Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Imam Khomeini: Kiat Untuk Menghasilkan Kehadiran Hati dalam Salat

Hati adalah kunci penting dalam ibadah. Tanpa kehadiran hati, ibadah kehilangan nilai dan penerimaan dari Allah Swt. Sumber kehadiran hati dalam perbuatan adalah penghargaan dan pengagungan terhadap perbuatan tersebut. Contohnya, jika diundang oleh raja yang agung, hati kita terfokus pada semua yang terjadi dalam majelis itu, karena pentingnya bagi kita.

Sebaliknya, jika berbicara dengan orang yang dianggap tidak penting atau hina, hati kita tidak hadir dalam percakapan itu. Oleh karena itu, kehadiran hati dalam ibadah penting agar tidak lalai. Kita seharusnya menganggap “munajat kepada Allah” penting, bukan seperti berbicara dengan makhluk yang lemah. Dengan begitu, ketiadaan kehadiran hati dalam ibadah bisa diatasi.

Menganggap remeh ibadah adalah tanda kelemahan iman kepada Allah, Rasulullah, dan Ahlulbait. Padahal, Allah mengundang kita untuk bermunajat dan menghadiri-Nya melalui nabi, wali, dan Al-Qur’an. Kita kadang lebih fokus pada hal lain daripada saat beribadah, bahkan lebih perhatian saat berbicara dengan manusia lemah.

Waktu salat, yang adalah momen dekat dengan Allah, sering kali disibukkan dengan pikiran negatif. Ini terjadi karena kelemahan iman. Jika kita paham dampak buruk meremehkan salat, kita akan berusaha memperbaiki diri. Jika seseorang tidak menganggap sesuatu agung dan penting, maka secara perlahan sesuatu itu akan ia tinggalkan. Meninggalkan ritual-ritual keagamaan akan menyebabkan seseorang meninggalkan agamanya. Pikirkan keadaanmu, pelajari hadis Ahlulbait, dan kuatkan tekad. Pahami bahwa ibadah adalah bekal kebahagiaan di akhirat dan sumber kesempurnaan di sana.

Baca: Imam Khomeini: Memelihara Ibadah dari Gangguan Setan

Setiap ibadah yang diterima memiliki penjelmaan gaib dan bantuan dari dimensi malakuti ukhrawi. “Surga jasmaniah” adalah penjelmaan gaib dari amalan-amalan. Ini diakui oleh akal dan wahyu. Penjelmaan ini tergantung pada kehadiran hati. Ibadah tanpa hati yang hadir akan kurang diakui oleh Allah. Ayat dan hadis menegaskan pentingnya khusyuk dalam ibadah.

Di sebuah hadis dikatakan bahwa ibadah harus dilakukan seolah-olah melihat Allah, atau setidaknya menyadari Allah melihatnya. Ini menunjukkan kehadiran hati dalam dua tingkatan: melihat dzat atau nama Allah, dan melihat manifestasi perbuatan-Nya. Dalam tingkatan ini, ahli ibadah menghadirkan diri mereka di tempat kehadiran Rububiyyah dengan adab yang sesuai.

Rasulullah Saw. bersabda, “Ada salat yang diterima separuh, sepertiga, seperempat, seperlima, dan sepersepuluhnya. Ada pula salat yang dilipat seperti pakaian usang, lalu dicampakkan ke wajah pelakunya. Tidak ada yang akan engkau peroleh dari salatmu selain apa yang untuknya engkau melakukan salat itu.”

Imam al-Baqir as. meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Saat seorang hamba bangkit melaksanakan salat, Allah Ta’ala menatapnya – atau, Allah menghadap kepadanya hingga ia selesai dari salatnya. Dan rahmat menaunginya dari atas kepalanya hingga ufuk langit, para malaikat mengitarinya dari sekeliling dirinya sampai ufuk langit. Allah menguasakannya kepada malaikat yang berdiri di arah kepalanya dan berkata, ‘Hai orang yang salat, kalau kamu tahu siapa yang sedang menatapmu akan saat ini, tentu engkau tidak berpaling dan [ingin] selalu berada di tempat itu untuk selama-lamanya…’” Hadis ini sudah memadai bagi ahli makrifat.

Allah Mahatahu dalam penghadapan dari al-Haqq kepada hamba ini ada kemuliaan dan cahaya yang tidak dapat diemban akal manusia, tidak pula terbayang di hati seorang pun dari mereka.

