Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)

Bagaimana imamah atau kepemimpinan umat itu terbentuk? Isfara`ini (406-344 H) mengatakan: Imamah terbentuk dengan kekuasaan, walaupun yang mendudukinya adalah seorang fasik atau bodoh atau ajam. Artinya, yang terpenting ialah berkuasa. Tak penting dia itu bermaksiat atau tidak, berilmu atau tidak dan bangsa Arab atau bukan.
Beberapa pendapat yang disampaikan Mawardi (wafat 450 H):
1-Kepemimpinannya disetujui secara ijma oleh mayoritas ahlul aqdi wal halli (yang berwenang mengangkat dan melengserkan) dari setiap daerah atau negeri.
2-Minimal lima orang berkumpul untuk mengangkat pemimpin, atau oleh seorang dari mereka dengan persetujuan empat orang. Atau dengan tiga orang, yang dikepalai satu orang dengan persetujuan dua orang yang menjadi hakim dan saksi. Atau bahkan cukup dengan satu orang, sebagaimana yang dilakukan Abbas, ia berkata kepada Ali: Ulurkan tanganmu untuk aku berbaiat kepadamu!
Lalu orang-orang mengatakan, Paman Rasulullah saw membaiat keponakannya sendiri, sehingga takkan berselisih dua orang terhadapmu, dan dikarenakan ini adalah hukum; efektif walau cuma satu orang!.
Menurut Juwaini (wafat 478 H) tidak disyaratkan ijma. Karena itu tak ada jumlah dan batasan tertentu. Imamah bisa terbentuk dengan mengangkat seorang dari kalangan Ahlul Halli wal Aqdi. Sama seperti yang dikatakan oleh Qurtubi (wafat 671).
Qadhi Adhududdin Iji (wafat 757 H) mengatakan: Imamah menjadi kukuh dengan nash dari Rasulullah saw, dan dari imam sebelumnya. Juga dengan ijma dan dengan baiat Ahlul Aqdi wal Halli..
Ia menambahkan: Jika telah kukuh seorang imam dengan pemilihan dan baiat, ketahuilah itu tidak memerlukan ijma, ketika tiada dalil dari akal dan naql yang mengukuhkannya. Bahkan satu dua orang dari Ahlul Halli wal Aqdi sudah cukup. Karena kita mengenal para sahabat Nabi saw, yang teguh dalam agama. Maka sudah cukup dengan demikian itu.. Tidak disyaratkan ijma orang-orang di Madinah, terlebih mereka sepakat atas seseorang, dan tak seorangpun yang menyangkalnya..
Taftazani menjelaskan: Imamah terbentuk dengan tiga cara;
1-Baiatnya Ahlul Halli wal Aqdi dari kalangan ulama dan para pemuka yang mudah datang, tanpa syarat jumlah dan tanpa kesepakatan dari semua daerah. Sekiranya Ahlul Halli wal Aqdi condong pada seorang yang ditaati, berbaiat kepadanya sudah cukup.
2-Diangkat oleh pemimpin sebagai gantinya.. Kecuali jika ia tidak menentukan seseorang, maka mereka bermusyawarah hingga sepakat atas seorang dari mereka. Pemimpin yang melepas kepemimpinannya seperti dengan kematiannya, maka urusan kepemimpinan berpindah pada putra mahkota sebagai penggantinya.
3-Berkuasa; jika pemimpin telah tiada, dan kepemimpinan diduduki seseorang yang memenuhi persyaratan, tanpa baiat dan pengangkatan, tetapi berkuasa dengan kekuatannya, maka terbentuklah khilafah atau pemerintahan baginya…

Imamah Menurut Syiah Imamiyah
Imam itu sebuah rambu ilahiah, penunjuk jalan Tuhan dan melanjutkan semua tugas kenabian kecuali wahyu. Oleh karena itu, seorang imam disifati dengan persyaratan yang dimiliki seorang nabi, kecuali syarat wahyu. Penjelasannya bahwa Nabi saw yang telah memenuhi kedudukan yang agung dalam kehidupan umat, tugas dan peran beliau tak sebatas menerima wahyu dan menyampaikannya kepada mereka. Tetapi beliau telah melakukan tugas-tugas berikut:
1-Menjelaskan Alquran, maksud-maksud dan tujuan-tujuannya serta menyingkap rahasia-rahasianya. Allah swt berfirman:
وَ أَنْزَلْنا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ ما نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka merenungkan. (QS: an-Nahl 4)
Alquran bukanlah sebuah kitab biasa yang tidak memerlukan penjelasan dari Sang Penerima Wahyu saw. Tetapi sebaliknya, beliau menjelaskan di dalamnya ayat-ayat yang global (mujmal), yang tak bersyarat (muthlaq) dan yang bersyarat (muqayyad); juga yang gamblang (muhkam) dan yang samar (mutasyabihat); yang umum dan yang khusus; yang mansukh dan yang nasikh.
2-Menjelaskan hukum-hukum permasalahan yang terjadi di masa dakwahnya. Hukum-hukum syari yang bersumber dari Alquran dan Sunnah telah sampai kepada umat melalui Nabi saw.
3-Menjawab semua problem dan persoalan yang meragu-ragukan, yang dilontarkan oleh musuh-musuh Islam dari kaum Yahudi dan Nasrani. Rasulullah saw melakukan dialog dengan tokoh-tokoh agama, berargumen dan menjawab dengan wahyu, misalnya Allah swt berfirman:
إِنَّ مَثَلَ عيسى‏ عِنْدَ اللهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرابٍ ثُمَّ قالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, “Jadilah (seorang manusia) , maka jadilah dia. (QS: Al Imran 59)
4-Menjaga agama dari tahrif dan penyusupan, dan mengawasi perkara-perkara ushul dan furu yang dijadikan pedoman oleh muslimin, agar mereka tak tergelincir di dalamnya. Dalam memimpin mereka, beliau saw mengangkat perselisihan dan menyelesaikan perseteruan di antara mereka, termasuk dalam masalah politik dan lainnya.

(Bersambung)

Post Tags
Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT