Di Masa Kakeknya
Pada masa Nabi Muhammad Saw dan awal risalah Islam, keluarga Ali, Fathimah, dan dua orang putranya memiliki peran yang luas. Penghuni rumah inilah yang akan mengemban kelanjutan risalah dan khilafah serta tanggung jawab mempertahankan kemurnian agama dan umat.
Sudah selayaknya keluarga ini mendapatkan cinta, perhatian, dan pengayoman istimewa dari Nabi Muhammad Saw. Beliau Saw menyiram “pohon berkah” ini setiap siang dan malam. Beliau juga menjelaskan bahwa nasib umat bergantung kepada penghuni rumah ini dan berpesan kepada umat agar selalu menaati mereka. Masalah ini dapat dengan jelas kita pahami dari sabda Nabi Saw: “Sesungguhnya Ali adalah panji hidayah setelahku, Imam para kekasihku, serta pelita bagi yang patuh kepadaku.” (Tarikh Ibnu Asakir, juz 2, hal. 189; Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, hal. 173; Kanz al-Ummal, juz 5, hal. 153; Sunan al-Tirmidzi, juz 5, hal 327)
Dunia bersinar karena kelahiran Husain a.s. yang menempati ruang istimewa di hati Nabi Muhammad Saw karena kelak dia menjadi pewaris risalah beliau. Dengan pandangan tajam kemaksuman serta kabar dari langit, Nabi Muhammad Saw melihat bayi yang baru lahir itu sebagai orang yang siap menerima warisan risalah. Beliau melihat cucunya itu akan bangkit di tengah umat yang lalai dibuai mimpi.
Pada pribadi cucunya itu, Nabi Muhammad Saw melihat jiwa reformis melekat erat ketika agamanya kelak diselewengkan, bahkan di ambang kepunahan. Nabi Saw mendapati bahwa Husain akan menghidupkan sunah yang diabaikan dan diingkari. Oleh karena itu, Nabi Saw selalu mempersiapkannya untuk mengemban tugas pelanjut risalah dengan belaian kasih sayangnya dan memanfaatkan waktunya untuk membimbing Husain dengan ilmunya. Hal tersebut dilakukan Rasulullah Saw untuk mempersiapkannya sebagai Imam pelanjut risalah terakhir seperti yang diperintahkan Allah Swt.
Rasulullah Saw bersabda: “Hasan dan Husain adalah anakku. Barang siapa mencintai mereka, berarti telah mencintaiku. Barang siapa mencintaiku, dia telah dicintai oleh Allah. Barang siapa dicintai oleh Allah, Allah akan memasukkan ke surga-Nya. Namun, barang siapa membenci mereka berdua, dia telah membenciku. Barang siapa membenciku, dia telah dibenci Allah. Barang siapa dibenci Allah, Allah akan memasukkannya ke neraka.” (Mustadrak al-Hakim, juz 3, hal.166; Tarikh Ibnu Asakir, juz 1, hal.432)
Baca: Pergerakan Imam Husein as Sebuah Taklif
Cinta adalah langkah awal untuk ketaatan dan menerima wilayah (kepemimpinan). Demikianlah hakikat cinta. Nabi Muhammad Saw telah merasa sakit karena tangisan Husain. Beliau selalu mengawasinya dalam keadaan terjaga dan tidur, bahkan selalu berpesan kepada ibunya, Fathimah, agar selalu memperlakukan Husain dengan kasih sayang dan lemah lembut. (Siyar A’lam al-Nubala, juz 3, hal 191; Dzakha’ir al-‘Uqba, hal 143)
Ketika Husain a.s. mulai bisa berjalan, Nabi Muhammad Saw mulai menarik perhatian orang-orang agar tertuju kepadanya. Rasulullah Saw bahkan memperlama sujudnya ketika Husain naik ke atas punggung beliau. Beliau juga menghentikan khotbahnya kemudian turun dari mimbar ketika melihat Husain berlari menujunya. Lalu beliau menggendongnya dan membawanya ke atas mimbar, dan melanjutkan khotbahnya. Tindakan ini adalah cara pertama Rasulullah Saw agar mereka menerima wasiatnya sekaligus menunjukkan kepada umat bahwa beliau sangat mencintai Husain. Dengan itu beliau menunjukkan kedudukan Husain kepada umat. (Musnad Ahmad, juz 5, hal 354; Kanz -Ummal, juz 7, hal. 167; Sunan al-Tirmidzi, juz 5. hal. 616)
Nabi Muhammad Saw melakukannya untuk memberi tahu umat bahwa Husain a.s. yang akan menentukan masa depan mereka. Ketika rombongan pendeta Nasrani Najran datang, Nabi Muhammad Saw mengajak mereka berdialog dan menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang memiliki pandangan dunia tauhid murni. Namun, mereka menolak. Padahal, kebenaran sudah jelas di hadapan mereka. Maka, Allah memerintahkan Nabi Muhammad Saw agar mengajak mereka ber-mubahalah.
