Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Ibnu Sina, Peletak Batu Pertama Ilmu Kedokteran

Abu Ali al-Husan bin Abdullah bin Sina atau lebih dikenal Ibnu Sina adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan dokter kelahiran Persia (sekarang Iran). Ia juga seorang penulis yang produktif yang sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan kedokteran. Di Barat ia dikenal sebagai “Avicenna”. Ia adalah mendapat gelar Bapak Kedokteran Modern. Karyanya yang sangat terkenal adalah al-Qanun fi aṭ-Ṭhibb yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad. Lahir pada 980 M di Bukhara dan meninggal 1037 M di Hamadan, Iran.

Dia adalah pengarang yang kurang lebih 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak di antaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Ibnu Sina adalah seorang ilmuwan yang bukan hanya sekadar menjadi kebanggaan umat Islam dan Dunia Timur, namun juga menjadi salah satu dari sekian banyak pemikir dan intelektual jenius dan hebat dunia. Ibnu Sina juga pakar rasionalisme, filsafat, kedokteran, logika, matematika, dan sebagainya. Dia menulis banyak buku mengenai ilmu-ilmu tersebut.

Ibnu Sina menguasai dua bahasa, yaitu Arab dan Parsi. Oleh karena itu, Ibnu Sina menulis karya-karyanya ke dalam dua bahasa tersebut. Ibnu Sina juga seorang penyair. Karya-karyanya yang terkenal adalah asy-Syifa, al-Isyarat, Danish Nama Alayee (bahasa Parsi), Nijat, Commentary on Shifa dan Qanun at-Thibb. Kejeniusannya sebagai seorang dokter menjadikannya peletak batu pertama ilmu kedokteran yang telah menemukan berbagai metode diagnosis dan pengobatan yang dicatat dengan tinta emas oleh dunia hingga kini.

Baca: Safinah Quote: Sang Dokter Penyembuh Sejati

Ibnu Sina dianugerahi kecerdasan yang sangat luar biasa oleh Allah Swt. Semasa kecil, ketika dia masih dalam buaian, Ibnu Sina biasa mempelajari bintang-bintang di langit dan merekamnya kuat-kuat ke dalam ingatan seumur hidupnya. Ibnu Sina memiliki daya ingat yang luar biasa, segala peristiwa atau pelajaran yang dikuasainya menunjukkan betapa dahsyatnya daya ingat Ibnu Sina. Segala penemuan yang berhasil dilakukan oleh Ibnu Sina membuktikan pandangan, pemahaman, kesempurnaan, dan pengetahuan anugerah Ilahi kepadanya.

Ayah Ibnu Sina bekerja sebagai pegawai pemerintah Dinasti Samaniyah. Ketika usia Ibnu Sina dirasa cukup, oleh ayahnya Ibnu Sina dititipkan kepada seorang guru untuk belajar Alquran. Kemudian Ia mempelajari ilmu sastra kepada banyak guru. Daya ingatnya sangat tajam sehingga segala yang diajarkan oleh gurunya terekam kuat-kuat dalam pikirannya. Karena kecerdasan dan kegeniusannya, dalam waktu singkat, sekitar satu setengah tahun, Ibnu Sina telah menguasai berbagai kitab ilmu pengetahuan, seperti Gharibul Mushannif, Adabul Katib, Tasrif Mazani, al-Kitabu karya Sibuya, Riyadhiyat, Hisab Hindi, Jabr-e-Muqabelah, dan sebagainya. Pada waktu itu,usia Ibnu Sina baru sepuluh tahun. Pada usia 12 tahun Ibnu Sina telah menguasai ilmu hukum dan agama serta mumpuni untuk menyampaikan fatwa.

Kala itu, ada seorang sarjana yang sangat terkemuka, yaitu Umar Abu Abdullah Naili. Pernah sekali waktu, Umar singgah di Bukhara. Saat itulah ayah Ibnu Sina mengundangnya ke rumah dan kemudian sarjana itu pun tinggal selama beberapa hari di situ untuk mengajarkan ilmu logika dan filsafat kepada Ibnu Sina. Setelah Ibnu Sina usai mempelajari ilmu pengetahuan yang diberikan oleh sarjana itu, ia banyak mengajukan banyak pertanyaan, persoalan sekaligus keraguan-keraguan yang bahkan sarjana itu sendiri pun tak sanggup untuk menjawabnya.

Ibnu Sina selanjutnya belajar tentang ilmu alam dan ketuhanan, serta melakukan berbagai penelitian, khususnya ilmu kedokteran. Ibnu Sina mengumpulkan banyak buku filsafat dan ilmu kedokteran. Dia pun mempelajari ilmu-ilmu tersebut secara mendalam dan teliti sehingga kemudian dia menjadi seorang ahli ilmu kedokteran yang brilian pada zamannya. Kejeniusan Ibnu Sina dalam segala ilmu pengetahuan tersohor ke seantero jagat.

