Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Bagaimana Orang Tua Mendidik Anak Menjadi Manusia?

Tuhan menciptakan manusia dengan fitrah kesucian, kebaikan dan kesempurnaan. Dengan akal yang tiada batas, manusia idealnya bergerak kearah kesempurnaan dan kebaikan. Namun, seringkali program yang diperoleh justru mengecilkan dan membatasi fungsi akalnya untuk berkembang lebih baik. Program tersebut bahkan mematikan atau membatasi fungsi akal yang bertentangan dengan fitrah kemanusiaannya. Orang tua sebagai programmer utama dapat mengantisipasi hal tersebut dengan membangun fundamen perkembangan kemanusiaan anak. Berkaitan dengan itu, menurut seorang praktisi psikologi Rahmadani Hidayatin, S.Psi, M. Kes, anak perlu diajarkan pada tiga hal berikut:

  1. Mengajarkan Anak “Belajar Bagaimana Berpikir”

Berpikir memiliki 4 komponen:

a. Memahami konsep

Apa itu konsep? Secara sederhana konsep berarti sesuatu yang dipahami. Aristoteles dalam “The classical theory of concepts” menyatakan bahwa konsep merupakan penyusun utama dalam pembentukan pengetahuan ilmiah dan filsafat pemikiran manusia. Konsep juga dipahami sebagai suatu abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang mempermudah komunikasi antar manusia dan memungkinkan manusia untuk berpikir. Berfikir merupakan representasi intelektual yang abstrak dari situasi, objek atau peristiwa, suatu akal pikiran, suatu ide atau gambaran mental. Ajarkan anak bagimana menggunakan pikirannya untuk menghasilkan sebuah makna yang baik dengan landasan berfikir yang kuat. Menghentikan sikap kritis anak akan menghilangkan kemampuan berpikir.

b. Memecahkan masalah

Anak perlu belajar bagaimana agar dengan kemampuan berpikirnya dapat melihat persoalan yang dihadapinya dengan baik. Dengan demikian, ia dapat menemukan cara yang tepat menyelesaikan atau mengatasi masalahnya. Kadang anak dengan nilai matematika 10 tidak mampu mengimplementasikan dalam menyelesaikan masalah hidupnya. Nilai akademis itu menjadi tidak ada maknanya. Saat belajar matematika, anak belajar rumus-rumus untuk memecahkan soal matematika. Hal ini bisa dianalogikan dengan belajar menyelesaikan masalah. Karena pada saat yang sama anak belajar menerapkan rumus-rumus logika berfikir untuk menyelesaikan  masalah hidupnya. Sering ditemui anak yang meskipun nilai matematikanya tinggi tapi mengalami banyak masalah dan tidak bisa menyelesaikan masalah kehidupannya. Pada kondisi ini ia belajar matematika secara simbol saja. Ia hanya menghapal rumus-rumus,  namun tidak belajar filosofis rumus tersebut dalam menyusun logika berfikir yang benar dan baik.

c. Proses transfer

Proses belajar tidak hanya saat anak menerima suatu pengetahuan. Belajar juga meliputi bagaimana membagi pikirannya kepada orang lain untuk mendapatkan pemahaman yang sama dengan orang tersebut. Ini menjadi modal baginya untuk berinteraksi dengan baik terhadap dirinya dan orang lain.

d. Metakognisi

Metakognisi berarti “berfikir tentang berfikir” atau kesadaran berfikir sesorang tentang pikirannya. Metakognisi disebut juga sebagai pengetahuan tentang kapan dan bagaimana menggunakan strategi tertentu untuk belajar atau memecahkan masalah. JH Flavell merupakan orang yang pertama kali menggunakan kata “metakognisi”.  Metakognisi mengacu pada pengetahuan seseorang tentang proses kognitifnya sendiri atau apapun yang berhubungan dengan itu. Misalnya pembelajaran yang relevan-bersifat informasi atau data. Perlu mengajarkan anak untuk menggunakan struktur berpikir yang benar dan melihat hubungan sebab akibat dari sesuatu yang dihadapinya. Ajarkan kepada anak kenapa ia perlu berpikir dengan benar dan baik dalam menyerap informasi dan dalam bertindak.

