Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Keniscayaan Imamah dan Fungsinya sebagai Pemelihara Agama

Mazhab Syiah meyakini bahwa kebijakan Tuhan (al-hikmah al-Ilahiyah) menuntut perlunya pengutusan para rasul untuk membimbing umat manusia. Demikian pula mengenai imamah, yakni bahwa kebijaksanaan Tuhan juga menuntut perlunya kehadiran seorang imam sesudah meninggalnya seorang rasul guna terus dapat membimbing umat manusia dan memelihara kemurnian ajaran para nabi dan agama Ilahi dari penyimpangan dan perubahan.

Selain itu, untuk menerangkan kebutuhan-kebutuhan zaman dan menyeru umat manusia ke jalan Tuhan serta pelaksanaan ajaran-para nabi. Tanpa itu, tujuan penciptaan, yaitu kesempurnaan dan kebahagiaan, al-takamul wa al-sa’adah, sulit dicapai, karena tidak ada yang membimbing, sehingga umat manusia tidak tentu arah dan ajaran para nabi menjadi sia-sia. Oleh karena itu, kami meyakini sesudah Nabi Muhammad Saw, ada seorang imam untuk setiap masa.

Allah Swt berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bergabunglah bersama orang-orang yang benar (al-shadiqin).” (QS. al-Taubah: 119)

Ayat ini tidak berlaku untuk satu masa saja, tapi untuk seluruh zaman. Seruan agar orang-orang beriman bergabung dalam barisan orang-orang yang benar, al-shadiqin, pertanda adanya imam maksum yang harus diikuti pada setiap zaman, sebagaimana disebutkan oleh banyak mufasir Sunni dan Syiah terhadap makna ayat ini.

Baca: Perbedaan antara Nubuwah, Imamah, dan Risalah

Imamah juga bukan sekadar jabatan politik atau kekuasaan formal, tetapi sekaligus sebagai jabatan spiritual yang sangat tinggi. Selain menyelenggarakan pemerintahan Islam, imam bertanggung jawab membimbing umat manusia dalam urusan agama dan dunia mereka. Imam juga membimbing pikiran dan rohani masyarakat. Imam memelihara syariat Nabi Muhammad Saw agar tidak menyimpang atau berubah serta memperjuangkan tercapainya tujuan pengutusan Nabi Muhammad Saw.

Jabatan tinggi ini diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim a.s. setelah Ibrahim melewati fase kenabian dan risalah. Setelah lulus dari sejumlah ujian berat, Ibrahim a.s., meminta kepada Allah agar jabatan ini diberikan juga kepada sebagian keturunannya, tetapi Allah menegaskan kepada Ibrahim bahwa orang-orang zalim dan para pendosa tidak akan mencapai posisi ini.

“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat lalu ia menyempurnakannya. Tuhan berfirman kepadanya, ‘Aku angkat engkau sebagai imam bagi umat manusia.’ Ibrahim berkata, ‘Berikan pula kepada keturunanku.’ Tuhan berfirman: ‘Ketentuan-Ku ini tidak akan mengenai orang-orang zalim.’” (QS. al-Baqarah: 124)

Jelas sekali bahwa kedudukan yang demikian tinggi ini tidak dapat diterjermahkan sebagai jabatan pemerintahan formal. Dengan demikian, jika imamah tidak diterjermahkan sebagaimana yang telah kami gambarkan di atas, maka ayat di atas tidak mempunyai pengertian yang jelas.

Syiah meyakini bahwa para nabi utama, ulul azmi, terutama Nabi Muhammad Saw, adalah sekaligus sebagai imam-imam yang memiliki otoritas kepemimpinan spiritual rohaniah dan kepemimpinan formal material. Dengan demikian, Nabi Muhammmad Saw tidak sekadar menyampaikan ajaran Allah, tapi sekaligus memimpin umat manusia, dan jabatan imamah ini diberikan kepada Nabi Saw sejak awal kenabiannya, kemudian dilanjutkan oleh orang-orang saleh dari dzuriyat-nya.

