Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Hubungan Tanah Suci dan Kabah dengan Wilayah dan Imamah

Allah Swt berfirman: “Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekah), dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Mekah ini.” (QS. al-Balad: 1-2)

Allah Swt juga bersumpah dalam ayat lain, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian”, maka terdapat juga sumpah demi sebuah negeri yang penting, sebagaimana tertera pada ayat di atas, yang bersumpah demi negeri Mekah dan negeri yang aman.

Sumpah Alquran bukan seperti sumpah manusia. Sebab, sumpah manusia adalah terhadap (untuk sebuah) keterangan dan bukti (tertentu), sementara sumpah Alquran adalah keterangan dan bukti itu sendiri. Maksudnya, manusia di arahkan kepada bukti dan argumentasi itu sendiri. Dari sisi inilah, sumpah dengan (menggunakan) tanah Mekah kemudian disertai dengan sebuah pengkhususan bahwa di dalamnya terdapat Rasulullah Saw. Yakni, Allah Swt bersumpah demi sebuah negeri dan bersumpah demi Mekah, di mana Rasulullah Saw berada di dalamnya.

Apabila beliau tidak berada di dalamnya, Mekah tanpa Rasulullah, Kabah tanpa pemimpin samawi, adalah sebuah negeri biasa dan sebuah rumah biasa, yang secara perlahan berubah menjadi rumah patung dan berhala, serta berada di bawah kekuasaan para penyembah berhala dan hawa nafsu.

Baca: Keagungan Ibadah Haji dalam Perspektif Mazhab Syiah

Sekalipun Kabah memiliki kehormatan tersendiri dan sejak dulu senantiasa selamat dari berbagai serangan, seperti serangan pasukan bergajah (Abrahah), namun tatkala penguasa Mekah kala itu berlindung dalam Kabah, Hajjaj bin Yusuf pun menghancurkannya sehingga tempat perlindungannya itu runtuh dan dia pun tertangkap. Dalam pada itu, Sang Pemilik Kabah (Allah Swt) tidak mengirimkan pasukan guna membalas tindakan tersebut, tidak pula mengirimkan burung Ababil untuk menghancurkan pasukan Hajjaj.

Alhasil, tidak ada bantuan tangan gaib yang membalas tindakan mereka yang telah merusak dan menghancurkan Kabah itu. Di sini, tampaklah dengan jelas maqam tinggi wilayah dan imamah. Juga, tampak pula dengan jelas nilai penting dari, “Mereka adalah tonggak-tonggak negeri dan pemimpin politik para hamba.” (kutipan doa Ziyarah al-Jami’ah)

Almarhum Faidh Kasyani, menukil dari Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawaih al-Qummi, dari kitabnya Man La Yahdhuruhu al-Faqih (yang menyatakan) bahwa apa yang terjadi pada pasukan bergajah tidak terjadi pada pasukan Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi. Sebab, tujuan Hajjaj adalah bukan meruntuhkan Kabah, tetapi menangkap penguasa Mekah yang menolak kebenaran dan mengadakan penentangan terhadap Imam Ali Sajjad a.s.

Tatkala orang yang anti kebenaran ini berlindung di Kabah, Allah hendak menjelaskan kepada manusia bahwa orang yang anti kebenaran tidak akan memperoleh perlindungan. Oleh karena itu, mereka diberi kesempatan untuk meruntuhkan Kabah di atas kepala orang yang menolak kebenaran itu. Dari peristiwa ini dapat diketahui dengan jelas bahwa permusuhan dan penentangan terhadap wilayah dan imamah benar-benar tidak disukai Allah, di mana seorang yang menolak kepemimpinan imam maksum akan dibiarkan sendirian dan tidak akan memperoleh perlindungan dan pertolongan dari Allah, sekalipun berlindung di Kabah.

Dari sisi inilah, maka dalam ajaran (Islam) dipaparkan bahwa pertemuan dengan Imam Maksum Ahlulbait a.s. merupakan penyempurna haji dan ziarah ke Kabah. Imam Muhammad al-Baqir a.s. berkata:“Kesempurnaan haji adalah bertemu dengan imam.” (Wasail al-Syiah, 10/254)

Ali Sajjad a.s. kala diseret ke hadapan ke Syam paska tragedi Karbala berpidato dengan lantang di hadapan Yazid. Setelah mengucapkan pujian kepada Allah dan salam kepada Rasul Mulia Saw, kemudian memperkenalkan diri  dengan kata-kata berikut: “Aku adalah anak Mekah dan Mina. Aku adalah anak Zamzam dan Shafa….”

