Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Makna Ucapan Salam dalam Salat

Salam di dalam bacaan tahiyyat dalam salat terdiri dari tiga bacaan. Salam diiringi dengan menyebut dan mengingat Allah. Seorang mushalli memulai dengan Asma Allah dan mengakhirinya dengan Asma Allah, dan antara permulaan dan akhir tiada hal lain kecuali mengingat Allah dan menyebut Asma-Nya. Jika ada sebuah kalimat memuji nabi dan keturunannya yang suci, pada saat yang sama disertai dengan mengingat Allah dan memohon pertolongan-Nya dengan limpahan berkah dan karunia-Nya.

Ucapan pertama adalah salam seorang kepada Nabi, sambil memohon rahmat dan berkah Allah bagi beliau Saw: Assalamu alaika ayyuhannabiyyu wa rahmatullahi wa barakatuh (Kedamaian atasmu, wahai Rasulullah, dan rahmat dan berkah Allah semoga dilimpahkan atasnya).

Nabi adalah pionir Islam. Dia bertanggung jawab atas seluruh upaya, perjuangan, dan ikhtiar demi kepentingan agama ini, yang juga dijunjung tinggi oleh mushalli. Dia adalah sang proklamator ajaran tauhid yang mengguncang kesadaran dunia, meletakkan fondasi kehidupan yang layak bagi umat manusia untuk selama-lamanya. Dia adalah perancang manusia Islam sempurna dan masyarakat Islam utama yang akan terus mencetak pribadi-pribadi teladan. Kini, seorang mushalli melalui salat, beragam pelajaran berharga dan petunjuk yang terdapat di dalamnya, merefleksikan semboyan sama dalam kehidupan pribadinya untuk manusia sekitar dan semasanya. Ia mengambil langkah besar menuju masyarakat unggul dan ideal sebagaimana ditetapkan sang pribadi agung (Nabi Saw).

Baca: Salat, Tiang Agama yang Tidak Dapat Digantikan

Oleh karena itu, sudah sewajarnya bahwa ketika mushalli hampir mengakhiri salatnya, tidak lupa mengingat Nabi Saw dengan salam dan penghormatan, sosok yang telah membimbingnya menuju jalan ini dan menjadi penuntun bagi dirinya di sepanjang perjalanannya; dan dengan cara demikian ia maklumkan kehadirannya (keikutsertaan) bersama Nabi Muhammad Saw di atas jalannya.

Pada bacaan salam kedua, seorang mushalli menyampaikan salam dan penghormatannya kepada Nabi Muhammad Saw, para sahabat, dan semua hamba Allah yang saleh: Assalamu’ alaina wa ala ibadillahis shalihin, Salam (kedamaian) atas kami dan semua hamba Allah yang saleh. Oleh karena itu, dengan cara demikian sosok para hamba Allah yang saleh (shalihin) akan senantiasa hidup di dalam benaknya; rasa akan kehadiran dan eksistensi mereka memberinya kekuatan dan energi.

Di sebuah dunia di mana pertunjukan dosa: kehinaan, kekerasan, kekejaman, tirani, kejahatan, dan kelicikan telah menjangkiti setiap tempat dan setiap orang; di mana dapat dilihat dengan mata seorang yang cerdas dan sadar, lingkungan sekitar kita saat ini benar-benar mempertontonkan sebuah potret kebobrokan nyata dari seluruh nilai kemanusiaan. Dimana kehampaan, kekurangan dan kelemahan ditutup-tutupi dengan pesona palsu. Sebuah dunia, dimana suara keadilan dan kebenaran dibungkam oleh perbuatan-perbuatan aib dari pribadi-pribadi egois dan ambisius, di mana posisi­posisi yang semestinya diduduki oleh pribadi-pribadi mulia seperti Imam Ali a.s. dan Imam Husein a.s., serta Imam Jakfar Shadiq a.s., justru diduduki oleh pribadi-pribadi culas dan pencipta kekacauan seperti Muawiyah, Yazid dan Mansur; dan ringkasnya; sebuah dunia di mana putra-putra terbaik setan telah menduduki semua tempat yang semestinya diduduki oleh para shalihin (hamba Allah yang saleh).

