Tafsiran Keliru Makna Zuhud
Sebagian orang menyederhanakan zuhud dengan menafsirkannya sebagai perilaku menjauhi kenikmatan yang sejatinya justru merupakan anugerah Allah SWT bagi hamba-hambaNya. Karena itu mereka berusaha menjauhkan umat dari kepedulian kepada urusan duniawi. Dampaknya sangat fatal, antara lain membuka peluang bagi kaum kafir dan imperialis untuk menguasai kekayaan dan sumber daya alam mereka yang melimpah ruah. Dampak ini dialami oleh banyak negara Muslim, sementara negara-negara non-Muslim sedikit yang mengalaminya.
Parahnya lagi, orang yang menganut paradigma demikian dalam memaknai zuhud terkadang acuh, dingin, atau bersikap netral ketika menyaksikan imperialis melakukan penjajahan ekonomi karena mereka memandang aktivitas perekonomian sebagai keterkungkungan dalam kenikmatan duniawi.
Dampak berikutnya dari tafsiran demikian dalam memaknai zuhud ialah distorsi agama sehingga banyak orang cenderung menjauh dari agama karena merasa tak nyaman dalam menjalani kehidupan yang agamis.
Untuk mengatasi kesalah kaprahan dalam memaknai zuhud ini perlu dijelaskan beberapa hal sebagai berikut;
Pertama, kecenderungan menjauhi kenikmatan duniawi pada tingkat yang menerjang batas keseimbangan sehingga kenikmatan yang ada dipandang dengan sebelah mata, tidak dinikmati, atau bahkan dibenci dan dihindari bukanlah sesuatu yang dianjurkan oleh agama. Sebaliknya, agama justru melarangnya, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat suci al-Qurdan dan hadis. Misalnya, firman Allah SWT;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”[1]
Menjauhi kenikmatan duniawi dianjurkan namun pada batas yang rasional, tidak berlebihan, sehingga tidak meniscayakan pembiaran anugerah sumber daya alam jatuh ke tangan kaum kafir, imperialis, atau penguasa yang fasik. Pada batas ini, seorang Muslim justru akan berusaha dan berjuang melawan imperialisme, keserakahan dan kesewenang-wenangan agar anugerah alam dapat tersalurkan secara adil kepada seluruh umat Islam dan agar kekayaan yang ada dapat digunakan untuk perjuangan menegakkan agama Allah.
Di sinilah kemudian spirit pengorbanan (itsar) berperan. Spirit ini tidak cukup dengan hanya meninggalkan anugerah nikmat, melainkan justru harus meraih anugerah ini untuk kemudian dipersembahkan kepada msyarakat dan umat. Dia harus berjuang membuka pintu-pintu anugerah nikmat, tapi bukan untuk atau kesejahteraan dan kesenangan dirinya saja, melainkan lebih demi kesejahteraan orang banyak.
Menjadi pejabatpun juga merupakan sesuatu yang mulia selama dibarengi dengan spirit pengabdian kepada rakyat, bukan dengan semangat bersenang-senang dengan kedudukan dan kehormatan, apalagi di atas penderitaan rakyat.
Kedua, zuhud adalah perilaku menjauhkan diri dari hal-hal yang haram dan syubhat, sedangkan berkenaan dengan hal-hal yang mubah zuhud adalah keterbebasan dari keterpasungan dan ketermilikan oleh dunia. Hal ini terlihat dalam ayat suci yang mengawali tulisan tentang zuhud ini. Ayat itu tidak menjadikan kebencian kepada kenikmatan dunia sebagai tujuan penerapan cobaan dan bencana, melainkan bertujuan;
لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ.
“Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.”[2]
Hadis-Hadis Tentang Zuhud
Berikut ini adalah beberapa riwayat hadis tentang makna zuhud;
Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
الزهد في الدنيا بإضاعة المال ولا بتحريم الحلال، بل الزهد في الدنيا أن لا تكون بما في يدك أوثق منك بما في يد الله عزّ وجلّ.
“Zuhud di dunia ini bukanlah dengan menghilangkan harta dan bukan pula dengan mengharamkan yang halal. Sebaliknya, zuhud di dunia ialah bahwa apa ada yang di tanganmu hendaknya tidak lebih kamu andalkan daripada apa yang ada di tangan Allah Azza wa Jalla.” [3]
(Bersambung)
[1] QS. Al-Maidah [5]: 87.
[2] QS. Al-Hadid [57]: 22- 24.
[3] Al-Wasa’il, jilid 16, hal. 15, Bab 62 Jihad al-Nafs, Hadis 13.