Amirul Mukminin a.s. berkata: “Ujub terdiri atas beberapa derajat, di antaranya adalah ujub yang memperindah perbuatan buruk pada manusia sehingga ia menganggapnya sebagai perbuatan baik.”
Orang kafir, munafik, musyrik, ateis, pemilik sifat dan watak buruk, atau ahli maksiat dan dosa adakalanya sampai pada tingkat mengagumi dan ujub dengan semua kekufuran dan keburukan itu. Mengira diri mereka berjiwa bebas dan terbuka, tidak bertaklid dan terlepas dari takhayul. Orang-orang ini memandang diri mereka sebagai manusia-manusia pemberani dan pendobrak sembari menyangka bahwa keimanan kepada Allah adalah ilusi dan kepatuhan terhadap syariat adalah kerapuhan dan kesempitan pikiran.
Mereka menganggap sikap dan watak yang baik sebagai tanda kelemahan jiwa. Mereka memandang semua amal baik, ritus, dan ibadah sebagai akibat dari lemahnya persepsi dan kurangnya kecerdasan, sementara mereka melihat diri merekalah yang patut mendapat pujian karena tidak meyakini khurafat dan tidak peduli pada aturan-aturan syariat. Sifat-sifat buruk dan bejat telah berurat-akar dalam hati mereka. Memenuhi mata dan telinga mereka, sehingga mereka melihat semua keburukan itu sebagai kebajikan dan kesempurnaan.
Baca: Pesan Imam Khomeini tentang Media Dunia dan Setan
Hadis di atas mengacu kepada ayat Al-Quran yang menyatakan: “Maka apakah pantas orang yang dijadikan terasa indah perbuatan buruknya, lalu menganggap baik perbuatannya itu?” (QS. Fathir: 8)
Orang-orang seperti itu sebenarnya adalah orang-orang bodoh yang merasa pandai, adalah kelompok manusia yang paling menyedihkan dan makhluk yang paling malang. Dokter-dokter ruhani tidak akan mampu menyembuhkan mereka. Tidak ada dakwah atau nasihat yang dapat memengaruhi mereka. Bahkan, semua nasihat itu malah mungkin menimbulkan pengaruh yang bertentangan. Mereka tidak mau mendengarkan argumen apa pun. Mereka tidak memedulikan bimbingan para nabi, argumen para filosof, dan ajaran orang-orang bijak. Kita harus berlindung kepada Allah dari kejahatan diri dan pelbagai tipu dayanya yang menarik manusia dari dosa kepada kekufuran dan dari kekufuran kepada ujub.
Diri (nafs) dan setan, dengan meremehkan sejumlah maksiat, menyeret manusia untuk berbuat maksiat. Dengan menanamkan satu maksiat ke dalam hati dan merendahkan nilai dosanya di mata kita, diri dan setan menyeret manusia untuk melakukan maksiat lain yang lebih besar daripada yang pertama. Setelah melakukan maksiat kedua itu berulang-ulang, maksiat itu pun akan kehilangan bobotnya dan tampak ringan semata, sehingga ia tak ragu melakukan dosa yang lebih besar lagi. Dengan begitu, selangkah demi selangkah, setiap dosa besar menjadi ringan di matanya dan hukum Allah diremehkan, lalu semua aturan syariat dan undang-undang Ilahi menjadi tidak berarti di hadapannya. Puncaknya, pelan-pelan ia akan terseret pada kekufuran, kemurtadan, dan kekaguman pada semua itu.
Para korban ujub dalam ibadah juga bergerak dari tingkat ujub yang rendah menuju ke tingkat yang lebih parah. Tipu daya diri dan setan dalam hati dijalankan melalui rencana yang matang. Tidak mungkin setan memengaruhi kalian yang bertakwa dan takut kepada Allah untuk melakukan dosa membunuh atau berzina. la juga tidak mungkin mengusulkan kepada orang yang mulia dan berjiwa bersih untuk mencuri atau merampok. Demikian pula, setan tidak akan memengaruhimu sejak awal untuk memandang perbuatan baikmu sebagai keuntungan bagi Allah atau untuk memasukkan dirimu ke dalam kelompok kekasih, wali, dan orang-orang yang dekat dengan Allah.
Baca: Seorang ‘Abid yang Dikalahkan Setan
Pada mulanya, ia akan memulai pada tingkat yang paling bawah dan merekah jalan kecil ke dalam hatimu, dengan mendorongmu untuk bergiat melaksanakan ibadah-badah sunnah, membaca zikir dan wirid. Dalam pada itu, ia akan mengarahkan perhatianmu kepada dosa dan mendorongmu untuk membandingkannya dengan perbuatanmu sendiri. Lalu, ia akan membisikkan ke telingamu bahwa kau sudah cukup punya dasar-dasar rasional maupun agama untuk memandang dirimu lebih unggul daripada orang-orang lain.
Dengan demikian, perbuatan baikmu itu akan menjadi sumber keselamatanmu dan bahwa dengan rahmat Allah engkau akan menjadi orang saleh dan bebas dari segala keburukan. Dengan sugesti-sugesti itu, iblis mencapai dua hal: pertama, ia menanamkan prasangka buruk dalam hatimu kepada hamba-hamba Allah yang lain; kedua, ia membuatmu ujub dengan dirimu sendiri. Kedua sifat ini merupakan bagian dari perusak amal dan sumber keburukan.
Pada titik ini, katakan kepada dirimu dan setan bahwa mungkin saja orang yang berdosa itu memiliki pelbagai kebaikan dan amalan yang menjadikannya terliputi oleh rahmat Allah yang luas dan Allah menjadikan cahaya pelbagai kebaikan dan amalannya itu sebagai penyuluh baginya sehingga ia akan terbimbing pada kesudahan yang baik (husn al-‘aqibah). Mungkin Allah menimpakan dosa itu kepadanya untuk melindunginya dari ujub yang lebih buruk daripada kebanyakan dosa lain.
Baca: Keharusan Memperhatikan Salat dan Merasakan Kehadiran Allah
Bagaimanapun, waspadalah pada iblis dan diri (nafs) yang memasukkan kalian ke tingkat awal ujub dan dari sini pelan-pelan membawanya ke tingkat ujub yang lebih tinggi. Lalu, derajat ujub itu bertambah sehingga manusia sampai pada tingkat merasa bahwa ia telah memberikan keuntungan dan sumbangan kepada Allah Sang Pemberi Nikmat dan Pemilik Segala Sesuatu melalui keimanannya dan berbagai amalnya. Dengan begitu, segenap amalnya akan sampai ke dasar yang paling bawah.
*Dikutip dari buku karya Imam Khomeini, 40 Hadis: Telaah atas Hadis-hadis Mistik dan Akhlak.