Dari sini dapat disimpulkan yang benar-benar anak Mekah adalah orang yang benar-benar menjaga dan memperhatikan jiwa kiblat dan jiwa orang-orang yang melaksanakan tawaf. Anak Mina yang sesungguhnya adalah orang yang dalam menjaga dan mempertahankan wahyu, tidak segan-segan mengorbankan jiwa dan menumpahkan darahnya. Dengan pengorbanan tersebut ia semakin memiliki hubungan yang kuat dengan tanah suci tersebut. Orang yang benar-benar lahir dari Zamzam adalah orang yang berkat karunia dan kesegaran maknawinya menjadi dekat dan dicintai oleh Rasulullah Saw.

Orang yang mengorbankan darahnya demi pertumbuhan Islam yang baru saja bertunas dan orang yang benar-benar anak Shafa adalah orang yang hatinya tidak mengandungi kotoran dan dosa (rijs), sebagaimana dijelaskan dalam ayat, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. al-Ahzab: 33) Manusia sempurna inilah Imam Suci Ahlulbait a.s.

Sekiranya bukan lantaran keberadaannya, maka tidak akan  ada kehormatan dan kemuliaan pada berbagai tempat dan kawasan tersebut; padang Arafah tidak akan menjadi makrifah, Mahsyar (Muzdalifah) tidak akan memiliki perasaan (syu’ur), di Mina tidak akan ada penyembelihan yang agung dan pengorbanan yang dilandasi takwa, Zamzam tidak akan menunjukkan sebuah kehidupan, Shafa bukan lagi lambang kebersihan dan kesucian, melempar jumrah tidak akan (bermakna) melempar setan dan thagut, dan dalam haji serta ziarah tidak akan tampak tanda-tanda dan hujah Ilahi.

Benar, tanpa keberadaan imamah, semua tempat dan kawasan bukanlah syiar-syiar Allah, perjalanan berbagai planet yang ada di langit akan berantakan, khususnya perjalanan bulan yang tertib dan teratur, yang merupakan tolok ukur dalam mengetahui datangnya musim haji: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit, katakanlah, ‘Bulan sabit itu adalah sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” (QS. al-Baqarah: 189)

Para peziarah yang tidak mengenal wilayah dan imamah, tidak termasuk para tamu Allah dan tidak akan mendapatkan jamuan maknawiah Ilahi. Oleh karena itu, ziarahnya tidak memiliki nilai dan kehormatan. Peziarah yang tidak mengenal dan tidak menghiraukan imam maksum, serta beranggapan bahwa kepengurusan haji tersebut adalah suatu hal yang biasa dan dapat dipegang oleh siapa saja, pada hakikatnya orang semacam ini belum mengenal manusia dan ia sendiri masih belum menapakkan kakinya di tanah kemanusiaan.

Baca: Fikih Haji dan Umrah Menurut Mazhab Ahlulbait

Orang yang berangkat menunaikan haji dan berziarah ke Kabah, dalam kondisi semacam itu, bagaimana mungkin ia melakukan tawaf di poros tauhid? Bagaimana mungkin ia (mampu) membersihkan berbagai bentuk syirik dan kezaliman? Sementara, ia sendiri tidak mengenal perantara bagi turunnya rahmat dan karunia Ilahi, tidak menghiraukan faktor terpenting bagi kesempurnaan kemanusiaan, serta mengabaikan sumber air jernih nan segar, sehingga ia berada dalam dahaga! Sungguh, siapa saja yang tidak mengenal imam zamannya, pemimpin di masanya, ia mati dalam kematian jahiliah. Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa yang mati, dan tidak mengenal imam zamannya, maka ia mati semacam kematian jahiliah.”

*Disadur dari buku Hikmah dan Makna Haji – Ayatullah Jawadi Amuli

No comments

LEAVE A COMMENT