi rimba dan para durjana liar itu menjadi satwa buas lagi mematikan.
Namun mereka lupa, bahwa buruannya bukanlah kelinci. Mereka lupa bahwa dia yang dikepung itu adalah putra singa Allah, Ali bin Abi Thalib. Seolah mereka hilang ingatan bahwa yang sedang diburu itu adalah kemenakan singa Allah Ja’far bin Abu Thalib. Karena telah lama berpaling dari Islam, mereka baru sadar bahwa yang mereka kerumuni adalah cucu singa Allah, pelapang jalan dakwah Nabi Muhammad Saw, Abu Thalib.
Baca: Peringatan di Bulan Sya’ban
Sekali lagi, mereka lupa dia berasal dari keluarga jawara. Formasi pertama pasukan musuh satu per satu mengerang meregang nyawa. Hal yang sama juga dialami barisan berikutnya. Ada yang merekah dahinya, seperti semangka dibelah. Ada yang roboh perlahan seperti pohon pisang ditebas golok. Beberapa orang lertebas sekaligus dan terjungkal bergulingan darah di atas pasir secara berjamaah seperti reruntuhan batu gunung.
Sebuah suara mengomando agar mengubah formasi serangan mereka. Komandan biadab pemuja harta itu mulai sadar bahwa menyerang Abbas dari arah depan sama sekali tak ada gunanya. Kini mereka mengitari Abbas. Pasukan dari arah depan, samping kanan dan samping kiri mulai menyerang secara bersamaan. Tiba-tiba sebuah pedang digenggaman menebas lengan kanan Abbas.
Kini putra Sang singa sahara itu buntung tangan kanannya. Abbas menjerit kesakitan. Otot-otot lengannya menyemburkan darah segar. Abbas berseru lantang menatap tajam setiap kepala yang tampak beringas di hadapannya. “Demi Allah, sekalipun tangan kananku telah hilang, akan terus ku terjang setiap penghadang. Aku sanggahkan jiwaku demi tegaknya agama.”
Abbas hanya punya satu tangan yang menggendong girbah (kantong air minum). Seorang biadab tiba-tiba menyeruak dari barisannya dan mendekati pemuda Bani Hasyim yang telah kehilangan separuh ketangkasannya itu. Sekejap mata sebilah pedang yang digenggam si biadab itu menebas lengan kiri Abbas. Lalu sebuah anak panah melesat tepat menembus ghirbah yang tergeletak di sebelah lengan Abbas yang terpisah dari bahunya. Air itu merembes disesap habis pasir panas Karbala. Abbas yang tersungkur dari kudanya menyaksikan tetes demi tetes air membasahi pasir yang sedianya diperuntukkan bagi adik-adik perempuan dan keponakannya itu. Hatinya luluh lantak. Seorang tentara laknat tiba-tiba menumbukkan tongkatnya tepat di dahi Abbas. Saat itulah Abbas tak sadarkan diri. Sebuah anak panah melesat menembus jantungnya. Abbas telah menyongsong syahadah, dikepung ribuan satwa liar. Inna lillahi wa inna ilaihi rajjiun.
Adakah takaran yang mampu mengukur kesetiaan, kegigihan, ketegaran, keberanian pemuda ini?
*Diutip dari buku Islamic Idol – Ali Dawani