Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Amerika dan Terorisme yang Disahkan Dunia

Di tengah dunia yang terus bergetar oleh suara ledakan dan berita duka dari Gaza, sebuah pesan datang dari Teheran—bukan dengan nada kemarahan, melainkan dengan panggilan nurani. Imam Sayyid Ali Khamenei, Pemimpin Revolusi Islam Iran, berbicara di hadapan para juara olahraga dan ilmuwan muda negaranya. Namun isi pidatonya melampaui batas Iran. Ia tidak sedang berbicara kepada bangsanya saja, tetapi kepada hati seluruh manusia.

“Medali kalian membawa harapan di masa ketika musuh berusaha menebar keputusasaan,” ucap beliau. “Namun kemenangan sejati bukan di podium, melainkan ketika kita menolak tunduk pada kebohongan dan penjajahan.”

Dari sebuah aula sederhana di Teheran, pesan itu menggema melintasi benua: tentang makna kekuatan, tanggung jawab kemanusiaan, dan kebisuan dunia terhadap penderitaan yang berlangsung di depan mata.

Gaza: Cermin Dunia yang Membisu

Sudah lebih dari 2 tahun Gaza dikepung dan dibombardir. Ribuan anak menjadi yatim, rumah-rumah menjadi puing, dan dunia masih sibuk mencari kata yang “netral”. Dalam pidatonya, Imam Khamenei menyebut tragedi itu bukan sekadar konflik politik, melainkan ujian bagi hati nurani manusia.

“Lebih dari dua puluh ribu anak terbunuh di Gaza. Siapa teroris yang sebenarnya?” tanyanya. “Apakah bayi yang mati dalam pelukan ibunya, atau mereka yang menjatuhkan bom dengan alasan menjaga keamanan?”

Beliau menyebut Amerika Serikat sebagai “pendamping utama kejahatan” karena senjata-senjata yang dijatuhkan di Gaza berasal dari tangan mereka. Tapi esensi pesan itu bukan sekadar kecaman terhadap Washington. Imam Khamenei mengajak dunia untuk jujur menilai dirinya sendiri:

“Ketika kita membiarkan satu bangsa dibantai, kita sedang membunuh nilai-nilai kemanusiaan kita sendiri.”

Kata-kata itu adalah cermin global. Siapa pun yang menonton perang dari layar, siapa pun yang menulis pernyataan “prihatin” tanpa keberanian menentang kezaliman, ikut menjadi bagian dari kebungkaman itu.

Perang, Kekuasaan, dan Krisis Moral Dunia

Kata “terorisme” telah lama kehilangan maknanya. Ia digunakan oleh kekuatan besar untuk membenarkan kekerasan mereka sendiri. Imam Khamenei menyebutnya sebagai “bahasa baru dari kolonialisme”, di mana kekuasaan mendefinisikan siapa yang bersalah dan siapa yang pantas hidup.

“Amerika berbicara tentang perang melawan teror,” kata beliau, “padahal merekalah yang menciptakan kelompok ekstremis, membiayai perang, dan memelihara ketakutan untuk mengendalikan dunia.”

Bagi beliau, tragedi di Gaza hanyalah puncak dari struktur global yang pincang: sebuah sistem yang menempatkan kepentingan di atas keadilan, ekonomi di atas kemanusiaan, dan propaganda di atas kebenaran.

Pidato ini terasa berbeda dari retorika politik biasa. Tidak ada klaim kemenangan, tidak ada seruan perang. Yang ada hanyalah upaya menuntun dunia kembali melihat akar masalahnya—yakni krisis moral global.

Kemandirian Sebagai Jalan Martabat

Dalam bagian lain, Imam Khamenei menyinggung tentang kemandirian bangsa dan pentingnya membangun kekuatan dari dalam. Beliau tidak hanya berbicara tentang Iran, tetapi tentang seluruh dunia yang sedang bergulat di bawah tekanan globalisasi yang timpang.

“Kemandirian adalah syarat pertama bagi kehormatan,” ujarnya. “Bangsa yang menunggu izin dari kekuatan asing untuk berkembang, telah kehilangan kemerdekaannya sebelum perang dimulai.”

Pernyataan ini, jika dilihat secara universal, menjadi kritik terhadap tatanan dunia yang membuat banyak negara bergantung pada pusat kekuasaan ekonomi dan militer. Ia mengingatkan bahwa ilmu, teknologi, dan kreativitas harus menjadi senjata bagi bangsa-bangsa tertindas untuk keluar dari lingkaran dominasi.

