Melalui dua pusaka abadinya (Alquran dan Ahlulbaitnya yang suci), Rasulullah Saw telah menekankan pentingnya belajar bagi manusia.
Allah menjadikan ilmu sebagai kemuliaan tertinggi dan karunia pertama yang diberikan kepada manusia setelah Dia ciptakan. Pada surah pertama yang diturunkan kepada Rasulullah Saw, Allah Swt berfirman, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar dengan pena. Dia mengajarkan manusia hal-hal yang tidak dia ketahui.” (Q.S. al-‘Alaq [96]: 1-5)
Allah Swt mulanya menyatakan kondisi manusia saat penciptaannya dari sesuatu yang hina, namun kemudian menjadi sosok mulia yang berpengetahuan. Kesempurnaan tersebut hanyalah berasal dari kekuasaan Allah Swt.
Baca: Kiat Sukses untuk Pembelajar: Sepuluh Etika dalam Proses Menuntut Ilmu (1)
Lebih dari itu, Allah menisbatkan orang-orang yang berilmu hanyalah mereka yang memiliki rasa takut terhadap-Nya. “Hanyalah para ulama di antara para hamba-Nya yang takut terhadap Allah.” (Q.S. Fathir [35]: 28)
Lalu betapa pentingnya nilai ilmu sehingga Allah meningkatkan level orang-orang yang dianugerahkan ilmu. Allah Swt berfirman, “Allah mengangkat beberapa tingkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu.” (Q.S. al-Mujadalah [58]: 11)
Sebab itu, kita perlu mengetahui kiat sukses dalam menuntut ilmu, terutama etika kita sebagai pembelajar terhadap orang yang mengajari dan mendidik kita.
Para ulama yang berpengalaman sebagai pembelajar lintas generasi telah meramu aneka kiat sukses dalam belajar. Ramuan tersebut tentunya bersumber dari ulama generasi sebelumnya hingga para Imam dari Ahlulbait Nabi yang disucikan.
Baca: Bagaimana Orang Tua Mendidik Anak Menjadi Manusia?
Salah satu yang dapat kita jadikan acuan ialah buku berjudul Tsalātsūna Adaban li al-Muta’allim (Tiga Puluh Etika bagi Pembelajar) yang disusun oleh Markaz Nun. Buku ini terdiri dari tiga bagian: sepuluh etika dalam proses menuntut ilmu; sepuluh etika terhadap guru; dan sepuluh etika terhadap ilmu itu sendiri.
Berikut ini ialah bagian kedua buku Tsalātsūna Adaban li al-Muta’allim (Tiga Puluh Etika bagi Pembelajar), yaitu sepuluh etika terhadap guru:
1. Mempertimbangkan kepada siapa ia mengambil ilmu.
Seorang pembelajar seyogianya memilih seseorang yang memadai kapasitasnya sebagai guru, tampak keberagamaannya, mumpuni pengetahuannya, dikenal kedisiplinannya dalam menjaga kesuciannya, terjaga kehormatannya, cakap dalam mengajar, dan mudah dipahami.
Hendaknya seorang pelajar tidak terpikat oleh keilmuan seseorang yang kurang menjaga ketaatannya, agamanya, atau perangainya. Sebab bahayanya dalam mendidik perangai dan agama seorang pembelajar lebih pelik dari sekadar kebodohan yang hendak dihilangkan darinya dan itu lebih berbahaya.
Baca: Pengaruh Keyakinan yang Bersumber dari Ibadah
Lebih dari itu, seorang pembelajar harus berhati-hati dalam mengambil ilmu dari buku-buku semata, tanpa guru sebagai pemandunya. Tentu hal itu dikhawatirkan akan menjerumuskannya dalam kesalahan, terjadi distorsi dan pemahaman yang keliru.
2. Meyakini bahwa guru itu ayah hakiki sekaligus ayah spiritual.
Iskandar ketika ditanya alasan lebih menghormati gurunya ketimbang ayahnya, dia menjawab, “Sebab guru itu faktor bagi kehidupan abadiku, dan ayahku faktor bagi kehidupan sementaraku.”
3. Menghormati guru.
Seorang pembelajar seyogianya melihat gurunya dengan pandangan hormat, agung dan mulia. Tutupilah kesalahan dan kekurangannya. Sebab hal itu akan mengokohkan pengetahuan yang ia peroleh darinya.
Imam Khomeini sepulangnya dari pengasingannya di Paris, beliau datang ke Qom untuk menziarahi dua gurunya, Syekh Mirza Jawad Tabrizi dan Ayatullah Bourujerdi. Beliau membuka penutup kepalanya lalu mengusapkannya ke pusara itu, duduk dan membacakan Alquran sebagai bentuk penghormatannya terhadap gurunya.
Baca: Bagaimanakah Cara Menguatkan Visi Keimanan Kita?
Semasa berguru kepada Ayatullah Bourujerdi, Imam Khomeini mencucikan jubah wol Ayatullah Bourujerdi sebagai bentuk pengabdiannya kepada gurunya.
4. Tidak mengingkari sang guru dan bersikap rendah hati kepadanya.
Seorang pembelajar tidaklah menjadi hina ketika bersikap rendah hati kepada gurunya, kecuali suatu keluhuran budi. Rasulullah Saw bersabda, “Pelajarilah ilmu; pelajarilah ilmu dengan kesantunan dan kehormatan; dan bersikap rendah hatilah terhadap orang yang mengajarkanmu.”
5. Mengagungkan guru dan berterima kasih kepadanya.
Saat berbicara dengan gurunya, hendaknya seorang pembelajar menggunakan kata dan kalimat yang elok dan santun. Selain itu, tidak memanggil gurunya dari kejauhan, meminta nasihat dan pendapatnya. Ketika tidak bersamanya, tetap menyanjung namanya sebagai bentuk pengagungan dan terima kasih kepadanya.
6. Berupaya keras untuk hadir lebih awal dalam suatu forum ilmu.
Seorang pembelajar sepatutnya hadir lebih dulu dari gurunya, atau menunggu di pintu rumah gurunya agar dapat mendampinginya ke suatu forum.
7. Masuk ke forum setelah diizinkan.
Pada suatu forum khusus, seorang pembelajar tidak diperkenankan masuk, tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada gurunya untuk masuk.
8. Memerhatikan gurunya dan melihatnya saat berbicara kepadanya.
Seorang pembelajar harus memerhatikan saat gurunya berbicara agar tidak membuatnya mengulang ucapannya. Dia juga harus memerhatikan sikapnya di hadapan gurunya agar tidak membuat hal-hal yang mengganggu perhatiannya.
Baca: Imam Ali Khamenei dan Secarik Kertas di Tangannya
9. Tidak mengeraskan suara di hadapannya.
Selayaknya seorang pembelajar tidak mengangkat suara di hadapan gurunya, banyak bicara tanpa kepentingan, bercerita humor, bertutur kata kasar, atau pun berbicara tanpa izin. Jika dia hendak berbicara, minta izinlah kepada gurunya, tidak tertawa tanpa maksud, dan hindarkanlah menggibah seseorang dalam forumnya.
10. Mengabaikan aneka kesalahan artikulasi guru.
Bila ada kesalahan dalam ucapan sang guru, tidak pantas bagi kita menertawakannya, mengolok-oloknya, mencibirnya di hadapan kawannya, bahkan menceritakannya kepada orang lain.
(Bersambung…)