Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Bersama Mufasir Perempuan; bagaimana Menyerap Ilmu jadi Cahaya Jiwa?

Banyak yang masih belum mengenal Sayyidah Nusrat Amin, seorang perempuan mufasir. Ya, dia seorang mufasir yang sulit dijumpai perempuan sepertinya dimana berhasil menafsirkankan seluruh Alquran. Karyanya berjudul Makhzan al-Irfan (Khazanah Pengetahuan yang Dalam), dicetak dalam 15 jilid; masing-masing tidak kurang dari 400 halaman.

Kalangan sarjana dan ulama mengenalnya dengan nama Banu Mujtahidah Isfahani, yakni tuan putri sang mujtahid dari Isfahan. Disebut Mujtahidah karena ia satu dari sedikit perempuan yang mencapai derajat ijtihad, menyimpulkan hukum-hukum dari sumbernya dan berhak menerbitkan fatwa.

Selain tafsir, Banu Mujtahidah Isfahani menguasai banyak bidang ilmu keislaman. Ini tampak dari beragam karya ilmiahnya. Salah satu bidang yang tampak begitu menonjol, selain tafsir dan fiqih, ialah irfan atau tasawuf.

Kiprah mufasir dari Negeri Mullah ini tidak berhenti hanya di lingkungan tertutup, hanya berada di tengah keluarga, bersama pelajar dan guru-buru besar. Tidak hanya membina keluarga, mengajar di kelas, Banu Mujtahidah Isfahani juga seorang aktivis pendidikan. Kepedulian besarnya pada agenda pendidikan umat mendorongnya untuk mendirikan sekolah pendidikan menengah atas yang berbasis pada agama. Berikut di bawah ini sejumlah cuplikan dari wawancara dengannya (BMI):

 

Bagaimana pengalaman Anda mencapai tingkat pengetahuan sejauh ini? Bisakah Anda jelaskan ilmu itu cahaya?

BMI: Saya tidak memahami sesuatu pengetahuan dan spiritualitas melalui teks, tapi kebanyakan dari semacam ilham. Jarang sekali karya dan tulisan saya berasal dari luar diri. Tapi, ini bukan berarti saya tahu hal-hal ghaib atau mengetahui keadaan dan isi batin orang. Yang jelas, kebanyakan pengalaman ruhani dan pengetahuan saya tidak didapatkan dari belajar kepada guru. Sejauh yang saya rasakan, kebanyakan tulisan saya merupakan hasil bimbingan dan karunia Allah SWT.

Adapun ilmu, sebagaimana disabdakan Nabi SAW, dibagi menjadi tiga macam:

  1. Bukti yang kokoh (ayat muhkamah). Para ulama mengartikannya dengan ilmu mengenal Allah SWT.
  2. Kewajiban yang adil (faridzah adilah), yang diartikan sebagai ilmu akhlak.
  3. Tradisi yang tegak (sunnah qa’imah), yang diartikan sebagai ilmu hukum syariat.

Jadi, yang dimaksud dengan ilmu sebagai cahaya yaitu cahaya mengenal SWT, cahaya mengenal nilai-nilai akhlak baik dan buruk, dan cahaya mengenal hukum agama.

Bagaimana cara mendapatkan cahaya ilmu itu?

BMI: pertama-tama, dia harus belajar, karena belajar merupakan syarat untuk mendapatkan cahaya mengenal. Dia harus belajar akhlak dan mengamalkannya. Dia harus mensucikan diri, menaklukkan hawa nafsu dan semua keinginan jiwanya, menghilangkan semua sifat tercela pada dirinya seperti: dengki, sombong, rakus, cinta dunia. Dia harus berusaha menjadi orang yang beriman berdasarkan dalil dan argumen, lantas beramal dan menjalankan apa saja yang diwajibkan dan dilarang dalam agama.

Buku apa yang, menurut Anda, paling berkesan dipelajari?

BMI: bitab daras terbaik yang sangat bermanfaat bagi saya adalah al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-Arba’ah, karya Mulla Sadra. Buku ini setebal 4 jilid (cetakan lama), tapi saya hanya mempelajari dua jilid saja. Isi buku ini sesuai dengan semangat dan karakter jiwa saya. Buku ini memuat berbagai pengetahuan yang, untuk memahaminya, perlu menyelesaikan pelajaran filsafat terlebih dahulu. Saya juga antusias mempelajari buku-buku kitab hadis dan tafsir, terutamanya beberapa tafsir seperti Majma’ al-Bayan, karya Allamah Thabarsi.

Sepanjang pengalaman Anda mendalami pengetahuan, ingin sekali kami memperoleh penjelasan tentang posisi laki-laki yang dipersepsikan lebih baik dari perempuan. Bagaimana Anda memandang masalah ini?

Banu: tidak tepat mengatakan bahwa laki-laki lebih baik dari perempuan. Kita memiliki perempuan-perempuan agung seperti Siti Fathimah putri Nabi SAW, Siti Maryam a.s., Siti Khadijah a.s., dan nama besar lainnya. Mereka lebih tinggi dan agung kedudukannya di atas kebanyakan laki-laki.

Adapun kelebihan yang ditetapkan Allah bagi laki-laki itu berlaku dalam sejumlah masalah; hanya bersifat umum, bukan eksklusif dan definitif. Sementara kekurangan perempuan yang disebutkan Alquran misalnya: perempuan senang berpamer diri hingga menyebabkan mereka lalai dari kesempurnaan jiwanya, tentu kecenderungan semacam itu dianugerahkan oleh Allah SWT kepada perempuan bukan tanpa hikmah dan kebijaksanaan. Dan hikmah diwajibkannya hijab pun, di antaranya, karena masalah ini.

Namun demikian, ini merupakan keadaan umum yang, pada umumnya, terjadi di kalangan perempuan. Ini bukan berarti ‘setiap’ perempuan pasti bersifat seperti ini. Ada perempuan yang dapat mengalahkan kecenderungan itu dan ia hanya menggunakannya dalam hal-hal yang diperbolehkan oleh agama. Kita juga dapat menemukan perempuan-perempuan yang dapat menyelesaikan pertikaian dan memutuskan perkara.

Lantas, apakah sifat “pamer diri” yang ada pada perempuan harus diperangi?B

BMI: sifat ini bahkan akan menjadi baik jika digunakan dalam hal-hal yang dibenarkan agama. Tetapi, di luar batas hukum agama, perempuan harus terus berusaha memerangi sifat dan kecenderungan ini. Jika membiarkan diri terbawa sifat “pamer diri”, ini akan mengakibatkan penyimpangan, karena sifat ini merupakan salah satu bentuk dorongan syahwat dan hawa nafsu.

Adapun nilai hikmahnya, Allah SWT menetapkan sifat “pamer diri” pada diri perempuan agar, di antaranya, lelaki tertarik kepadanya dan bersatu dengannya dalam ikatan yang halal (menikah) yang, selanjutnya, akan mempertahankan generasi manusia dan keturunan yang baik.

Dari sisi lain, perlu pula dicatat bahwa perempuan sesungguhnya menjadi tuan manakala menjadi tanggung jawab dan tanggungan yang wajib ditunaikan laki-laki.

No comments

LEAVE A COMMENT