Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda;
أنا زعيم بثلاث لمن أكبّ على الدنيا: بفقر لا غناء له(2)، وبشغل لا فراغ له، وبهمّ وحزن لا انقطاع له.
“Aku menjamin tiga hal untuk pemuja dunia; kemiskinan (kekurangan) yang tak ada kaya (cukup)-nya, kesibukan yang tak ada luangnya, dan kegelisahan serta kesedihan yang tak ada putusnya.”[1]
Diriwayatkan bahwa Imam Jakfar al-Shadiq as meriwayatkan dari leluhurnya bahwa Imam Ali as berkata;
إنّ علامة الراغب في ثواب الآخرة زهدٌ في عاجل زهرة الدنيا، أمّا إنّ زهد الزاهد في هذه الدنيا لا ينقصه ممّا قسم الله له فيها وإن زهد، وإنّ حرصَ الحريص على عاجل زهرة الحياة الدنيا لا يزيده فيها وإن حرص، فالمغبون من غبن حظّه من الآخرة.
“Sesungguhnya pertanda kerinduan kepada pahala akhirat ialah kezuhudan (ketidak berhasratan) kepada gemerlap dunia nan sementara. Adapun kezuhuhan di dunia ini tidak menguranginya dari apa yang telah dijatah Allah kepadanya di dunia meskipun dia berzuhud. Sedangkan hasrat orang yang sangat berhasrat kepada gemerlap kehidupan dunia nan sementara tidaklah memberikan tambahan baginya dalam kehidupan ini meskipun dia sangat berhasrat. Maka tertipulah orang yang tersisih dari jatah keberuntungannya di akhirat.”[2]
Dalam hadis ini jelas bahwa lawan kezuduhan adalah keberhasratan atau ketergilaan kepada dunia sehingga zuhud tidak berarti menjauhkan diri dari kepemilikan atas kenikmatan-kenikmatan duniawi. Dan sebagaimana kezuhudan tidak membuat seseorang menjauh dari nikmat, hasrat kepada duniapun tidak membuatnya merasa bertambah nikmat.
Ketiga, dalam segala sesuatu haruslah ditempuh metode moderat dan tidak ekstrem, bahkan termasuk dalam kedermawanan, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT;
وَلاَ تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلاَ تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُوماً مَّحْسُوراً.
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”[3]
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلاَ تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ..
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi …”[4]
Bahkan berkeaan dengan penunaian hak fakir miskin yang diambil dari hasil panen dan tentunya merupakan suatu perbuatan terpuji karena merupakan satu bentuk kedermawanan al-Quran ternyata juga melarang pemberian secara ekstrem dan berlebihan. Allah SWT berfirman;
… كُلُوا مِن ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ.
“Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”[5]
Dalam Tafsir al-Ayyasy termuat riwayat dari Muhammad bin Muslim bahwa Imam Abu Jakfar al-Baqir as mengenai firman Allah SWT, “…dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan,” berkata bahwa ada seorang pria petani dari kalangan Ansar ketika memanen hasil pertaniannya segera menyedekahkan hasil panen hingga tak tersisa untuk diri dan keluarganya. Sikap demikian lantas dinyatakan Allah SWT sebagai tindakan berlebih-lebihan. [6]
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa zuhud memiliki dua makna;
Pertama, menjauhi hal-hal yang diharamkan maupun yang bersifat syubhat.
Kedua, tidak terlalu bersedih atas apa yang telah hilang dan tidak terlalu bergembira atas apa yang didapat.
Tak syak lagi bahwa manusia sangatlah sulit untuk bisa demikian, dan bahkan yang demikian jauh lebih berat daripada zuhud dalam artinya yang dangkal, yaitu sekedar meninggalkan hal-hal yang dihalalkan.
(Bersambung)
[1] Bihar al-Anwar, jilid 73, hal. 81.
[2] Al-Wasa’il, jilid 16, hal. 11-12, bab 62 di antara bab Jihad al-Nafs, hadis 3.
[3] QS. Al-Isra’ [17]: 29.
[4] QS. Al-Qashash [28]: 77.
[5] QS. Al-An’am [6]: 141.
[6] Al-Wasa’il, jilid 9, hal. 203, Bab 16 Zakat al-Ghillat, Hadis 2.