Dalam keadaan demikian adakah harapan atau peluang bagi kesalehan dan kebaikan itu akan menang? Dapatkah hal lain selain dosa, kejahatan, kekecewaan, dan ketidakadilan diharapkan dari diri manusia? Seseorang harus mengakui bahwa jika pun ada kemungkinan untuk mengubah sesuatu, tidaklah mudah dilakukan.

Penghormatan dan salam kepada para hamba Allah yang terpuji dan saleh, akan memberikan ketenteraman bagi orang-orang yang kalut di dalam kesedihan dan membebaskan segala ketidakberdayaan dan penderitaan manusia. Seolah-olah ia seperti kabar gembira, karena cahaya terang menyeruak dari hati yang gelap gulita. Ia menjanjikan kepada mushalli akan keberadaan dan kehadiran rekan seperjuangan yang lain. Ia berkata padanya: “Engkau tidak sendirian di padang pasir yang tandus ini, semoga engkau dapatkan tumbuh-tumbuhan yang buahnya berlimpah dan tak akan pernah layu.” Sebagaimana selalu ada sepanjang sejarah, di tengah-tengah masyarakat yang sesat dan bobrok, lahirlah pribadi-pribadi paling gigih, memiliki kebulatan tekad dan para reformis tersohor, yang meletakkan fondasi bagi sebuah ideologi baru dan mencerahkan, membangun sistem-sistem baru di tengah-tengah segala keputusasaan dan kegelapan.

Bahkan sekarang ini, sesuai dengan tradisi suci dalam sejarah, kekuatan mencerahkan dari kebenaran dan kebajikan serupa, secara aktif terus terlibat di tengah-tengah dunia yang penuh dengan kejahatan dan kecurangan ini.

Ya! hamba-hamba Allah yang saleh, yang memandang Allah sebagai Tuhan yang layak dan berhak disembah, mengikuti perintah-Nya, menentang dan melawan para pengklaim palsu ketuhanan (thagut).

Siapakah gerangan para hamba Allah yang saleh ini dan dimanakah mereka? Akankah sebuah pelajaran diperoleh dari mereka dan tidakkah dalam setiap derap langkah mereka Allah selalu menyertainya? Ya. Ketika seorang mushalli  menempatkan dirinya bersama para pribadi saleh ini dan menyampaikan salam bagi dirinya dan juga bagi diri mereka; cahaya kebahagiaan, kemuliaan dan ketenangan akan memancar di dalam hatinya. Ia berusaha sungguh-sungguh untuk menjadi golongan dari mereka dan selalu mengikuti mereka, sehingga apabila ia tidak bisa ikut serta dalam barisan mereka, ia akan merasa sedih; perasaan ini memberinya komitmen dan pertanggung jawaban yang menyenangkan.

Seperti apakah para hamba yang saleh lagi mulia itu dan apa kemuliaannya? Kemuliaannya tidak hanya tampak dalam salatnya. Dia adalah seseorang yang mampu menunaikan kewajiban-kewajiban Ilahi yang berat dengan cara yang tepat, sebagaimana tampak dan diharapkan dari seorang hamba Allah yang mukhlis (tulus). Dengan kata lain, ia dapat diibaratkan seorang siswa teladan di sebuah kelas. Seorang siswa teladan diharuskan menyelesaikan pekerjaan rumahnya dengan baik.

Baca: Salat Malam adalah Senjata Seorang Mukmin

Di akhir bacaan salam ketiga, seorang mushalli menyampaikan salam kepada para hamba yang mulia (kepada para malaikat atau mushalli lainnya), sebagai berikut: Assalamu’ alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh (Semoga kedamaian dan rahmat serta berkah Allah atas kalian). Oleh karena itu, dengan cara ini mushalli mengingatkan dirinya tentang kebaikan dan kemuliaan (atau kebajikan malaikati atau kemanunggalan dengan para mushalli lainnya), dan setelah itu ia mengakhiri salatnya dengan memberikan salam dan penghormatan kepada jamaah salat lainnya.

*Dikutip dari buku Jangan Sia-siakan Salatmu – Ayatullah Udzma Sayyid Ali Khamenei

No comments

LEAVE A COMMENT