Oleh: Husein Alkaff
Pada tahun 1979 yang lalu, Imam Khomeini berhasil menggulingkan sebuah rezim pro dan dukungan Barat, Rezim Syah Reza Pahlevi. Kemudian melalui referendum, negara yang semula menganut sistem pemerintahan monarki absolut berubah menjadi sebuah negara Republik Islam Iran. Gerakan beliau tidak berhenti dengan menggulingkan rezim korup, tetapi melanjutkannya dengan melawan dominasi rezim global yang jahat dan arogan, yang diwakili Amerika (Barat) dan Uni Sovyet (Timur). Slogan “ Tidak Timur Tidak Barat (laa Syarqiyyah laa Ghorbiyyah) merupakan bagian dari jati diri gerakan beliau.
Untuk melawan dua negara super power kala itu, Imam Khomeini mengajak Umat Islam agar bersatu dan menanggalkan perdebatan seputar masalah khilafiyyah, khususnya perbedaan antara Sunni dan Syiah.
Persatuan Sebuah Keharusan
Sebenarnya ajakan pada persatuan bukan hal baru. Sebelum dan selain Imam Khomeini banyak dari ulama dan tokoh Muslim yang mengajak Umat Islam agar bersatu dan tidak berpecah belah. Demikian itu, karena ajakan persatuan dan kecaman atas perpecahan ini ditegaskan dalam teks-teks ajaran Islam, Qur’an dan Hadis.
Munculnya perpecahan di tengah umat manusia, khususnya Umat Islam, bisa karena faktor internal seperti kebodohan, ambisi kekuasaan, persaingan dalam urusan dunia dan lain sebagainya; atau karena faktor eksternal seperti kelicikan musuh dengan mengadu domba.
Sejak abad pertama Islam Umat Islam sudah terpecah belah karena faktor-faktor di atas sehingga terjadi lah perang sesama mereka. Bekas dan dampak dari perpecahan itu masih terasa dan berlangsung hingga saat ini.
Akibat dari perpecahan itu, Umat Islam menjadi lemah sedemikian rupa sehingga mereka seakan-akan tak sanggup lagi menghadapi kekuatan musuh. Mereka telah dicabik-cabik, saling curiga dan saling mensesatkan.
Salah satu akibat dari perpecahanitu, tanah Palestina dicaplok oleh Israel hingga saat ini ,dan mereka tidak berdaya menghadapi arogansi Israel dan tidak sanggup mengusirnya dari tanah Palestina.
Imam Khomeni, seorang yang prihatin dan sadar dengan kondisi Umat Islam kembali menegaskan pentingnya persatuan Umat Islam, khususnya persatuan antara dua golongan besar; Ahlu Sunnah dan Syiah, karena dengan persatuan, mereka dapat mengalahkan musuh mereka, dan tanpa persatuan mereka akan terus dalam kondisi lemah dan mudah diadu domba oleh musuh.
Persatuan yang disuarakan oleh Imam Khomeini bukan berarti menghilangkan ciri dan kekhasan yang ada pada setiap golongan atau mazhab. Ahlus Sunnah tetap berpegangan dengan ajarannya demikian pula Syiah.
Persatuan bukan berarti melebur dan menghilangkan perbedaan, meskipun diantara dua golongan ini terdapat banyak kesamaan.
Setelah berhasil mendirikan Nagara Islam Iran, Imam Khomeini melalui kekuatan dan pengaruhnya yang besar melakukan langkah-langkah kongkrit demi mewujudkan persatuan Umat Islam dengan pengertian tersebut di atas. Beberapa langkah telah beliau lakukan dan dilanjutkan oleh Imam Ali Khamenei antara lain,
1. Menyelenggarakan Seminar Internasional Pekan Persatuan pada setiap bulan Maulid Nabi Saw. yang berjalan selama lima hari; dari tanggal 12 sampai tanggal 17 Rabiul Awwal. Dalam seminar itu, diundang para ulama Ahlus Sunnah dan Syiah dari berbagai belahan dunia.
Melalui seminar ini, beliau ingin berpesan bahwa biarkan Ahlu Sunnah meyakini Nabi Muhammad Saw. lahir pada tanggal 12 Rabiul Awwal dan Syiah meyakininya pada tanggal 17 Rabiul Awwal, tanpa harus merubah keyakinan masing-masing.
2. Mendirikan Majma’ Taqrib Bayna Mazahib Islamiyah yang bertujuan mencari berbagai kesamaan diantara mazhab-mazhab Islam dan menghargai perbedaan-perbedaan yang ada agar para pengikutnya tidak lagi saling mencurigai dan mensesatkan.
Berbeda Tapi Bersatu
Berdasarkan konsep dan aktualisasi Persatuan Imam Khomeini, maka setiap golongan tetap menjalankan ajarannya masing-masing dan tidak perlu mempermasalahkan ajaran golongan yang lain.
Berdasarkan Persatuan yang digagas dan dipraktekan oleh Imam Khomeini, maka tidak perlu ada pemahaman dan pernyataan bahwa demi persatuan, Umat Islam harus melaksanakan solat berjamaah dengan cara yang sama, dan tidak boleh menunjukan praktek solat yang berbeda, atau harus merayakan lebaran di hari yang sama dan tidak boleh berlebaran di waktu yang berbeda.
Persatuan yang digagas dan dipraktekan Imam Khomeini adalah persatuan dalam perbedaan bukan persatuan dengan melebur dan meniadakan perbedaan. Benar bahwa ajaran dan praktek agama yang sama harus dilakukan dengan cara yang sama, tetapi ajaran dan praktek yang berbeda tidak harus disamakan. Misalnya melaksanakan solat berjamaah di waktu yang sama, jumlah rakaat yang sama dan lain sebagainya tetapi tetap mempertahankan beberapa perbedaan yang ada. Mempertahankan perbedaan tidak akan merusak persatuan selama setiap golongan menghargai perbedaan dan tidak saling menyalahkan, apalagi saling mensesatkan.
Persatuan yang dimaksud dan dijalankan Imam Khomeini dijalankan pula oleh satu kelompok yang komitmen dengan beliau di kawasan Timur Tengah dan mereka bersatu padu secara harmonis dengan kelompok lainnya dan tanpa menghilangkan perbedaannya dengan kelompok yang lain.
Sekali lagi, persatuan Islam Imam Khomeini bukanlah Umat Islam harus menjalankan semua ajaran dengan cara yang sama.
Persatuan adalah bersama-sama melakukan ajaran yang sama maupun ajaran yang berbeda dengan tetap saling menghargai.