  1. Mengajarkan anak “Belajar Bagaimana Hidup”

Belajar berfikir dan bagaimana menggunakan pikirannya dalam menyerap materi-materi pelajaran lebih banyak diajarkan di sekolah. Namun sekolah tidak sepenuhnya mengajarkan bagaimana hidup. Karena itu, orang tua diharapkan lebih berperan dalam proses pembelajaran ini. Belajar bagaimana hidup berkaitan dengan beberapa hal berikut:

a. Interpersonal

Ajarkan anak tentang konsep etika, manajemen konflik dan memahami ragam perspektif. Etika adalah nilai-nilai hidup yang menjadi dasar bagi anak untuk berperilaku sebagai manusia yang baik. Nilai-nilai etika ada yang bersifat universal misalnya mengajarkan anak tentang nilai kedisiplinan, sopan santun, menghargai orang lain, bersikap menolong, empati. Sedangkan nilai-nilai yang berlandaskan pada norma-norma hukum dan agama merupakan nilai-nilai yang sangat kuat mempengaruhi jiwa manusia.

b. Manajemen konflik

Ajarkan anak bagaimana cara yang baik ketika ia mendapatkan masalah dengan orang lain baik di rumah, sekolah maupun lingkungan sosial. Tujuannnya agar ia bisa menyelesaikan masalah yang menyenangkan bagi dirinya dan juga menyenangkan bagi orang lain. Manajemen konflik berarti mengajarkan anak apa masalah yang sedang dihadapi, kenapa masalah bisa muncul dan bagimana cara yang terbaik untuk menyelesaikan masalah.

Karena berhadapan dengan orang lain, ia juga harus diajarkan bagaimana memahami perpsektif atau sudut pandang orang lain. Anak diajarkan pada dialog dan komunikasi yang baik dengan belajar mendengarkan dan berbicara. Dengan demikian, anak bisa memahami persoalan dari sudut pandang diri sendiri dan sudut pandang orang lain. Dialog akan menghasilkan pemahaman yang sama, pikiran yang sama dan tujuan yang sama dalam menyelesaikan konflik.

Keterampilan interpersonal mengajarkan kepada anak bahwa ia adalah manusia. Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam kehidupannya akan selalu bersama-sama dengan orang lain di manapun ia berada. Ia tidak bisa hidup sendiri, dengan pikirannya sendiri dan mengorbankan keberadaan orang lain. Kesadaran adanya kehidupan sosial ini akan menurunkan ego, sifat sombong, merasa paling cerdas dan merasa paling baik atau benar. Bahwa hidup bersama orang lain akan menggapai kesempurnaannya sebagai makhluk sosial. Kebermaknaan hidupnya sebagai manusia ketika ia bisa bermanfaat bagi banyak orang, bukan karena lebih menonjol dari orang lain.

c. Intrapersonal

Interpersonal merupakan pelajaran yang diberikan kepada anak untuk mengenali dirinya sendiri sebagai manusia dan makhluk Tuhan. “Who Am I” berdasar pada siapa saya, apa tujuan saya dan apa kebutuhan saya sebagai manusia. Hal inilah fondasi dasar dalam pembentukan karakter kepribadian anak. Jarang sekali orang tua berbincang-bincang kepada anaknya sejak dini tentang konsep manusia dan kemanusiaanya. Orang tua dapat memulai dengan cara-cara yang sederhana sesuai dengan usia dan kapasitas berfikir anak. Anak yang sudah mengenali dirinya sejak dini akan menerima siapa dirinya. Penerimaan ini menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan serta kesadaran akan dirinya sebagai manusia yang memiliki tujuan penciptaan. Sebagai makhluk yang paling sempurna akalnya, ia akan tahu apa kebutuhannya dan tujuannya menjadi manusia.  Hal tersebut akan memudahkannya untuk mengaktualisasikan diri dan merancang hidupnya dengan baik.

  1. Mengajarkan anak “Belajar Bagaimana Belajar”

Meskipun bagaimana belajar sudah diajarkan di sekolah, namun akan lebih sempurna jika orangtua juga melakukan hal sama. Orang tua dapat mengajarkan anak bagaimana mendengar, membaca, menulis dan  berbicara. Orang tua yang cerdas dan selektif akan memilih apa yang harus didengar dan apa dibaca sang anak. Ajarkan anak bagaimana cara memfilter informasi yang dilihat dan didengar dengan baik. Informasi yang baik adalah sumber pengetahuan dan nutrisi bagi akal anak untuk berfikir. Jika sejak kecil anak diajarkan untuk kritis dalam menerima informasi ia akan mengisi pikirannya dengan materi-materi baik. Selanjutnya ia akan tumbuh dengan prinsip hidup yang baik. Selain itu mengajarkan anak untuk menulis dan berbicara sama halnya mengajarkan pada anak berkomunikasi dengan baik. Jika apa yang dilihat dan didengarnya baik maka ia akan menyampaikan pikiran-pikiran dengan benar dan baik, demikian juga sebaliknya.

 

 

No comments

LEAVE A COMMENT