Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa musuh yang akan dihadapi Imam Ali bin Abi Thalib as sepeninggal Nabi, lebih sulit untuk ditaklukkan dibandingkan dengan musuh yang dihadapi semasa Nabi masih hidup. Kenapa? Karena perang di masa Rasul adalah perang untuk menegakkan Alquran (alat-tanzil), sedangkan perang di masa Imam Ali adalah perang melawan mereka yang menyelewengkan Alquran (alat-ta`wil). Rasul berperang melawan kaum kafir, sedangkan Imam Ali melawan kaum munafik.
Itulah pula yang dialami oleh Al-Husein bin Ali as. Saat Al-Husein menjalani peristiwa tragis Asyura di Karbala, lawan yang dihadapi adalah orang-orang Islam, yaitu mereka yang sama-sama membaca syahadat, melakukan salat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan pergi menunaikan ibadah haji. Mereka juga fasih membaca Alquran dan mengutip hadis Nabi. Akan tetapi, semua itu hanyalah bungkus belaka. Sedangkan motivasi di balik semua ‘perilaku agama’ tersebut adalah dunia, yaitu harta dan kekuasaan.
Islam sepeninggal Nabi adalah agama yang sangat besar dan dengan cepat memiliki penganut yang tersebar di separuh dunia. Persia dan sebagian besar Romawi, dua kekuatan imperium di zaman Nabi, takluk oleh para penggembala unta. Para pengendus kehidupan dunia tentu tak bisa melewatkan kilau kekayaan dan empuknya kursi kekuasaan Islam. Maka, Islam pun menjadi rentan disalahgunakan sebagai alat meraih kesenangan duniawiah. (Baca: Tasybih tanpa Takwil)
Untuk itulah Al-Husein bangkit; demi mengembalikan Islam kepada rel aslinya, yaitu agama yang menjadikan Allah sebagai tujuan akhir; yang mejadikan dunia hanyalah perantara dan tempat tinggal sementara. Al-Husein melihat agama sedang berada dalam bahaya, yaitu ketika Islam dianut oleh manusia karena Islam memberikan keuntungan duniawiah. Dalam sebuah riwayat, Al-Husein berkata:
النَّاسُ عَبیدُ الدُّنْیا وَالدینُ لَعْقٌ عَلی الْسِنَتِهِمْ یحُوطُونَهُ ما دَرَّتْ مَعایشَهُمْ فَاذا مُحِّصُوا بِالْبَلاءِ قَلَّ الدَّیانُونَ
(Kebanyakan) manusia adalah hamba dunia, sedangkan agama hanyalah permainan di mulut saja. Selama tidak mengancam urusan dunia, mereka berpegang teguh pada agama. Adapun ketika datang ujian (berupa terancamnya urusan dunia), mereka yang berpegang teguh kepada agama menjadi sedikit. (Tuhaf Al-Uqul halaman 245)
Dalam riwayat lainnya, Al-Husein mengingatkan betapa dunia ini adalah tempat yang fana.
عِبادَاللّهِ اِتَّقُواللّهَ وَکُونُوا مِنَ الدُّنْیا عَلی حَذَرٍ، فَاِنَّ الدُّنْیا لَوْ بَقِیَتْ لاِحَدٍ اَوْ بَقِیَ عَلَیْها اَحَدٌ، کانَتِ الاَنْبِیاءُ اَحَقَّ بِالْبَقاءِ، وَ اَوْلی بِالرِّضی وَ اَرْضی بِالْقَضاءِ. غَیْرُ اَنَّ اللّهَ تَعالی خَلَقَ الدُّنْیا لِلْبَلاءِ وَ خَلَقَ اَهْلَها لِلْفَناءِ فَجَدیدُها بالٍ، وَ نَعیمُها مُضْمَحِلٌّ وَ سُرُورُها مُکفَهِرٌّ، وَ الْمَنْزِلُ بُلْغَةٌ وَ الدّارُ قَلْعَةٌ فَتَزَوَّدُوا فَاِنَّ خَیْرَ الزّادِ التَّقْوی
“Wahai hamba-hamba Allah, takutlah kepada Allah, dan berhati-hatilah terhadap dunia. Jika dunia ini diciptakan supaya dimiliki oleh seseorang selamanya, atau jika ada orang yang diciptakan supaya dia kekal berada di dunia, maka para nabilah yang lebih berhak untuk hidup kekal; mereka juga yang lebih tertarik untuk hidup di dunia. Hanya saja, Allah telah menciptakan dunia ini hanya sebagai ujian, dan menciptakan para penghuninya untuk akhirnya akan lenyap. Segala yang baru darinya akan sirna, nikmatnya akan musnah, dan kesenangannya akan berubah menjadi kesusahan. Dunia diciptakan hanya agar menjadi rumah sementara. Oleh karena itu, berbekallah (untuk kehidupan akhirat). Bekal terbaik adalah takwa. Bertakwalah kepada Allah, supaya kalian beruntung. (Tarikh Ibnu Asakir halaman 215)
Lebih jauh lagi, Al-Husein mengingatkan kita, para pengikutnya, untuk menjalani kehidupan beragama dengan cara terbaik. Apa itu? Yaitu penyembahan kepada Allah dengan cara seperti orang-orang yang merdeka. Kita menyembah kepada Allah, bahkan bukan karena takut kepada neraka, atau mengharapkan balasan surga; melainkan karena rasa syukur kita kepada Allah. Kita menyembah kepada Allah sebagai bentuk dan ungkapan terima kasih karena Allah telah memberikan kepada kita beragam nikmat dan anugerah.
إنَّ قَوْماً عَبَدُوا اللهَ رَغْبَةً فَتِلْكَ عِبادَةُ التُّجارِ، وَ إنَّ قَوْماً عَبَدُوا اللهَ رَهْبَةً فَتِلْكَ عِبادَةُ الْعَبْيدِ، وَ إنَّ قَوْماً عَبَدُوا اللهَ شُكْراً فَتِلْكَ عِبادَةٌ الْأحْرارِ، وَ هِيَ أفْضَلُ الْعِبادَةِ.
Sebagian orang menyembah Allah karena ingin mendapatkan pahala. Itulah ibadah para pedagang. Sebagian yang lain menyembah Allah karena takut siksaan. Yang seperti ini adalah ibadah para budak. Sementara itu ada pula yang menyembah Allah karena hanya ingin bersyukur (kepada-Nya). Inilah ibadah orang-orang yang merdeka, dan itulah (motivasi) ibadah terbaik. (Bihar Al-Anwar, Jilid 75 halaman 117)
Sekarang, perhatikanlah diri kita. Apa motivasi kita menjadi orang Islam dan bermazhab Ahlulbait? Mengapa kita menjadi ustaz atau aktivis di komunitas Ahlulbait? Seandainya saja motivasinya adalah tak lebih dari urusan dunia, jika motif kita terpapar dan bercampur-baur dengan urusan dunia, celakalah kita. Jika kita hidup di masa Al-Husein, bisa jadi (wal-iyadzu billah), kitalah yang diperangi oleh Al-Husein. [OS]
(Dikutip dari rubrik Tuntunan, Buletin Al-Wilayah edisi 26, Oktober 2018, Shafar 1440H)
Baca: “Ekstremisme dalam Agama“