Dari batasan di atas mengenai imamah tampak bahwa untuk mencapai kedudukan ini dituntut syarat-syarat yang sangat berat, baik dari sisi takwa, yaitu telah mencapai tingkat ishmah, terpelihara dari perbuatan-perbuatan dosa, maupun dari sisi ilmu dan pengetahuan yang mencakup seluruh bidang pengetahuan dan aturan agama serta pengetahuan tentang manusia dan kebutuhannya untuk setiap zaman.

Seorang Imam wajib bersifat maksum, terpelihara dari perbuatan dosa dan kesalahan, karena, di samping makna ayat di atas, seorang yang tidak maksum tidak dapat dipercaya sepenuhnya untuk diambil darinya prinsip-prinsip agama maupun cabang-cabangnya. Oleh karena itu, Syiah meyakini bahwa ucapan seorang imam maksum, perbuatan, dan persetujuannya (taqrir), merupakan hujah syar’iyyah, kebenaran agama, yang mesti dipatuhi. Yang dimaksud dengan persetujuan imam maksum atau taqrir al-ma’shum ialah sang imam tidak menegur suatu perbuatan yang berlangsung di hadapannya, bahkan membiarkannya saja.

Seorang Imam tidak membawa syariat baru. Kewajibannya hanyalah menjaga agama Islam, memperkenalkan, mengajarkan, menyampaikannya, dan membimbing manusia kepada ajaran-ajaran yang luhur.

Dan seorang imam juga harus menguasai dan memiliki pengetahuan yang utuh terhadap semua pokok agama Islam, cabang-cabangnya, hukum, peraturan, dan tafsir Alquran. Pengetahuan ini bersifat rabbani, suci, dan didapat dari Nabi Saw, supaya sang imam mendapat kepercayaan penuh dari umat dan dapat diandalkan dalam memahami hakikat Islam.

Imam penerus Rasulullah Saw, harus ditetapkan melalui nas atau pengangkatan yang jelas oleh Rasulullah Saw atau oleh imam sebelumnya. Dengan kata lain, seorang imam, seperti halnya Nabi Saw, ditetapkan oleh Allah Swt, tetapi melalui Nabi Saw, sebagaimana keterangan Alquran dalam pengangkatan Ibrahim a.s. sebagai imam. “Sesungguhnya Aku mengangkatmu bagai imam bagi umat manusia.”  (QS. al-Baqarah: 124)

Dalam pada itu, penentuan tingkat takwa, seseorang telah mencapai tingkat ishmah dan telah mencapai tingkat pengetahuan seluruh hukum dan ajaran Allah Swt tanpa ada kesalahan sedikit pun tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, penentuan bahwa seseorang telah memenuhi sifat ishmah datangnya dari Rasulullah Saw.

Baca: Ilmu Apa Saja yang Harus Dimiliki Para Imam Ahlulbait a.s.?

Dengan demikian, Syiah meyakini bahwa keimamahan para imam maksum tidak diperoleh melalui pemilihan masyarakat. Tetap Nabi Muhammad Saw sendiri yang telah menetapkan para imam sesudahnya, sebagaimana yang telah dilakukannya dalam hadis populer al-tsaqalain. Dan di Ghadir Khum beliau juga kembali menegaskan:

“Aku hanyalah seorang manusia, yang jika utusan Tuhanku datang kepadaku akan kupenuhi. Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berat. Pertama, kitab Allah. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. (Kedua) Ahlulbaitku. Aku ingatkan kalian pada Allah tentang Ahlulbaitku. Aku ingatkan kalian pada Ahlubaitku. Aku ingatkan kalian pada Ahlubaitku.” (Shahih Muslimm 4/1873)

Hadis yang sama juga diriwayatkan dalam Shahih Turmuzi. Bahkan pada Shahih Turmuzi terdapat pernyataan tegas Nabi Saw yang mengangkat imam sesudahnya dari lingkungan keluarganya. Demikian pula hadis-hadis yang diriwayatkan dalam Sunan al-Darimi, Khasaish al-Nasai, Musnad Ahmad, dan sumber-sumber utama Islam terkenal lainnya.

*Disarikan dari buku Inilah Akidah Kami – Ayatullah Nassir Makarim Syirazi


No comments

LEAVE A COMMENT