Pada waktu yang disepakati, Nabi Saw keluar menuju para pendeta itu dengan membawa serta pribadi-pribadi terbaik, paling bertakwa dan paling mulia kedudukannya di sisi Allah. Mereka adalah Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain. Nabi menyertakan insan-insan teragung itu untuk ber-mubahalah dengan pihak penentang kebenaran dan musyrik yang menyimpang dari akidah. Pada saat yang sama, Nabi Muhammad Saw ingin menunjukkan bahwa mereka yang bersama beliau adalah Ahlulbait Nabi yang akan memegang peranan penting, melanjutkan risalah Islam. Tindakan lugas yang beliau lakukan adalah demi tegaknya akidah. Mubahalah tersebut gagal setelah para pendeta Najran melihat wajah-wajah bersinar yang memancarkan cahaya tauhid dan kemaksuman. Para pendeta Najran menyerah dan rela membayar pajak serta hidup damai di bawah naungan Islam.
Masa singkat yang dijalani Imam Husain a.s. bersama kakeknya Saw merupakan bagian terpenting sepanjang sejarah Islam secara keseluruhan. Pada masa itu Nabi Muhammad Saw telah menancapkan dasar-dasar pemerintahannya yang penuh berkah. Beliau membangunnya dengan landasan iman, ilmu, memorak-porandakan pasukan syirik, meruntuhkan tiang-tiang kekafiran, dan menarik penolong serta pembela dari para sahabat setianya. Oleh karena itu, beliau menyaksikan kemenangan dengan masuknya orang-orang ke dalam agama Allah. Tak berselang lama setelah semua keberhasilan tersebut, umat dikejutkan dengan sebuah musibah besar. Rasulullah Saw wafat. Umat diliputi kesedihan mendalam, terutama Ahlulbait.
Warisan Nabi untuk Kedua Cucunya
Saat Sayidah Fathimah a.s. merasa bahwa masa perpisahan dengan ayahnya segera tiba, beliau membawa dua putranya, Hasan dan Husain a.s., menemui Nabi Saw dan berkata kepada beliau: “Wahai ayahku, ini adalah dua putramu. Berilah sesuatu kepada mereka sebagai warisan darimu.” Nabi bersabda: “Hasan akan mewarisi kewibawaan dan kepiawaianku. Husain akan mewarisi keberanian dan kedermawananku.” (Bihar al-Anwär, juz 43, hal. 264)
Wasiat Nabi Tentang Kedua Cucunya
Kurang dari tiga hari menjelang wafatnya, Nabi Muhammad Saw mewasiatkan kepada Imam Ali a.s. agar memerhatikan kedua cucunya. Beliau berkata: “Salam bagimu wahai ayah dua buah hatiku. Aku berpesan kepadamu [tentang] dua buah hatiku di dunia ini. sebentar lagi akan runtuh dua rukunmu dan Allah yang akan menjagamu.”
Setelah Rasulullah saw wafat, Imam Ali as berkata: “Ini adalah salah satu dari dua rukun yang disabdakan Rasulullah kepadaku”, dan ketika Fathimah a.s. syahid, Imam Ali as berkata: “Ini adalah rukun kedua yang disabdakan oleh Rasulullah saw kepadaku.” (Bihar al-Anwar, juz 43, hal. 264)
Saat-Saat Terakhir Nabi Saw
Ketika Nabi Muhammad Saw terbaring sakit menjelang akhir hayatnya, Husain a.s. datang menghampiri. Nabi Saw mendekap Husain ke dadanya dan berkata: “Apa gerangan kesalahanku kepada Yazid? Sungguh Allah tidak akan memberinya berkah.” Setelah itu beliau jatuh pingsan dalam rentang waktu yang lama. Setelah sadar, beliau kembali menciumi Husain sambil mengucurkan air mata dan berkata: “Sungguh aku memiliki perhitungan khusus dengan pembunuhmu kelak di Hari Kiamat.” (Mutsir al-Ahzan, hal. 91)
Baca: Doa Imam Husein a.s.
Pada detik-detik terakhir hidup Nabi Saw, dua cucunya menjatuhkan diri di pelukan Rasulullah dengan air mata bercucuran. Nabi Muhammad Saw menciumi mereka. Imam Ali a.s. hendak mengangkat kedua putranya, namun Nabi melarang dengan mengatakan: “Biarkanlah mereka berdua mengambil bekal terakhir dariku dan aku pun mengambil bekal terakhir dari mereka. Setelahku, engkaulah yang akan memberi pengaruh pada keduanya (itsrah).”
Kemudian Nabi menoleh ke arah orang-orang yang menjenguknya dan berkata kepada mereka: “Aku telah tinggalkan di antara kalian kitab Allah dan Itrah (keluarga)-ku. Sesiapa menyia-nyiakan kitab Allah, berarti menyia-nyiakan sunahku, dan sesiapa menyia-nyiakan sunahku, berarti menyia-nyiakan Itrahku. Sungguh keduanya tidak akan berpisah hingga [keduanya] menemuiku di Telaga Haudh.” (Khawarizmi, Maqtal al-Husain, juz 1, hal. 114)
*Dikutip dari buku Teladan Abadi, Imam Husain Sang Syahid – Sayid Munzir al-Hakim