Di antara kalian, pasti ada yang punya cita-cita untuk memperbaiki keadaan masyarakat, dengan menjadi tokoh, figur, atau pemimpin. Tapi, siapa saja yang berniat memperbaiki dunia, seharusnya ia terlebih dahulu memperbaiki dirinya sendiri. Mulailah upaya itu dari sekarang, dan jangan ditunda-tunda.
Jika kalian menunda-nunda, kalian akan terjebak ke dalam situasi di mana kalian terlanjur menjadi tokoh. Di saat itu, masyarakat mengagumi dan menjadikan kalian sebagai orang yang terpercaya. Padahal, diri kalian sendiri belumlah benar. Kalau itu sampai terjadi, kalian akan terlena dan kehilangan kontrol diri. Kalian akan menjadi pribadi yang menyesatkan masyarakat, karena yang kalian bimbingkan kepada masyarakat adalah hal-hal yang tidak otentik.
Renungan
Ini adalah nasihat spiritual dari Imam Khomeini yang harus kita perhatikan dengan saksama. Para aktivis ABI adalah orang yang menjadi objek kata-kata Imam tersebut. Kita adalah orang yang memiliki tekad sekaligus amanah untuk memperbaiki masyarakat. Sebagian dari kita malah sudah memiliki “gelar” ustaz, aktivis, intelektual, atau tokoh di tengah-tengah masyarakat.
Akan tetapi, Imam Khomeini secara tegas mewanti-wanti kita untuk berhati-hati dengan persepsi tokoh yang melekat pada diri kita tersebut. Alih-alih merupakan tanda kebaikan, posisi dan ketokohan kita itu malah menjadi indikasi sangat buruknya posisi kita di hadapan Allah. Itu akan terjadi manakala kita sebenarnya tidak memiliki kelayakan atau kapasitas untuk menjadi tokoh.
Baca: “Imam Khomeini: “Jangan Biarkan Hakikat Islam Tersembunyi!”“
Jika kita sebenarnya tidak punya kapasitas menjadi ustadz, tapi kemudian masyarakat menyebut kita ustaz, kita akan tersandera dengan gelar yang keliru itu. Sebagai orang yang “di-ustaz-kan, masyarakat akan bertanya kepada kita tentang sejumlah masalah fikih, misalnya. Nah, kalau kita tidak bisa menjawab, kita akan malu. Tapi, kalau kita menjawab, sangat mungkin jawaban kita keliru.
Situasi seperti itu sangat mungkin dikategorikan sebagai bentuk kebodohan yang dikecam dalam Al-Quran, dan pelakunya diancam dengan siksaan yang sangat pedih. Allah berfirman:
“Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al-Ahzāb [33]: 72)
Kebodohan semacam ini juga merupakan sebuah penjara. Orang semacam ini beranggapan bahwa kesalahan yang telah dikerjakannya merupakan sebuah kebaikan dan akan mendatangkan pahala.
Dalam sebuah riwayat, Imam Ja’far Shadiq bercerita tentang seorang yang dermawan. Akan tetapi, harta sedekahnya itu merupakan hasil perampokan. Orang itu berniat mengamalkan firman Allah yang berbunyi:
“Siapa saja yang membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan siapa saja yang membawa perbuatan yang jahat, maka ia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya. (QS. Al-An’ām [6]: 160)
Jadi, dalam logika orang itu, dia tetap mendapatkan pahala yang besar, karena, saat dia merampok, dosanya satu; sedangkan saat ia bersedekah, pahalanya sepuluh. Dengan demikian, ia memiliki sembilan kebaikan. (Baca: Manusia Iman)
Imam menegur orang tersebut, dan mengatakan bahwa harta yang ia sedekahkan itu bukanlah harta dirinya, melainkan harta milik orang yang ia rampok. Karenanya, seandainya pun ada orang yang mendapat pahala, maka yang mendapat pahala itu adalah orang yang hartanya dicuri itu, bukan si pencuri.
Allah berfirman:
“Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang merugi dalam perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya.”(QS. Al-Kahf[18]: 103-104)
“(Ingatlah) hari (ketika) mereka semua dibangkitkan Allah, lalu mereka bersumpah kepada-Nya (bahwa mereka telah beriman) sebagaimana mereka bersumpah kepadamu; dan mereka menyangka bahwa sesungguhnya (sumpah itu) ada gunanya. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya merekalah orang-orang pendusta.” (QS. Al-Mujadalah [58]: 18)
Sebagai aktivis dan duta sebuah mazhab suci, kita harus betul-betul memperhatikan masalah ini. Jangan sampai kita menjadi orang yang sangat merugi, gara-gara kita menyangka bahwa kita berbuat baik, menjadi tokoh, aktivis, dan ustaz bagi masyarakat. Padahal, kita sebenarnya tidak memiliki kapasitas sebagaimana yang disyaratkan. Akibatnya, kita malah mendapatkan azab yang yang pedih.
Baca: “Imam Khomeini dan Christmas“
Tentu harus segera ditambahkan bahwa prinsip ini tidak berarti bahwa kita harus mundur dari aktivitas sosial. Bagaimanapun juga, aktivitas sosial adalah kewajiban kita juga. Meninggalkan aktivitas sosial juga berakibat dosa.
Inti pesan moralnya: Jangan merasa cukup dengan ilmu dan kecakapan kita sekarang ini, hanya gara-gara kita punya jabatan dan dianggap ustaz/aktivis oleh masyarakat. Kita harus terus menambah ilmu dan memperbaiki diri kita; karena keduanya adalah tugas kita seumur hidup.[*]
(dikutip dari rubrik Pesan Spiritual, Buletin Al-Wilayah, edisi 10, Maret 2017, Jumada Al-Akhira 1438)
Baca: “Mengenal Konsep Wilayatul Faqih (1)“