Sejarah menuturkan bahwa Imam Musa bin Ja’far a.s. adalah sumber ketakutan Harun ar-Rasyid serta merupakan ancaman bagi kekuasaan mereka. Kebesaran dan kepribadian Imam Kazhim memberikan ketakutan dan kegelisahan bagi para penguasa Abbasiyah dan aparat-aparatnya dalam menghadapi pribadi yang lapang dada dan tegar itu kendati mereka memiliki kekuasaan dan kekuatan, serta negara dan kekayaan yang besar. Mereka tidak memiliki sarana lain kecuali penjara dan penindasan dalam melindungi dan mempertahankan kekuasaan mereka.
Sejarah menuturkan kepada kita tentang pemenjaraan Imam AI-Kazhim dan kesabaran beliau dalam menghadapi penderitaan dan kekejaman para penguasa. Ketika Harun hendak memenjarakan Imam Musa, didatangkan dua ekor keledai yang diikatkan satu sama lain dengan tali, dan Imam Musa bin Ja’far dinaikkan di punggung salah satu keledai itu. Beberapa orang pengawal membawa beliau menuju Bashrah, sedang rombongan lainnya menuju Kufah. Hal itu dimaksudkan untuk mengelabui mata orang banyak tentang ke mana Imam Kazhim.
Dalam pandangan Imam Musa Kazhim, bumi ini dijadikan Allah seluruhnya sebagai tempat beribadah dan masjid, serta diciptakan sebagai mihrab untuk beribadah, medan untuk bertasbih, dan menyucikan asma-Nya, serta perjalanan mendekatkan diri dan mencapai makrifat kepada Allah. Bagi beliau, kondisi seperti itu tidak akan pernah berubah, kapan dan dimanapun beliau berada. Bahkan ketika situasi dan kondisi untuk itu dipersempit dan ujian semakin berat, maka taqarrub beliau kepada Allah justru semakin meningkat dan semakin membuat beliau memohon pertolongan kepada-Nya dengan sabar dan salat. Atas dasar itu, beliau menjadikan penjara sebagai tempat bersujud. Tekanan dan penderitaan yang dialaminya diisinya dengan zikir kepada Allah, sehingga siangnya diisi dengan puasa, dan malam harinya diisi munajat dan ibadah.
Baca: Posisi Intelektual Imam Musa Kazhim di Tengah Umat
Salah seorang yang ditugasi mengawasi beliau di dalam penjara, yakni Isa bin Ja’far menuturkan bahwa dia pernah mendengar Imam berdoa: “Allahumma, ya Allah, sesungguhnya Engkau Mahatahu bahwa aku selalu memohon kepada-Mu agar aku bisa selalu mengisi waktuku untuk beribadah kepada-Mu, dan sekarang aku bisa melakukan hal itu. Karena itu, segala puji hanya bagi-Mu.” (Bihar Al-Anwar, jil. 48, hal. 107)
Karena sikap Imam yang seperti itu, maka Isa bin Ja’far sesudah menahan Imam a.s. selama satu tahun mengirimkan sepucuk surat kepada Harun yang isinya antara lain berbunyi: “Mohon Tuan ambil dia dari saya, dan serahkan kepada siapa saja yang Tuan kehendaki. Kalau tidak, maka saya akan membebaskannya. Sebab, saya telah mengajukan berbagai argumen kepadanya, namun saya tidak berhasil mengatasinya. Saya khawatir mendengar dia mendoakan saya atau mendoakan (keburukan) untuk Tuan. Saya betul-betul tidak ingin mendengar dia berdoa kecuali untuk meminta rahmat dan maghfirah kepada Allah bagi dirinya sendiri.” (Abu AI-Faraj AI-Ashfahani, Maqatil Al-Thalibiyyin, hal. 502)
Diriwayatkan dari Ahmad bin Abdullah dari ayahnya, menemui AI-Fadhal ibn Al-Rabi yang ketika itu sedang duduk-duduk di ruang atas, lalu dia berkata kepada Abdullah, “Perhatikan kamar itu, lalu katakan kepadaku apa yang engkau Iihat.”
“Pakaian yang tergeletak”, jawab Abdullah.
“Lihatlah baik-baik”, katanya lagi.
Abdullah kembali mengamati dan kemudian memikirkannya baik-baik, lalu aku berkata: “Rupanya orang sedang sujud.”
“Kau kenal dengannya?” tanya Al-Fadhal.
