Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Peran Wudu dalam Menjernihkan Hati dan Jiwa Manusia

Imam Ali bin Musa ar-Ridha as menyoroti beberapa adab-adab batin dan kalbu dalam berwudu. Beliau menyatakan bahwa wudu diperintahkan agar seorang hamba tetap suci saat berdiri dan berdoa di hadapan Dzat Maha Pemaksa (al-Jabbar). Ini merupakan bentuk ketaatan pada perintah-Nya untuk menjaga kebersihan dari segala noda dan najasah.

Lebih lanjut, Imam Ali ar-Ridha menjelaskan bahwa wudu juga memiliki manfaat lain, seperti menghilangkan kemalasan, mengusir rasa kantuk, dan membersihkan hati saat berhadapan dengan-Nya.

Dalam konteks ini, Imam as mengingatkan ahli makrifat dan pesuluk bahwa berdiri dan berdoa di hadapan al-Haqq Yang Maha Agung dan Tinggi, memerlukan serangkaian adab yang harus diperhatikan. Jika kotoran lahiriah-fisik dan kemalasan indra hanya dianggap tidak pantas di hadapan al-Haqq, maka hati, sebagai inti dari semua aktivitas ini, pasti lebih tidak pantas menimbun kotoran dan noda maknawi ketika berhadapan dengan-Nya.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Allah tidak memandang kepada bentuk fisik kalian, melainkan Dia memandang kepada kalbu kalian.” Pesan ini menekankan bahwa yang paling utama dalam mendekati Allah adalah keadaan hati manusia, bukan penampilan fisiknya. Meskipun demikian, penting untuk tetap menjaga kebersihan formal dan lahiriah, dengan ditetapkannya taharah lahiriah untuk tubuh luar dan taharah batin untuk dimensi dalam diri manusia.

Imam Ali ar-Ridha menyampaikan bahwa wudu memiliki manfaat batin, termasuk membersihkan hati. Ini menandakan bahwa wudu tidak hanya tentang kebersihan fisik, tetapi juga membawa dimensi batin yang berkaitan dengan kebersihan hati. Keterkaitan erat antara dimensi batin dan lahir, serta antara dunia nyata dan dunia gaib, tercermin dalam praktik wudu.

Kesucian lahiriah dan wudu formal bukan hanya sebagai bagian dari ibadah dan ketaatan kepada Tuhan, tetapi juga sebagai sarana mencapai kesucian hati. Kesucian formal adalah kunci untuk mencapai kebersihan hati. Oleh karena itu, bagi mereka yang berusaha di jalan Allah, saat berwudu, mereka harus menyadari bahwa mereka akan mendekati Sang Pemilik Kemahabesaran. Penting untuk membersihkan diri dari keadaan hati yang tidak layak, yang dapat menghalangi kehadiran keagungan Tuhan.

Berwudu bukan hanya tentang membersihkan diri secara fisik, tetapi juga tentang mengalirkan kebersihan lahiriah ke dalam hati. Hati harus menjadi tempat yang layak dipandang atau bahkan ditinggali oleh Allah. Dengan membersihkan hati dari segala hal selain Allah, menghilangkan kesombongan, sifat-sifat Firaun, dan cinta diri yang bisa mencemari hati, hatimu akan menjadi layak menghadap Kedudukan Ilahi yang Mahakudus.

Imam ar-Ridha menjelaskan alasan pengkhususan organ tubuh dalam wudu. Beliau menyatakan bahwa membersihkan wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki adalah kewajiban, karena organ-organ tersebut terlibat dalam ibadah kepada Allah. Wajah bersujud, tangan meminta dan memohon, kepala menghadap dan menyambut-Nya, dan kaki berdiri dan duduk.

Beliau menekankan bahwa setiap organ ini memiliki peran yang menunjukkan ubudiyah kepada Allah, sehingga disucikannya menjadi penting. Penjelasan ini membuka pintu pemahaman bagi ahli makrifat, mengajak mereka meneliti rahasia di baliknya. Semua organ ubudiyah harus suci.

