Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Imam Ali Khamenei: Sudahkah Kita Seperti Zainab?

Asyura dan Arbain adalah pentas dua peristiwa sejarah yang saling bertautan satu sama lain, dan di antara keduanya tidak bisa dipisahkan. Asyura adalah pentas sejarah yang disempurnakan oleh Arbain. Demikian juga Arbain, tak akan mungkin tergelar tanpa didahului oleh peristiwa heroik Asyura. Masing-masing dari keduanya adalah peristiwa paling agung sepanjang sejarah. Keagungan Arbain hanya bisa dibandingkan dengan keagungan Asyura. Bedanya, Asyura mementaskan Al-Husein as, sedangkan Arbain memunculkan sosok perempuan hebat bernama Zainab Al-Kubra sa.

Zainab mampu tetap tegak dan berkibar di hadapan gunung berat bencana. Sejarah menjadi saksi betapa di masa itu, Zainab menanggung duka derita yang sangat berat. Dia adalah seorang perempuan. Tapi, dia saat itu harus menyaksikan kepala-kepala yang tertancap di atas tombak, di saat dirinya sendiri setiap saat bisa saja terbunuh. Dalam situasi seperti itu, bahkan nada suaranya sama sekali tidak bergetar. Zainab tetap tegar seperti bukit yang berdiri kokoh. Ia menjadi pelajaran, model, pemimpin. Ia menjadi penghulu dan terdepan.

Di pasar Kufah, dalam keadaan tubuhnya dirantai, dan diarak, Zainab berteriak lantang kepada warga Kufah, terutama kaum perempuan yang hanya bisa menangis dan menunjukkan sikap iba, tanpa punya keberanian untuk membela. Ia katakan bahwa tangisan mereka itu sia-sia, karena pengkhianatan merekalah yang menjadi sebab terjadinya peristiwa tragis ini. Zainab menyamakan sikap warga Kufah itu seperti perempuan yang mengurai kain tenunan, padahal sebelumya, kain itu dengan susah payah mereka pintal. Sungguh tangisan dan penyesalan yang tak berguna. (Baca: Tidakkah Sayyidah Zainab as Pasca Tragedi Karbala Kembali ke Madinah, Lalu Mengapa Makam Beliau di Suriah?)

Kata-katanya kuat seperti baja, maknanya mengalir seperti air sampai ke relung jiwa yang paling dalam. Dalam kondisi seperti itu, Zainab Kubra berbicara persis seperti Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as: mengguncang hati, diri, dan sejarah. Kata-kata itu abadi dalam sejarah. Itu kata-kata yang disampaikan di hadapan masyarakat, dan dalam keadaan tersandera.

Setelah itu juga di hadapan Ibnu Ziyad di Kufah, begitu pula beberapa minggu berikutnya di hadapan Yazid di Syam, Zainab berbicara dengan kekuatan yang luar biasa sehingga membuat musuh terhina. Seluruh kesulitan yang ditimpakan oleh musuh terhadap beliau, menjadi hina dan kecil di hadapan kebesaran dan keagungan kata-katanya. Simaklah di saat Zainab berkata: “Kalian berkhayal bahwa kalian ingin mengalahkan, menghinakan, dan menghancurkan keluarga Rasulullah SAW?”  Lalu, Zainab mengutip ayat Al-Quran: “Kemuliaan itu hanya milik Allah, Rasul-Nya, serta orang-orang Mukmin.”[1]

Zainab betul-betul manifestasi kemuliaan. Pandangan beliau terhadap semua peristiwa, berbeda dengan pandangan kebanyakan orang. Dengan semua penderitaan dan penghinaan yang ia tanggung, ketika musuh ingin mencela, Zainab malah berkata, “Semua yang aku lihat hanyalah keindahan.[2]

Perhatikan, bagaimana Zainab mampu membalik pandangan penghinaan dari penguasa yang sombong. Ketika Yazid dan Ibnu Ziyad hendak menekankan betapa rombongan Imam Husein saat itu dalam keadaan terhina, karena keluarga Rasulullah terbantai dan tertawan, Zainab justru berhasil memperlihatkan sisi hakiki dari situasi yang ada. Zainab menekankan bahwa terbunuhnya Al-Husein adalah sebuah kemenangan, karena di saat kepala Al-Husein sedang dipermainkan dan jasadnya sempat dibiarkan di Karbala, ruh Al-Husein dan para syuhada Karbala lainnya sedang bersuka cita di surga sana. Sedangkan Yazid, Ibnu Ziyad, dan para pelaku kejahatan Karbala, tak lama lagi akan merasakan dahsyatnya siksaan neraka. (Baca: Imbauan Dewan Syura: Spirit Arbain di Tengah Bencana dan Kontestasi Politik)

Zainab mengakui bahwa memang ada keterbunuhan, dan juga ada ketertawanan. Tapi, semuanya terjadi di jalan Allah SWT, dalam rangka menjaga Islam; demi menciptakan arus sepanjang sejarah agar umat Islam mengerti apa yang harus mereka lakukan, bagaimana mereka mesti bergerak, dan seperti apa seyogianya mereka bertahan. Inilah kerja besar perjuangan Zainabi. Inilah nilai kemuliaan kekasih Allah.

Zainab juga menunjukkan bahwa misi melanjutkan perjuangan Al-Husein hanya bisa dijalani jika motivasi dan niat hati tetap terjaga dalam kemurnian dan keikhlasan. Zainab menunjukkan bahwa kesetiaan terhadap ajaran Islam, tanpa tergoda dengan motif-motif lainnya, adalah kunci keberhasilan menegakkan panji Al-Husein.

Kita tentu saja belum punya ketinggian derajat seperti Zainab. Kita jauh lebih kecil daripada itu. Allah juga tidak mewajibkan kita untuk menjadi Zainab. Akan tetapi, kita punya kewajiban untuk meneladaninya. Gerakan kita harus searah dengan gerakan Zainabi. (Baca: Pola Bani Umayah dalam Menyesatkan Umat)

Zainab ada supaya kita tak pernah merasa puas dengan apa yang sudah kita lakukan. Ketika kita menyatakan diri sebagai pembela Al-Husein, lihatlah, sudah seperti Zainab-kah kita?  Menjadi pembela Al-Husein adalah sebuah proses yang terus menerus kita jalani seumur hidup kita, hingga kita terus memangkas jarak antara kita dengan sosok Zainab.

(disarikan dari pidato Imam Ali Khamenei di depan ribuan Basij —terntara rakyat—pada tanggal 20 November 2013, dikutip dari walifaqih.com) [OS]

[1] QS. Al-Munafiqun: 8.

[2] (Al-Luhuf, halaman 160)

Baca: “Isu Melaknat Sahabat, Kenapa Mereka Tetap Membela Syiah?

 

Written by
No comments

LEAVE A COMMENT