“Dia adalah Musa bin Ja’far. Aku mengawasinya siang dan malam, dan aku melihatnya di setiap waktu kecuali dia sedang beribadah seperti itu. Dia salat fajar, lalu disambung dengan salat lain hingga matahari terbit, kemudian sujud lama sekali, dan tidak mengangkat kepalanya hingga matahari tergelincir di ufuknya. Untuknya disediakan orang yang memberitahu datangnya waktu salat, dan bila dia diberitahu bahwa waktu salat telah tiba, dia segera melaksanakan salat… Selesai salat, kemudian dia makan, lalu memperbarui wudunya, dan sesudah itu sujud dan melaksanakan salat tanpa henti di tengah malam hingga subuh tiba,” jawab Abdullah. (Bihar Al-Anwar, jil. 48, hal. 607)
Allamah Majlisi menuliskan: “Kemudian dia diperintahkan untuk menyerahkan Imam Musa bin Ja’far kepada AI-Fadhal bin Yahya yang menempatkannya di salah satu kamar di rumahnya dengan mengunci pintunya. Di situ Imam Musa bin Ja’far sibuk dengan beribadah. Beliau mengisi sepanjang malam dengan salat, membaca AIquran, dan puasa di sebagian besar hari-harinya, serta tidak pernah memalingkan wajahnya dari mihrab. Karena itu, Fadhal bin Yahya melapangkan hidup beliau dan memuliakannya.”
Begitulah pengaruh Imam Kazhim terhadap para pengawasnya di dalam penjara, dan beliau menghabiskan waktunya dengan berdoa, munajat, istighfar, ruku, sujud, dan tak henti-hentinya berzikir kepada Allah. Semua itu beliau pandang sebagai anugerah dari Allah, sebab membuat diri beliau bisa sepenuhnya beribadah dan membebaskan diri dari kepentingan lain selain untuk Allah Swt.
Baca: Imam Musa Kazhim tentang Evaluasi Diri
Cahaya kalbunya menerangi kegelapan dinding-dinding penjara, kehebatan sabarnya telah mematahkan rantai yang membelenggunya dan memorak-porandakan keinginan para thaghut, kelezatan munajatnya mengisi seluruh ruang penjara dengan kerinduan dan kegembiraan ibadah. Kalau sudah demikian, apa lagikah yang masih bisa dilakukan oleh orang-orang yang zalim dan kejam, serta apa lagikah yang bisa dilakukan para penguasa terhadap dirinya? Imam a.s. mempengaruhi orang-orang yang ada di sekitarnya, dan menundukkan orang-orang yang ada di dekatnya dengan akhlak, tindakan, dan jiwanya.
Harun kemudian memindahkan Imam dari penjara ke penjara lainnya, dari Isa bin Ja’far ke tangan Al-Fadhal ibn Al-Rabi’, kemudian ke tangan Al-Fadhal bin Yahya, dan seterusnya ke tangan Sanadi bin Syahik, dengan harapan ia bisa mengikis habis pribadi beliau, memadamkan semangat perlawanan yang dibangkitkannya, dan mengusirnya dari hati kaum Muslimin. Akan tetapi, keberadaan Imam Musa bin Ja’far di dalam penjara justru merupakan sumber gerakan politik dan jihad yang sangat besar, khususnya kepindahan beliau dari satu penjara ke penjara lainnya dan berita tentang diri beliau yang selalu diikuti oleh umat, sehingga sia-sialah para penguasa melakukan kekerasan terhadapnya.
Keberadaan Imam mengobarkan semangat revolusi, perlawanan, penentangan, dan mewarnainya dengan warna syariat. ltu sebabnya, Imam menolak permintaan orang-orang yang mengajukan diri untuk menjadi perantara dalam mengeluarkan beliau dari penjara, atau memperlihatkan suatu sikap yang bisa menyebabkan perjuangan umat menjadi melemah. Ketika Harun menyadari bahwa semangat perlawanan membisu yang diperlihatkan oleh Imam Musa dalam penjara itu mulai menyelusup ke kalbu kaum Muslimin, dan semangatnya bertemu dengan kesadaran mereka, dia menjadi takut kalau kesadaran tersebut mengkristal dan berubah menjadi pemberontakan.
Harun akhirnya putus asa, kemudian ia memerintahkan Al-Sanadi untuk membunuh Imam. Maka dituangkanlah racun dalam bubur gandum yang diberikan untuk Imam Musa bin Ja’far. Maka beliau pun segera merasakan adanya racun yang menjalar ke seluruh darahnya yang suci, dan berusaha mengatasi racunnya selama tiga hari, namun tidak berhasil. Akhirnya beliau menghembuskan nafas terakhir pada 25 Rajab 183 H di penjara Al-Sanadi bin Syahik. Inna lillahi wa inailahi rajiun.
*Dikutip dari buku Para Pemuka Ahlulbait Nabi karya Muhammad Ali