Bayang-Bayang Kekuasaan di Asia Barat

Imam Khamenei juga menyinggung peran Amerika dan sekutunya dalam menciptakan ketegangan di kawasan Asia Barat. Menurut beliau, kehadiran militer asing bukanlah jaminan stabilitas, melainkan sumber dari perang yang tak berkesudahan.

“Kalian datang dari benua lain dan membangun pangkalan militer di sini,” katanya. “Kalian berbicara tentang perdamaian, tapi kehadiran kalianlah yang menyalakan api peperangan.”

Pernyataan ini bukan sekadar kritik geopolitik, melainkan ajakan bagi dunia untuk meninjau ulang konsep keamanan global. Apakah perdamaian berarti penaklukan? Apakah keamanan satu negara boleh ditegakkan dengan mengorbankan keamanan bangsa lain?

Dunia yang Terpecah oleh Ketakutan

Imam Khamenei juga menyinggung protes besar-besaran di dalam negeri Amerika sendiri—jutaan orang yang turun ke jalan menolak perang, rasisme, dan krisis sosial yang menumpuk. Beliau menilai fenomena itu sebagai tanda bahwa kekuasaan adidaya mulai kehilangan legitimasi moral di mata rakyatnya sendiri.

“Jika kalian begitu berkuasa,” sindirnya, “mengapa tidak bisa menenangkan rakyat kalian sendiri? Mengapa lebih mudah mengebom negeri lain daripada menyembuhkan luka di rumah sendiri?”

Pertanyaan ini menggugah refleksi yang lebih luas: bahwa dunia hari ini tidak sekadar kekurangan perdamaian, tetapi kekurangan empati. Peradaban modern telah menciptakan teknologi yang mampu menembus langit, tetapi kehilangan kemampuan untuk menangis atas penderitaan manusia lain.

Pemuda dan Harapan yang Tak Padam

Setelah menyoroti kebijakan global dan tragedi kemanusiaan, Imam Khamenei menutup pidatonya dengan kembali kepada harapan: generasi muda. Beliau memuji atlet dan ilmuwan muda Iran, namun pesannya berlaku universal—bahwa pemuda di mana pun memiliki tanggung jawab untuk menjadi cahaya di tengah kegelapan dunia.

“Sujud kalian setelah kemenangan,” ujar beliau, “adalah tanda bahwa kebesaran sejati lahir dari kerendahan hati. Hari ini kalian bintang, dan jika terus berjuang dengan iman dan ilmu, kalian akan menjadi matahari yang menerangi dunia.”

Bagi Imam Khamenei, pemuda bukan sekadar penerus masa lalu, tetapi pencipta masa depan yang baru—masa depan tanpa perang, tanpa penindasan, tanpa hegemoni.

Seruan untuk Kemanusiaan

Pidato Imam Khamenei di Teheran adalah potret dari sebuah dunia yang sedang mencari arah. Ia bukan pidato anti-Barat atau pro-Iran semata, tetapi seruan global agar manusia kembali menempatkan nilai moral di atas kalkulasi politik.

“Di hadapan bom dan rudal, yang hancur bukan hanya gedung, tetapi hati nurani manusia,” ujar beliau. “Selama kekuasaan lebih berharga dari kebenaran, dunia tidak akan mengenal damai.”

Dunia hari ini membutuhkan bahasa moral baru—bahasa yang tidak memandang agama, bangsa, atau warna kulit, tetapi memandang manusia sebagai manusia. Dari Teheran, pesan itu kembali mengingatkan kita bahwa keadilan bukan monopoli siapa pun. Ia adalah fitrah setiap hati yang masih hidup.

Nurani yang Menyatukan Dunia

Pidato Imam Khamenei 20 Oktober 2025 mungkin berlangsung hanya satu jam. Namun gema moralnya jauh melampaui waktu dan tempat. Di saat dunia terbelah oleh kepentingan, beliau berbicara tentang sesuatu yang universal: nurani, keadilan, dan martabat manusia.

Dunia boleh berbeda agama, berbeda ideologi, dan berbeda sejarah. Tetapi selama ada bayi yang menangis di bawah puing, selama ada manusia yang tertindas karena kekuasaan, maka pesan dari Teheran ini akan tetap relevan:

“Kemanusiaan tidak membutuhkan sekutu politik. Ia hanya butuh keberanian untuk berkata: cukup sudah.”


Sumber: Khamenei.ir

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT