Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

LONG MARCH “ARBAIN” : CINTA TANPA TAPI

Oleh: Dr. Muhsin Labib, MA

Orang-orang yang level keimanannya rendah seperti kita tak layak mengandalkan amal dan ibadah. Andalan tunggal kita adalah harapan dicatat sebagai pecinta orang-orang yang pasti baik karena suci. Harapan adalah yang terakhir mati dalam diri kita. Anda boleh kehilangan harta, keluarga, sahabat dan lainnya, tapi jangan pernah kehilangan harapan. Kita memilih “Jalan Kesucian” yang penuh rintangan ini karena harapan akan kejayaan, kebahagiaan dan kesempurnaan di penghujungnya.

Alasan utama memilih “Jalan Kesucian” bukan kenyamanan hidup, kemudahan penerapan, ketenteraman fisikal dan keamanan dari gangguan, tapi justru karena kesulitan-kesulitan yang membuat banyak orang menolak, membenci dan mencemoohnya. Karbala adalah tujuan kelana niraman dan nirnyaman.

Memilih “Jalan Kesucian” Al-Husain adalah keputusan yang melawan mindset materialisme, kapitalisme dan pragmatisme. Jangan pernah ragu untuk mengayunkan langkah melanjutkan kelana menyusul karavan syahadah Al-Husain dan biarkan semua mata terbelalak dan semua mulut bergumam. Pelintas “Jalan Kesucian” memang keluar dari orbit kebanyakan orang.

Para pelintas “Jalan Kesucian” punya moment reuni tahunan, sebuah ritus kolosal long march atau rekonstruksi perjalanan menuju Prahara Bencana 1300 tahun silam. Lebih dari 25 juta pecinta Al-Husain dari seluruh penjuru planet ini berduyun dalam pawai hitam pekat menuju Karbala. Inilah pertemuan terbesar sejak bumi hadir dalam alam. Inilah Arbain.

Baca: Empat Puluh

Dalam ritual Long March Arbain semua identitas personal dan identitas impersonal; suku, bangsa, negara, budaya, tradisi, bahasa, dan lainnya lebur dalam satu identitas agung. Itulah Husainisme, spirit anti kezaliman.

Dalam 3 hari ritual Arbain setiap jiwa hanya fokus pada satu tujuan, yaitu mengungkapkan cinta kepada Al-Husain di Karbala. Setiap orang yang berada dalam ritual ini terbagi dua, peziarah atau pelayan peziarah.

Ada peziarah yang berjalan kaki. Ada yang berlari. Ada yang merangkak karena tua atau lumpuh. Ada yang ditandu. Ada yang didorong diatas kursi roda. Ada yang berhenti melepas penat. Ada yang kakinya terluka dan melepuh. Ada yang tetap berjalan meski darah menetes dari kakinya. Ada yang tergeletak di jalan dan diangkut mobil atau ambulans.

Pelayan peziarah bukan petugas resmi yang digaji Negara atau parpol. Menjadi pelayan “za’ir” adalah tiara kemuliaan. Setiap orang melakukan aksi pelayanan sesuai kemampuan dan caranya masing-masing. Ada yang berkelompok dan mendirikan tenda-tenda di sepanjang jalan Najaf – Karbala (kira-kira 90 KM) dengan aneka sarana istirahat, pengobatan dan makanan. Ada yang berdiri menghadang para pejalan kaki dan menawarkan aneka makanan dan minuman. Tak sedikit yang berebut mengajak singgah melepas lelah atau mencicipi hidangan. Ada pula yang memelas memohon pejalan kaki mengambil buah korma yang telah dikosongkan dari biji. Tapi yang paling mencengangkan adalah orang-orang berpenampilan miskin yang mengemis kesudian peziarah menginjakkan alas kaki di atas tanah yang telah disiapkannya untuk dijadikan oleh-oleh tanda cinta kepada Al-Husain.

Pendek kata, dalam ritual Arbain semua orang berubah menjadi malaikat-malaikat bertulang. Cinta kepada Al-Husain telah menciptakan sebuah fenomena moral tak terperikan, sebuah keramahan massal, toleransi universal dan cinta tanpa “tapi”.

No comments

LEAVE A COMMENT