Sebagian manusia berhasil memanfaatkan hikmah dan tarbiyah ilahiah yang terkandung di balik musibah dan ujian berkat kehidupan dan perilaku zuhud seperti yang diterapkan oleh para wali dan kekasih Allah. Tapi ada pula yang mengabaikan hikmah dan tarbiyah itu sehingga harapan “mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar)” menjadi sia-sia bagi mereka, sebagaimana juga ada pelaku maksiat yang akhirnya insaf dan kembali ke jalan yang benar setelah berhasil memetik hikmah tersebut.
Menarik sekali apa yang dikatakan oleh Imam Ali as;
إنّ البلاء للظالم أدب، وللمؤمن امتحان، وللأنبياء درجة، وللأولياء كرامة.
“Cobaan bagi orang zalim adalah pelajaran, bagi mukmin adalah ujian, bagi nabi adalah derajat (yang tingg), dan bagi para wali adalah kemuliaan.”[1]
Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
إنّ الله تبارك وتعالى ليتعاهد المؤمن بالبلاء، إمّا بمرض في جسده، أو بمصيبة في أهله أو مال، أو مصيبة من مصائب الدنيا; ليأجره عليها.
“Sesungguhnya Allah SWT telah menjanjikan cobaan kepada seorang mukmin, baik dengan sakit pada raganya, atau dengan musibah pada keluarganya, atau harta, dan musibah di antara musibah-musibah dunia, supaya Dia memberinya pahala atas cobaan itu.”[2]
ما من مؤمن إلاّ وهو يُذكّر في كلّ أربعين يوماً ببلاء، إمّا في ماله، أو في ولده، أو في نفسه فيؤجر عليه، أو همّ لا يدري من أين هو.
Imam Jakfar al-Shadiq as juga berkata;
ما من مؤمن إلاّ وهو يُذكّر في كلّ أربعين يوماً ببلاء، إمّا في ماله، أو في ولده، أو في نفسه فيؤجر عليه، أو همّ لا يدري من أين هو.
“Tak ada mukmin kecuali dia diingatkan dengan cobaan dalam setiap 40 hari sekali berkenaan dengan hartanya, atau anaknya, atau dirinya, lalu dia diberi pahala atasnya, atau kegundahan yang dia tidak mengetahui dari mana asalnya.”[3]
Imam Muhammad al-Baqir as meriwayat dari ayah dan leluhurnya bahwa Rasulullah saw bersabda;
إنّ المؤمن إذا قارف الذنوب ابتلي بها بالفقر، فإن كان في ذلك كفّارة لذنوبه وإلاّ ابتلي بالمرض، فإن كان ذلك كفّارة لذنوبه وإلاّ ابتلي بالخوف من السلطان يطلبه، فإن كان ذلك كفّارة لذنوبه وإلاّ ضيّق عليه عند خروج نفسه حتّى يلقى الله حين يلقاه وماله من ذنب يدّعيه عليه، فيأمر به إلى الجنّة، وإنّ الكافر والمنافق ليهون عليهما خروج أنفسهما حتّى يلقيان الله حين يلقيانه ومالهما عنده من حسنة يدّعيانها عليه، فيأمر بهما إلى النار.
“Seorang mukmin apabila meninggalkan dosa maka karenanya dia akan diuji dengan kefakiran apabila hal ini menjadi tebusan bagi dosa-dosanya, atau jika tidak demikian maka dia akan diuji dengan sakit jika hal ini menjadi tebusan bagi dosa-dosanya, atau jika tidak demikian maka dia diuji dengan ketakutan kepada para penguasa yang mencarinya jika hal ini menjadi tebusan bagi dosa-dosanya, atau jika tidak demikian maka dia disempitkan ketika nyawanya akan keluar sampai dia berjumpa dengan Allah ketika berjumpa denganNya dalam keadaan tidak ada tuntutan atas dosanya, lalu dengannya Dia menyuruhnya masuk ke surga.
“Dan sesungguhnya orang kafir dan munafik akan diringankan saat keluar nyawanya sampai berjumpa dengan Alalh saat menjumpainya dalam keadaan tidak memiliki kebaikan apapun yang dapat dia klaim kepadaNya, lalu Allah menyuruh keduanya masuk ke dalam neraka.”[4]
Sebagaimana ayat-ayat tersebut, hadis-hadis ini menunjukkan bahwa musibah terjadi karena sebab dan faktor yang variatif. Dan jelas bahwa seandainya faktornya terbatas hanya pada hukuman saja, atau teguran saja, atau tebusan atas dosa saja maka aib para pelaku maksiat akan terungkap. Karena itu, merupakan nikmat bagi hamba-hamba Allah adanya sebab-sebab lain semisal demi peningkatan derajat keruhanian, sehingga aibpun tertutup hingga hari penyingkapan segala aib pada hari kiamat kelak. Demikian pula, seandainya menangis, taubat, ratapan, dan keguncangan hanya patut untuk para pelaku maksiat saja niscaya aib mereka akan terungkap. Namun semua itu ternyata juga patut bahkan bagi sosok semulia Imam Ali Zainal Abidin al-Sajjad as, sehingga aib setiap hamba juga tetap tertutup.
Menarik pula riwayat dari Ali bin Ri’ab bahwa dia berkata; “Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Jakfar al-Shadiq as) mengenai firman Allah;
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَة فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ …
‘Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri…’[5]
“Apakah musibah yang menimpa Ali dan keluarganya adalah akibat perbuatan tangan mereka sendiri, sedangkan mereka adalah manusia suci dan maksum?”
Imam menjawab;
قال: إنّ رسول الله كان يتوب إلى الله، ويستغفره في كلّ يوم وليلة مئة مرّة من غير ذنب، إنّ الله يخصّ أولياءه بالمصائب; ليأجرهم عليها من غير ذنب.
“Sesungguhnya Rasulullah saw setiap hari beristighfar 100 x tanpa dosa. Sesungguhnya Allah mengkhususkan musibah kepada para kekasihNya untuk memberi mereka pahala atasnya tanpa dosa.”[6]
(Bersambung)
[1] Bihar al-Anwar, jilid 81, hal. 198.
[2] Ibid.
[3] Ibid, hal. 198-199.
[4] Ibid, hal. 199 – 200.
[5] QS. Al-Syura [42]: 30.
[6] Tafsir Ali Bin Ibrahim, jilid 2, hal. 277.