Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Imamah Menurut Mazhab Syiah dan Ahlusunah Bag.2

Baca: Imamah Menurut Mazhab Syiah dan Ahlusunah Bag.1

Selain soal kemaksuman, berdasarkan hadis-hadis yang sedemikian banyak, Syiah juga meyakini bahwa alam semesta tidak akan pernah kosong dari keberadaan imam, baik ia tampak secara indrawi maupun gaib. Puluhan hadis seperti ini sejalan juga dengan hadis-hadis yang menyatakan bahwa para imam bagaikan perahu Nabi Nuh as., laksana bintang-bintang yang menerangi bumi, tiang-tiang alam raya dan lain sebagainya. (Muhammad ar-Raysyahri, Ahlulbait fi al-Kitab wa as-Sunnah. hal. 140-168)

Lantaran kedudukan yang begitu penting itu, kita tidak bisa menganggap imamah ibarat lembaga-lembaga sosial-politik yang tercipta berdasarkan kesepakatan dan dapat berakhir juga berdasarkan kesepakatan. Berbeda dengan presiden yang bisa naik dan bisa turun, seorang imam tidak bisa turun atau diturunkan oleh masyarakat.

Dalam konteks seperti itulah, kita bisa mengerti mengapa Nabi Muhammad saw bersabda bahwa siapa yang mati tanpa (memiliki atau mengenali) imam zamannya, maka matinya bagaikan mati dalam keadaan jahiliah. Dalam versi lain, Nabi saw bersabda: “Siapa yang mati tanpa memberikan baiat kepada imam, maka ia akan mati dalam keadaan jahiliah.” (Ahmad lbn Hambal, Musnad Ahmad, 6/22)

Baca: Maha Guru Ahlusunnah

Begitu juga halnya dengan penekanan yang diberikan oleh Rasulullah saw untuk mencintai para imam dari Ahlulbaitnya. Diriwayatkan oleh lbn Umar, Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa ingin bertawakal (mewakilkan urusannya) kepada Allah, hendaklah dia mencintai Ahlulbaitku; barang siapa  ingin selamat dari siksa kubur, hendaklah dia mencintai Ahlulbaitku; barang siapa ingin memperoleh hikmah, hendaklah dia mencintai Ahlulbaitku; dan barang siapa ingin masuk surga tanpa hisab, hendaklah dia mencintai Ahlulbaitku. Demi Allah, tak seorang pun mencintai mereka kecuali dia beruntung di dunia dan akhirat.” (Muwaffaq al-Khawarizmi, Maqtal al-Husain, Maktabah al-Mufid, 1/59; al-Juwayni, Faraid as-Simthayn, Mu’assasah al-Mahmudi, 2/294; dan al-Qunduzi al-Hanafi, Yanabi’ al-Mawaddah, Dar al-Uswah, 2/332)

Hadis-hadis seperti di atas tercantum dalam pelbagai kitab hadis secara berlimpah-ruah, sedemikian sehingga membuat kita bertanya-tanya: Gerangan apa yang mendorong Allah Swt, melalui nabi-Nya, mengulang-ulang manfaat besar kecintaan kepada mereka? Apakah ini semacam “agenda politik” yang dirancang oleh Nabi Muhammad Saw untuk mengangkat Ali bin Abi Thalib as. Dan keturunannya sebagai penguasa-penguasa politik sepeninggal beliau?

Ataukah penekanan itu untuk menunjukkan kepada manusia bahwa kebergantungan mereka pada imam tidak berhenti pada kehidupan fisik dan wilayah sosial politik semata-mata, melainkan terus berlanjut pada tahap-tahap kehidupan selanjutnya di alam-alam yang lain?

Jelas, bahwa kebergantungan dan kebutuhan manusia kepada para imam yang suci itu terus berlanjut secara abadi. Kecintaan kita kepada Rasul Saw dan para imam itu menjadi ikatan yang akan terus menjaga kita, walaupun tubuh kita telah hancur berkalang tanah. Ikatan inilah yang disebut oleh Rasulullah sebagai “asas Islam”. (Alauddin al-Hindi, Kanz al-‘Ummal, Maktabah al-Turats al-Islami, 1/645)

Dalam hadis lain disebutkan, bahwa kecintaan kepada mereka adalah sebaik-baik ibadah dan menyebabkan orang masuk surga. Dalam kaitan dengan Imam Ali bin Abi Thalib as, Rasul Saw bersabda: “Wahai Ali, tidak mencintaimu kecuali orang Mukmin, dan tidak membencimu kecuali orang munafik.” (Ibn Asakir ad-Damasyqi. Tarikh Damasyqi. Dar at-Ta’aruf, jilid 2 berkenaan dengan “Biografi Imam Ali”)

Hanya saja, ironisnya, para imam yang suci dan ditunjuk oleh Allah Swt untuk membimbing manusia kembali kepada-Nya tidak selalu diterima oleh masyarakat sebagai penguasa dan pemimpin politik mereka. Bahkan, sejarah menunjukkan bahwa orang-orang suci ini sering kali tersingkirkan dan dipermainkan oleh para avonturir yang dengan licik memanipulasi opini masyarakat, sehingga pada gilirannya imam-imam yang secara niscaya berkedudukan tinggi di mata Allah ini sering kali ditindas oleh umat Muhammad, persis seperti perlakuan Bani Israil terhadap nabi-nabi mereka.

Baca: Penunjukan Imam sebagai Pelanjut Misi Kenabian

Dari uraian singkat di atas, kita bisa memetik beberapa kesimpulan berikut: pertama, imamah adalah kedudukan yang ditetapkan oleh Allah dengan nas dan bukan hasil pilihan dari suatu musyawarah, sebagaimana nubuwah juga langsung ditetapkan oleh Allah Swt; kedua, berbeda dengan khalifah, imam harus maksum (ma’shum) dan suci; ketiga, imam belum tentu mendapatkan kekuasaan dan legitimasi politik. Mungkin saja ada seorang imam yang tidak “diakui” sebagai penguasa politik, meskipun status imamah tidak mungkin dicabut oleh masyarakat lantaran status itu adalah pemberian Allah SWT dan konsekuensi dari ketinggian kedudukannya di sisi-Nya; dan keempat, kebutuhan manusia kepada imamah bersifat permanen sebagaimana kebutuhan manusia kepada nubuwah. Dengan berakhir serta sempurnanya nubuwah pada diri Nabi Muhammad saw, maka fungsi nubuwah untuk seterusnya dilanjutkan dengan imamah.

*Disadur dari pengantar buku Imam Penerus Nabi – Sayid Mujtaba Musawi Lari

No comments

LEAVE A COMMENT