Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Menjaga Tradisi Imam Ali as:Menjaga Persatuan Tanpa Kehilangan Identitas

Terdapat perbedaan teknis antara kelompok bersatu dan front bersatu. Untuk kelompok bersatu, semuanya harus memiliki ideologi dan pola pikir yang sama dalam semua masalah, kecuali urusan pribadi. Sedangkan untuk front bersatu, berbagai kelompok, meskipun berbeda ideologinya, menggunakan kesamaan yang ada di antara mereka untuk membentuk front bersama menghadapi musuh bersama.

Membentuk front bersama ini selaras dengan membela ideologi dan mengajak orang dari front ini untuk juga membela ideologi. Konsepsi utama almarhum Ayatullah Borujerdi adalah memuluskan jalan bagi penyebaran pengetahuan orang-orang keturunan Nabi saw di tengah-tengah saudara-saudara Sunninya. Beliau percaya bahwa ini mustahil tanpa adanya kemauan baik dan pengertian. Sukses yang diraihnya dalam menerbitkan sebagian buku teologi Syiah di Mesir oleh orang Mesir sendiri merupakan salah satu prestasi terpenting ulama Syiah. Semoga Allah menganugerahinya pahala atas jasanya untuk Islam dan kaum muslim.

Namun, memperjuangkan tesis persatuan Islam tidak berarti harus merasa tak enak membeberkan fakta-fakta. Yang harus dihindari adalah melakukan sesuatu yang dapat melukai perasaan dan sentimen pihak lain. Mengenai diskusi ilmiah, ini ada kaitannya dengan bidang logika dan akal, bukan dengan bidang sentimen dan perasaan.

Setelahnya banyak ulama Syiah yang mengikuti kebijakan sehat ini. Yang paling menonjol adalah Ayatullah Sayid Syarafuddin Amili, Ayatullah Kasyiful Ghitha, dan Ayatullah Syekh Abdul Husain Amini, penulis kitab penting al-Ghadir.

Berbagai peristiwa dalam kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib as dan kebijakan yang dianutnya, yang sekarang nyaris terlupakan dan jarang disebut-sebut, merupakan contoh tepat dalam hal ini. Imam Ali as tetap membicarakan haknya dan mengklaim hak itu. Dia tidak segan-segan memprotes orang-orang yang telah merampas haknya itu. Perhatiannya yang besar kepada persatuan Islam tidak mencegahnya bersuara terus terang. Banyak khotbahnya dalam Nahj al-Balaghah memperkuat fakta ini.

Kendati mengeluh, Imam Ali as tetap berada dalam barisan kaum muslim, berjuang melawan musuh-musuh kaum muslim. Imam Ali as ambil bagian dalam salat Jumat dan salat berjemaah lainnya. Beliau mendapat bagiannya atas barang rampasan perang pada zaman itu. Dia selalu memberikan nasihat yang tulus kepada khalifah.

Ketika perang kaum muslim dengan bangsa Persia, Khalifah kedua bermaksud turun langsung dalam pertempuran. Imam Ali bin Abi Thalib as mengatakan kepada khalifah, “Jangan ke medan tempur, karena selama Anda berada di Madinah, musuh akan mengira bahwa meskipun semua tentara muslim kalah, Anda akan mengirimkan tentara lagi dari pusat. Namun jika Anda turun langsung ke medan tempur, musuh akan mengatakan, inilah penopang utama bangsa Arab. Kemudian mereka akan mengerahkan segenap kekuatan untuk membunuh Anda. Dan jika Anda terbunuh, semangat juang kaum muslim akan hancur lebur” (Nahj al-Balaghah, khotbah ke-146).

Itulah kebijakan yang selalu dijalankan Imam Ali as. Beliau tidak pernah mendapat jabatan dalam pemerintahan khalifah. Dia tidak mau menjadi komandan militer, gubernur, amirul hajj, juga tidak menerima jabatan lain seperti itu, karena kalau menerima, berarti mengingkari klaimnya sendiri yang kuat. Dengan kata lain, menerima pos resmi berarti lebih dari sekadar kerja sama dan menjaga persatuan Islam. Meskipun dia sendiri tidak menerima jabatan apa pun, namun dia tidak mencegah keluarga dan sahabatnya untuk menerima jabatan-jabatan seperti itu, karena hal itu tidak berarti menyetujui kekhalifahan.

Perilaku Imam Ali as dalam hal ini sangat elegan dan menunjukkan dedikasinya kepada tujuan-tujuan Islam. Sementara orang lain melakukan tindakan memecah belah, beliau justru melakukan tindakan mempersatukan umat. Kalau orang lain mencabik-cabik, Imam as justru merajutnya.

Abu Sufyan berupaya memanfaatkan tidak berkenannya Imam Ali as. Abu Sufyan yang sok bersikap menginginkan kebaikan bagi beliau dan mencoba melampiaskan dendamnya kepada penerus Nabi saw ini, namun Imam as cukup pandai untuk tidak terkecoh tipu daya Abu Sufyan. Dengan tangannya sendiri, beliau menepuk dada Abu Sufyan sebagai tanda menolak tawarannya, kemudian meninggalkannya (Nahj al-Balaghah, khotbah ke-5).

Orang-orang seperti Abu Sufyan dan Hayy bin Akhtab selalu sibuk dengan rencana jahat mereka. Informan orang-orang Hayy bin Akhtab terlihat dalam banyak kejadian. Kaum muslim, khususnya kaum Syiah, berkewajiban menjaga tradisi Imam Ali as dalam hal ini di depan mata mereka dan jangan sampai terkecoh tipu daya orang-orang Abu Sufyan dan Hayy bin Akhtab. Inilah penentangan orang-orang yang tidak menyukai masalah imamah.

Yang mengherankan adalah ada juga orang yang penentangannya berlawanan sekali dengan penentangan ini. Kelompok ini menginginkan masalah kepemimpinan Islam menjadi masalah rutin. Yang diinginkannya adalah masalah ini selalu dibicarakan dan diulang-ulang seperti slogan. Namun kelompok ini tidak tertarik membahasnya secara ilmiah. Yang diinginkannya adalah agar perasaan tetap tegang, namun tidak berminat memuaskan dahaga intelektual atau pikiran yang tajam. Dan itulah keinginan musuh.

*Disarikan dari buku Tafsir Holistik – Alamah Sayyid Husain Thabathabai

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT