Telah disebutkan adanya pihak ketiga termasuk dalam faktor hubungan yang menjadi salah satu penyebab KDRT. Kecemburuan pasangan (khususnya suami) terhadap relasi istri dengan laki-laki non muhrim, merupakan salah satu pemicu pertengkaran dan kekerasan di keluarga muslim. Teks Islam menempatkan senisitivitas suami yang disebut sebagai ghairah sebagai hal penting sebagaimana hadis berikut:
ان الله غيور يحب كل غيور ومن غيرته حرم الفواحش ظاهرها وباطنها[1]
Sesungguhnya Allah pencemburu dan mencintai semua pencemburu dan dari kecemburuan itulah diharamkan maksiat dzahir dan batin
Sikap abai (tidak cemburu) seorang suami berkaitan hubungan istri dengan laki-laki asing (non muhrim) termasuk hal yang dicela:
إذا لم يغر الرجل فهو منكوس القلب[2].
Tentunya kecemburuan berlebihan tanpa sebab merupakan hal yang tidak dapat diterima. Berikut teks tentang penolakan kecemburuan berlebihan karena dapat menyebabkan penyimpangan dari perempuan baik-baik:
إياك والتغاير في غير موضع الغيرة فإن ذلك يدعوا الصحيحة منهن إلى السقم[3]
Pembenaran kecemburuan suami didasarkan pada prinsip Islam berkaitan dengan batas hubungan perempuan dengan laki-laki non-muhrim. Islam mengatur interaksi verbal dan non verbal antara perempuan dengan laki-laki non muhrim, meliputi: pandangan, sentuhan fisik, tatapan wajah, jarak dan pakaian khususnya bagi perempuan. Al-quran dalam surah Mukminun ayat 5-7 menyatakan hubungan emosional perempuan dan laki-laki hanya dapat terjadi dalam lembaga pernikahan:
فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُون إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
Al-quran dalam ayat 30 surah an-Nur melarang pandangan laki-laki kepada perempuan dengan maksud menikmati:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.
Al-quran dalam ayat 32 surah Al-Ahzab melarang perempuan berbicara untuk menarik perhatian laki-laki asing secara sensual:
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ
Ayat 31 surah An-Nur mengatur perempuan agar menutup seluruh tubuhnya di hadapan laki-laki asing kecuali wajah dan kedua telapak tangan:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.
Berikut hadis larangan perempuan berbicara banyak (diibaratkan tidak lebih dari 5 kalimat) dengan laki-laki non muhrim :
ونهى أن تتكلم المرأة عند غير زوجها وغير ذي محرم منها أكثر من خمس كلمات مما لابد لها منه[4]
Hadis larangan menyentuh perempuan non muhrim:
ومن صافح امرأة تحرم عليه فقد باء بسخط من الله عزّ وجلّ ، ومن التزم امرأة حراما قرن في سلسلة من نار مع شيطان فيقذفان في النار[5]
Hadis larangan laki-laki berduaan di tempat yang sepi dengan perempuan non muhrim:
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يبت في موضع يسمع نفس امرأة ليست له بمحرم[6]
Bagaimana batasan relasi dengan non muhrim dapat mencegah KDRT?
Aturan tersebut di atas memberi kenyamanan secara psikologis bagi pasangan suami istri. Saat istri atau suami berada di luar rumah, tidak ada kekhawatiran akan perilaku menyimpang dari pasangannya. Hal ini meningkatkan pilar ketahanan keluarga dan mencegah masyarakat dari penyimpangan seksual.
Dalam Islam, batasan syar’i relasi laki-laki dan perempuan non muhrim dikenal dengan istilah haya dan iffah. Adanya haya (sifat malu) dan iffah (kesucian) pada perempuan akan memberi pengaruh yang signifikan dalam keakraban suami istri. Azarbaijani dkk (dalam Salari Far 1389 H.S) menyatakan bahwa penelitian psikologi melaporkan pandangan laki-laki kepada perempuan asing yang cantik mengurangi ketertarikan kepada istrinya sendiri. Tentunya, hubungan suami dengan perempuan asing yang meliputi aspek verbal dan kontak fisik dapat merusak kasih sayangnya terhadap istri. Sebagaimana seorang perempuan yang menjalin hubungan emosional dan seksual dengan laki-laki asing tentu tidak lagi tertarik kepada suaminya.
Muazimi (dalam Salari Far, 1389 H.S) menyatakan sebagian besar kasus KDRT di Iran yang dilakukan laki-laki atau perempuan dan biasanya berujung pada pembunuhan disebabkan hubungan di luar perkawinan oleh suami atau istri. Purwaningsih (2008) dalam penelitian kasus KDRT di kantor kepolisian Matraman melaporkan adanya WIL (Wanita Intim Lain) sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan. Dengan demikian, pelaksanaan batasan syariat hubungan laki-laki dengan perempuan non-muhrim menguatkan ketahanan keluarga. Selain itu, mematuhi batasan tersebut juga berperan mencegah terjadinya kekerasan ringan dan berat di keluarga.
Catatan Kaki:
[1] Hurr Amili, Wasail as-Syiah, j. 20, h. 153
[2] Syaikh Kulayni, Al Kafi, j. 5, h. 536
[3] Ibid, h. 537
[4] Hurr Amili, Wasail as-Syiah, j. 20, h. 197
[5] Ibid, h. 196
[6] Ibid, h. 186
Referensi:
Purwaningsih, Eni (2008), Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga (Studi di Polres Matraman) (Versi Elektronik), Skripsi, Fakultas Hukum Unibraw, 2008
Salari Far (1389 HS), Muhammad Reza, Khusyunat khanegi alaihi zanan baresi elal wa darman ba negaresy be manabi’ Islami, Daftar Mutala’at wa Tahiqiqat Zanan.