Banyak para peneliti dari berbagai tempat yang jauh berdatangan ke Ibnu Sina demi mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang dikuasai Ibnu Sina melalui berbagai penelitian dan eksperimennya. Semua itu terjadi pada saat usia Ibnu Sina masih sangat muda, yakni delapan belas tahun. Ibnu Sina telah menguasai segala ilmu pengetahuan pada zamannya. Ibnu Sina selalu menghabiskan waktunya untuk belajar dan belajar, tanpa pernah menyia-nyiakannya walau sesaat.

Suatu ketika, Nuh bin Mansur, seorang penguasa Dinasti Samaniyah, jatuh sakit. Dia memanggil Ibnu Sina untuk merawatnya. Ternyata, di bawah perawatan Ibnu Sina yang saat itu menjadi seorang dokter muda, sakit yang diderita Nuh bin Mansur dapat disembuhkan. Sebagai imbalan bagi Ibnu Sina atas jasanya, Sultan Nuh bin Mansur memberikan kedudukan permanen di istananya.

Dinasti Samaniyah memiliki sebuah perpustakaan yang luas dan mengoleksi berbagai buku tentang segala ilmu pengetahuan pada zaman itu. Bahkan sebagian dari buku-buku itu termasuk buku-buku langka dan tak ternilai manfaatnya. Ibnu Sina memanfaatkan semua fasilitas itu untuk menggali ilmu pengetahuan lebih dalam dan menyimpannya kuat-kuat dalam ingatannya, terutama untuk buku-buku atau risalah-risalah penting. Tatkala perpustakaan tersebut dibakar dan semua kitab-kitab ilmu pengetahuan terancam punah, Ibnu Sina menjadi “kitab hidup” yang berhasil menyelamatkan isi kitab-kitab tersebut di dalam ingatannya.

Pada usia dua puluh satu tahun, Ibnu Sina mulai menulis dan menghimpun pengetahuan yang dimilikinya ke dalam buku. Ketika Ibnu Sina menginjak usia dua puluh dua tahun, ayahnya meninggal dunia dan kemudian Ibnu Sina diangkat sebagai Diwan (Perdana Menteri) kerajaan Samaniyah. Ketika kerajaan Samaniyah mulai mengalami kemerosotan dan harta kekayaan kerajaan hampir bangkrut, Ibnu Sina meninggalkan Bukhara dan hijrah ke Jurjan, wilayah Khawarizmi yang dikuasai oleh Dinasti Maimuniyah. Di situlah Penguasa Khawarizmi kemudian menyambut Ibnu Sina. Ia tinggal di sana selama beberapa tahun dan menulis banyak kitab.

Suatu saat penguasa Khawarizmi, Mahmud Ghaznawi merencanakan bahwa semua kaum intelektual di daerahnya harus pindah ke kerajaannya, sebagai seorang Syiah Ibnu Sina sadar bahwa akan ada diskriminasi terhadapnya di kerajaan sehingga Mahmud Ghaznawi mungkin akan memusuhi dan menghukumnya. Maka kemudian Ibnu Sina meninggalkan Khawarizmi dan menuju Naisyabur, Thus, Samara dan kemudian kembali ke Jurjan.

Akan tetapi pada tahun 403 H, penguasa Jurjan dibunuh. Ibnu Sina pun kemudian pergi ke Dahsan. Tapi setelah beberapa lama, Ibnu Sina kembali lagi ke Jurjan. Lalu di sana dia menyelesaikan sebagian besar penulisan karya-karya pemikirannya. Tahun 405 H, Ibnu Sina pergi ke Ray. Di Ray, Ibnu Sina mengobati Majdud Dawlah, putra Fakhrud Dawlah Dailami dan menulis karyanya yang berjudul al-Ma’ad.

Baca: Fikih Quest 106: Hukum Menjaga Nyawa Orang Sakit

Kemudian Ibnu Sina tinggal sebentar di Hamadan dan sempat menyelesaikan bukunya yang terkenal, yaitu kitab as-Syifa. Ketika menginjak usia kurang lebih 37 tahun, Syamsud Dawlah, putra Fakhrud Dawlah, menunjuk Ibnu Sina sebagai wazir. Tapi tak lama kemudian, terjadilah pemberontakan di negeri itu sehingga Ibnu Sina pun dicopot dari jabatannya. Namun beberapa bulan kemudian, Ibnu Sina kembali diangkat sebagai wazir. Walaupun demikian, kehidupan sebagai seorang wazir yang sibuk tidak menghalangi Ibnu Sina untuk tetap belajar dan belajar serta menuangkan segala ilmunya demi kemaslahatan umat Islam. Setelah Syamsud Dawlah meninggal, Ia pergi ke Isfahan dan dekat dengan sang penguasa, yaitu Alauddin Kakuya. Tahun 468 H, Ibnu Sina pergi ke Hamadan bersama penasihatnya dan meninggal di sana, saat usianya mencapai 58 tahun.

*Disadur dari buku Islamic Idol – Ali Dawani

No comments

LEAVE A COMMENT