Diriwayatkan dari Amirul Mukminin as.: “Kebahagiaanlah bagi orang yang mengikhlaskan ibadat dan doanya kepada Allah dan tidak menyibukkan hatinya dengan apa yang dilihat kedua matanya, tidak melupakan zikir kepada Allah karena sesuatu yang didengar telinganya, dan tidak menyempitkan dadanya karena sesuatu yang diberikan kepada orang lain.”

Tentang ayat: “Kecuali yang mendatangi Allah dengan hati yang salim,” Imam Ash-Shadiq as. berkata, “Hati yang salim adalah yang menemui Tuhannya tanpa sesuatu pun di dalamnya selain Dia.”

Beliau juga berkata, “Setiap hati yang di dalamnya terdapat keraguan dan kemusyrikan, maka ia gugur. Dengan zuhud di dunia, mereka hanya ingin mengosongkan hati untuk akhirat.”

Imam al-Baqir as. meriwayatkan, “Wajah Ali bin Husain selalu berubah pucat setiap kali bangkit untuk menunaikan salat. Apabila bersujud, ia baru mengangkat kepalanya kembali setelah bercucur keringat.”

Beliau juga berkata, “Apabila beliau as. berdiri menunaikan salat, beliau laksana batang pohon yang berdiri kokoh dan hanya bergerak segerak tertiup angin.”

Abu Hamzah ats-Tsumali berkata, “Saya melihat Ali bin al-Husain as. sedang menunaikan salat, lalu rida’-nya jatuh dari pundaknya. Namun, beliau tidak menghiraukannya hingga usai salat. Kemudian saya bertanya kepada beliau tentang hal itu. Beliau menjawab, ‘Celakalah kau, tahukah engkau siapa yang ada di hadapanku? Shalat hamba tidak diterima kecuali sekadar yang dihadapkan kepada-Nya.’ Maka, saya berkata, ‘Kujadikan diriku tebusanmu, kami telah celaka.’ Kemudian beliau berkata, ‘Sekali-kali tidak, Allah menyempurnakan hal itu bagi orang-orang Mukmin dengan salat-salat sunnah.”

Hadis-hadis mengenai masalah ini terlalu banyak untuk bisa dicatat di sini, apalagi untuk dijelaskan rahasia-rahasianya. Kami akan mengakhiri pasal ini dengan menyebutkan sebuah catatan yang perlu diketahui: salah satu faedah penting yang pemenuhannya di dalam ibadah disepakati aql dan naql, serta dipandang sebagai salah satu rahasia ibadah adalah “Setiap ibadah memiliki pengaruh yang membekas di dalam hati.” Inilah yang dalam sejumlah hadis disebut sebagai penambahan atau pembesaran titik putih di dalam hati.

Baca: Dosa Besar dalam Perspektif Imam Khomeini

Ada hubungan alami antara bagian fisik dan batin manusia, serta antara “sirr” (bagian rahasia) dan “‘alan” (bagian yang tampak). Tindakan fisik dan kondisi batin saling mempengaruhi. Misalnya, kesehatan tubuh memengaruhi keadaan ruh. Sebaliknya, kondisi mental dan roh mempengaruhi tindakan fisik. Setiap perbuatan baik dan buruk mempengaruhi jiwa. Perbuatan buruk dapat menjauhkan jiwa dari Allah dan membuatnya seperti binatang atau setan. Perbuatan baik dapat mengarahkan jiwa menuju Allah dan membuka jalan menuju hadirat-Nya.

Perbuatan manusia dan manasik Ilahi memiliki pengaruh yang lebih dalam daripada penjelmaan gaib malakuti. Ini adalah alasan di balik pengulangan zikir dan amalan. Ketika lisan mengulang zikir, hati akan ikut berzikir, dan sebaliknya. Pengaruh ini hanya terjadi jika ada kehadiran hati saat beribadah, doa, dan zikir. Perbuatan baik yang dilakukan dengan hati yang lalai tidak akan berpengaruh pada ruh.

Inilah mengapa ibadah yang dilakukan selama bertahun-tahun mungkin tidak memberikan pengaruh yang diharapkan pada hati. Salat yang seharusnya membentuk karakter baik mungkin tidak membawa kita ke maqam yang seharusnya. Ketika berzikir, seperti mengajar anak, materi mengalir dari lisan ke hati. Saat hati terbuka, bantuan batin diberikan kepada tindakan fisik. Dengan latihan yang konsisten dalam ibadah dan zikir, jiwa akan terbiasa. Ini membuat ibadah menjadi refleks yang tulus, tanpa perlu dipaksakan.

*Disarikan dari buku karya Imam Khomeini – Salat Ahli Makrifat

No comments

LEAVE A COMMENT