Imam ar-Ridha menegaskan bahwa meski organ lahiriah dimandikan, jika hati tidak disucikan, seluruh tubuh tetap tidak benar-benar bersih dan tidak pantas menduduki maqam ubudiyah. Organ-organ tersebut melambangkan sifat-sifat spiritual, sehingga penyucian hati menjadi kewajiban utama.

Dalam konteks ini, hadis menyebutkan bahwa setan mengendalikan manusia melalui was-was, dimulai dari pandangan hingga melakukan kesalahan. Wudu diwajibkan untuk menyucikan organ-organ tersebut sebagai tanda tobat. Kesimpulannya, penyucian lahiriah dan batiniah merupakan kunci untuk mendekati kemuliaan Ilahi dan menghindari pengaruh setan.

Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib as menjelaskan alasan kewajiban berpuasa dengan merujuk pada pertanyaan sekelompok Yahudi kepada Nabi Muhammad Saw. Mereka bertanya mengapa umat Islam diwajibkan berpuasa selama tiga puluh hari, sementara umat-umat sebelumnya diwajibkan lebih lama. Nabi Saw menjawab bahwa setelah Adam memakan buah terlarang, sisa makanan itu tinggal dalam perutnya selama tiga puluh hari. Oleh karena itu, Allah mewajibkan keturunannya untuk menahan lapar dan dahaga selama tiga puluh hari, dan makanan yang dikonsumsi dalam periode tersebut adalah kebaikan dari Allah.

Dari hadis ini, pemilik hati yang suci memperoleh banyak manfaat. Kesalahan Adam as dianggap sebagai kesalahan yang mungkin terjadi karena keterpikatan sesaat pada keindahan alam ciptaan atau perhatian sesaat kepada keberagaman Nama-nama Ilahi. Meskipun kesalahan tersebut mungkin merupakan kesalahan yang wajar, namun tetap tidak pantas bagi Adam as, manusia pilihan yang diistimewakan oleh Allah.

Dalam konteks ini, Allah memberitahukan dan menyebarluaskan kesalahan Adam as kepada seluruh alam melalui para nabi-Nya. Kesalahan ini terkait dengan tawajuh kepada keberagaman Nama-nama Ilahi dan puncaknya adalah memakan buah dari pohon terlarang. Sebagai bentuk gaib dari pohon tersebut, buahnya memiliki beragam jenis, dan fisiknya melibatkan alam material dan segala urusannya. Oleh karena itu, ada kebutuhan akan penyucian dan peringatan bagi Adam as dan keturunannya yang terlibat dalam kesalahan tersebut.

Cinta dunia dan cinta diri dalam keturunan Adam as berasal dari tindakannya memakan buah terlarang, mengakibatkan kecenderungan pada pohon tersebut. Oleh karena itu, Allah menetapkan cara penyucian, salat, dan puasa untuk membersihkan keturunan Adam dari kesalahan tersebut.

Semua kemaksiatan lahiriah keturunan Adam adalah efek dari memakan buah terlarang, memerlukan cara penyucian khusus. Begitu juga, kemaksiatan kalbu dan roh terkait dengan keberadaan pohon, memerlukan cara penyucian khusus.

Penyucian organ fisik mencerminkan kesucian kalbu dan roh manusia. Bagi ahli suluk, penyucian organ fisik adalah jalan menuju kesucian kalbu dan roh. Fokus hanya pada kesucian lahiriah menandakan belum masuk dalam golongan ahli suluk.

Pesuluk harus memahami bahwa penyucian kalbu adalah tujuan utama. Suluk dimulai dengan ilmu, memahami peringkat ibadah sebagai tingkat terendah dari ibadah kalbu dan roh. Suluk dengan amal mencapai puncak dengan pengosongan jiwa dari selain Allah dan hiasannya dengan penampakan Nama, Sifat, dan Dzat Ilahi. Pesuluk yang mencapai maqam ini menyaksikan manifestasi Keagungan dan Keindahan Ilahi.

*Disarikan dari buku Hakikat dan Rahasia Salat – Imam Khomeini

No comments

LEAVE A COMMENT