Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Apakah Berziarah ke Makam Para Imam as. Hukumnya Wajib?

Terdapat banyak riwayat yang mengungkapkan bahwa melakukan perjalanan ziarah ke makam Imam as. dianggap sebagai suatu kewajiban, sebagaimana tercantum berikut:

  1. Imam al-Shadiq as. telah meriwayatkan bahwa beliau mengatakan, “Melakukan perjalanan ke makamnya adalah kewajiban bagi setiap individu yang meyakini Imamah (kepemimpinan) Imam al-Husain.” [al-Irsyad, Syeikh al-Mufid, 2/133]
  2. Ummu Sa’id, seorang wanita, menceritakan bahwa Imam al-Shadiq as. pernah bertanya kepadanya, “Apakah kamu ingin pergi ke makam Imam al-Husain (as.)?” Dia menjawab, “Ya!” Lalu Imam berkata, “Wahai Ummu Sa’id, pergilah berziarah ke makam al-Husain (as.), karena melakukan perjalanan ziarah ke makamnya adalah kewajiban bagi setiap laki-laki dan perempuan.” [Kamil alI-Ziyarat, hal. 122]
  3. Muhammad Ibn Muslim meriwayatkan bahwa Imam al-Baqir as. pernah mengatakan, “Sungguh, perintahkanlah para pengikutku untuk berziarah ke makam al-Husain (as.). Bagi setiap mukmin yang meyakini kepemimpinan yang telah dianugerahkan kepada Imam al-Husain (as.), perbuatan ini diwajibkan.” [Kamil al-Ziyarat, hal. 121]
  4. Imam al-Ridha as. telah menyatakan, “Bagi mereka yang telah melakukan perjalanan ziarah ke makam Abi Abdullah di pinggir sungai Eufrat, pahalanya setara dengan melakukan perjalanan ke Arasy Tuhan di Surga.” [Tsawab al-A’mal wa ‘Iqab Al-A’mal, hal. 111]
  5. Imam al-Shadiq as. juga mengatakan, “Orang yang melakukan ziarah ke makam Imam (as.) dan memahami hak-haknya, Allah akan menghapuskan dosa masa lalu dan masa depannya (kecuali dosa-dosa yang melibatkan hak-hak orang lain).”
  6. Imam al-Kazhim as. mengungkapkan, “Pahala terkecil yang diberikan kepada mereka yang melakukan ziarah ke makam Imam (as.) di dekat pinggir sungai Eufrat, sambil memahami hak-haknya dan menghormati kepemimpinan yang beliau miliki, adalah Allah akan menghapuskan dosa masa lalu dan masa depannya (kecuali dosa-dosa yang melibatkan hak-hak orang lain).” [Tsawab al-A’mal wa ‘Iqab Al-A’mal, hal. 111]
  7. Imam al-Shadiq as. telah menukil dari Imam Husain as. yang berkata: “Aku adalah syuhada air mata yang terbunuh dalam kesedihan, itu sudah cukup bagi Allah. Maka, Dia akan menjadikan orang-orang yang datang padaku dengan kesedihan, akan pulang kepada keluarganya dalam keadaan bahagia dan senang.” [Tsawab al-A’mal wa ‘Iqab Al-A’mal, hal. 123]

Setelah mengutip beberapa hadis di atas, mungkin ada pertanyaan apakah berziarah ke makam Imam (as.) dianggap sebagai perbuatan yang wajib (fardh), seperti yang disebutkan dalam tiga hadis tersebut, ataukah hanya dianjurkan (mustahab), seperti yang sering kita dengar dalam tradisi Islam? Apakah kata “wajib” juga digunakan dalam hadis-hadis tersebut?

Baca: Nasihat untuk Peziarah Arba’in Imam Husain

Jawabnya adalah bahwa dalam konteks hadis-hadis ini, penggunaan kata “wajib” memiliki makna yang berbeda dari terminologi fikih yang berlaku saat ini. Kata “wajib” dalam fikih modern sering kali merujuk pada suatu perbuatan yang harus dilakukan dan akan mendatangkan dosa jika tidak dilaksanakan. Namun, pada masa Imam as, istilah ini memiliki makna yang berbeda dan lebih sesuai dengan arti “lazim” atau “permanen” dalam kamus.

Oleh karena itu, jika seseorang meyakini kepemimpinan Imam Husain as., disarankan untuk melakukan ziarah, sebagaimana yang disebutkan dalam salah satu hadis: “Untuk setiap orang yang beriman dan percaya kepada kepemimpinannya.” Ini sebenarnya menggambarkan poin yang sama, karena jika itu adalah suatu kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan, tidak perlu menyebutkan keimanan dan penerimaan terhadap kepemimpinan.

Beberapa ahli fikih telah mempertimbangkan kemungkinan bahwa kata “wajib” dalam hadis ini mungkin memiliki kesamaan dengan makna yang berlaku saat ini. Mereka juga mencatat bahwa perjalanan ziarah Imam as, seperti perjalanan haji, hanyalah wajib sekali seumur hidup. Jika seseorang memiliki kemampuan finansial untuk melakukannya, ia tidak boleh menundanya, sama seperti dalam haji.

*Disadur dari buku Kisah Kesyahidan al-Husain – Ali Nazari Munfarid

No comments

LEAVE A COMMENT