Di bacaan talqin mayit -versi Ahlussunnah– terdapat kalimat soal, “mâ imâmuka (apa imammu)?”, bahwa mâ (ما) di sini yang menurut tata bahasa Arab berarti ingin mengetahui sesuatu (istifhâmiyah) ada tiga macam:
1-Menanyakan arti kata benda, misal: ma al-qahwatu; apa itu kopi?
2-Menanyakan hakikat sesuatu, misal: ma al-insân; apa itu manusia?
3-Menanyakan keadaan sesuatu, misal: mâ anta?; siapa kamu?
Jika diterapkan pada “mâ imâmuka?” itu, maka menurut soal yang pertama, jawabnya ialah bahwa imam itu pemimpin. Sedangkan menurut soal yang kedua, para pengkaji bisa beda pandangan tentang hakikat atau definisi imam. Adapun menurut soal yang ketiga, yakni, siapakah yang imam? Satu pendapat akan menjawab, “fulan A bin fulan” dan pendapat lain mengatakan, “fulan B bin fulan”, misalnya.
Baca: “Keagungan Imam Ali Zainal Abidin As-Sajad“
Di sana terdapat riwayat; Abu Bashir bertanya kepada Imam Musa Kazhim (as): بم يعرف الإمام? (dengan apa diketahui seorang itu adalah imam?) Dengan memperhatikan tiga macam “mâ istifham” tersebut dan jawaban Imam Kazhim setelah ini, bahwa maksud pertanyaan Abu Bashir bukanlah mâ istifham macam yang pertama. Karena tidak mungkin si penanya yang notabene orang Arab tidak tahu makna bagi kata “imâm”.
Mungkin Anda bertanya, kalau “mâ imâmuka” itu termasuk mâ istifham yang mana? Melihat jawabannya adalah, “Al-Qur`ân imâmi”; (Alquran imamku), dapat dikatakan termasuk mâ istifham macam yang ketiga, dan mâ di sini tidak berarti “siapa”, tetapi “apa”. Sehingga jawabannya adalah kitab Alquran, bukan fulan bin fulan. Lalu, bagaimana dengan pertanyaan Abu Bashir tersebut?
Baca: “Koneksi Antara al-Quran dan Shalat“
Jelas ia tidak sedang bertanya, siapa yang imam? Yakni, bukan mâ istifham macam yang ketiga. Tetapi ia menanyakan tentang ciri khas atau kriteria seorang imam, sebagaimana yang dimiliki imam-imam lainnya sesudah Rasulullah saw. Yakni, tentang hakikat imam dengan pembuktian melalui ciri khas dan tanda-tandanya yang nyata.
Cirikhas Seorang Imam
Imam Musa Kazhim menjawab soal Abu Bashir bahwa, “Diketahui dengan beberapa perkara berikut:
1-Ada nash dari ayahnya (yakni imam sebelumnya) yang menyatakan tentang imamahnya. Beliau mengenalkan (yang sebenarnya hal ini merupakan penekanan atau pernyataan resmi seorang imam) kepada orang-orang, dan mengangkatnya di tengah mereka sebagai imam berikutnya sesudah beliau, sehingga menjadi hujjah bagi mereka. Sebab, (hal ini sebagaimana) Rasulullah saw telah mengangkat Ali as sebagai pemimpin umat sesudah beliau dan mengenalkan dia kepada orang-orang. Begitu juga para imam lainnya, seorang dari mereka diangkat oleh imam sebelum dia dan dikenalkan kepada orang-orang bahwa dia adalah imam mereka.
Baca: “Doa Imam Zainal Abidin as dalam Kesusahan dan Memohon Perlindungan“
2-Seorang imam bila ditanya, ia akan menjawab, dan bila si penanya diam dan tidak bertanya, ia akan membuka pembicaraan.
3-Seorang imam mengabarkan kepada orang-orang tentang (apa yang akan terjadi di) masa datang.
4-Seorang imam berbicara dengan setiap orang sesuai dengan bahasa (yang dipahami)nya. (Ushul al-Kafi 1/285, hadis 7; Bihar al-Anwar 48/47, hadis 33; dan lainnya)
Dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri seorang imam ialah adanya kabar atau pernyataan dari seorang imam ma’shum sebelumnya; menjawab semua masalah; memiliki ilmu masa datang; berbicara yang bisa dipahami oleh lawan bicaranya.
Dampak tak Kenal Imam
Riwayat lainnya dari Abu Khalid Zabbali: “Suatu ketika Imam Musa singgah di kediaman kami pada hari yang suhu dinginnya ekstrim di tahun kemarau, sedang kami tidak mendapati kayu untuk menyalakan api (penghangat). Imam berkata, “Hai Abu Khalid, adakah kayu bakar untuk kami nyalakan?”
“Sungguh saya tidak mengetahui ada sebatang kayu bakar di daerah ini”, jawabnya (dengan rasa menyesal).
Beliau berkata, “Tidak, hai Abu Khalid! Coba lihat jalan itu. Ambillah di sana. Kau akan bertemu dengan seorang badui dengan membawa dua muatan kayu bakar dan jangan membuat dirinya menahan (miliknya karenamu)!”
Maka, saya naik keledai dan berangkat menuju jalan yang beliau tunjuki. Tiba-tiba ada seorang setempat membawa dua muatan kayu, maka saya membelinya. Lalu saya kembali dengan membawa kayu bakar itu kepada beliau, lalu kayu dinyalakan pada hari itu juga. Kemudian saya datang lagi membawa makanan yang kami punya untuk beliau, dan beliau memakannya.
Baca: “Berkah Makanan Sayyidah Khadijah a.s.“
Setelah itu Imam berkata, “Hai Abu Khalid, perbaikilah sepatu dan sandal anak-anak ini! Nanti pada bulan sekian di waktu demikian aku akan datang menemuimu!”
Ia menceritakan, “Saya ingat-ingat tanggal yang Imam tentukan itu. Hingga pada hari yang dijanjikan saya (berangkat dengan) menaiki keledai. Tiba di perbatasan, saya turun. Tiba-tiba saya melihat penunggang yang bergerak ke arah kafilah kami. Saya hampiri yang memanggil saya, dan saya jawab, “Labbaika ya imam..”
(Sampai pada perkataan) “Bagaimana dengan sepatu dan sandal anak-anak itu?”, tanya beliau.
“Sudah saya perbaiki”, kataku (Abu Khalid). Lalu saya tunjukkan alas-alas kaki itu kepada imam.
Beliau berkata, “Hai Abu Khalid, sampaikanlah hajatmu kepadaku!”
Ia mengatakan, “Tuanku, telah saya sampaikan tentang diri saya saat itu kepada Anda. Sebelum Anda singgah ke tempat saya dan meminta kayu bakar, lalu Anda akan datang lagi, saat itu saya seorang Zaidiyah. Tetapi dengan bukti-bukti yang saya saksikan, Anda adalah seorang imam yang Allah wajibkan taat kepadanya.
Imam berkata, “Hai Abu Khalid, siapa yang tak kenal imamnya, maka ia (bila mati) dalam mati jahiliyah, dan amal perbuatannya akan dihisab menurut Islam.” (Bihar al-Anwar 47/77, dinukil dari “Manaqib Al Abi Thalib 4/319)
Baca: “Kartun Anak: Imam Ali as. Blusukan di Kota Kufah“