Oleh: Dr. Muhsin Labib, MA
Kelompok kecil di tengah masyarakat besar harus bekerja keras menghadirkan eksistensinya sebagai individu-individu sekaligus sebagai komunitas dalam aktivitas sosial sebagai bukti kontribusi bagi bangsa dan negara seraya menghormati kelompok-kelompok lain yang lebih besar dan lebih kecil dan mematuhi norma tradisi serta hukum dan konstitusi.
Kontribusi individu dan komunitas bagi bangsa dan negara bila diberikan tanpa mempertegaskan identitas keyakinan khasnya karena masyarakat tak mengenalinya sebagai buah partisipasinya.
Kontribusi bagi bangsa dan negara tanpa menyembunyikan identitas keyakinan khas takkan terwujud secara aktual tanpa didasarkan pada komitmen.
Baca: Pancasila Perlu Dipahami, Bukan Hanya Diklaim
Kesiapan berkomitmen antara individu dalam kelompok keyakinan khas takkan muncul tanpa keyakinan teologis yang sistematis dan komprehensif.
Keyakinan teologis komprehensif yang hanya bertahan sebagai kumpulan narasi sejarah dan ajaran ritual juga kegiatan seremonial hanya membentuk individu dan kelompok sektarian yang terasingkan dari dinamika kontekstual bila tak bertransformasi menjadi kesadaran ideologis.
Kesadaran ideologis yang menghasilkan perubahan dan penyempurnaan pola pikir dan pola aksi hanya teraktualkan dari kepatuhan kepada otoritas vertikal dalam konteks agama dan otoritas horisontal dalam konteks negara.
Kepatuhan multidimensional tak hanya diucapkan secara verbal namun dituangkan dalam kesepakatan formal yang jelas dan rasional.
Kesepakatan itu hanya bisa terjadi bila terwadahi secara formal dan legal dengan kewajiban dan hak bagi anggota, kader dan pengurus.
Wadah formal hanya bisa berfungsi secara aktual bila setiap anggota mengintegrasikan diri masing-masing secara nyata dengan menawarkan kontribusi untuk memainkan peran sesuai kapasitas dan kompetensi, tidak justru berposisi sebagai tamu, pengamat dan penuntut.
Baac: Menentang Penjajah Adalah Urusan Kita
Setiap individu mestinya memahami bahwa dia adalah batu bata bagi bangunan wadah itu yang tanpa dirinya bangunan itu hanyalah lukisan. Tak penting atribut “sebagai siapa” dan “di posisi apa” dalam kerja ideologis ini karena kemuliaan ditentukan oleh ketulusan dan loyalitas.
Terlalu lama waktu telah dilewatkan, skill disiasiakan dalam one man show, pikiran-pikiran brilian dilontarkan di ruang hampa medsos, harta dibakar untuk aktivitas-aktivitas sporadis yang tak lestari bagi masa depan, prasangka delusional yang mencemari angkasa batin karena masing-masing sibuk merawat ego hingga terlihat laksana individu-individu cerdas dan kritis yang mubazir dan tak saling mengenal di tengah kepungan sistemik.
Apa yang menimpa komunitas kecil ini pada 2021 tanpa perlu disampaikan ulang mestinya cukup untuk menggedor kesenyapan, kepasifan dan individualisme serta membuat semua yang berada di dalamnya siuman bahwa teologi dipilih bukan untuk dibanggakan, diulang-ulang dalam acara-acara seremonial dan diupload sebagai kutipan di lini masa medsos tapi diejawantahkan sebagai taklif personal juga komunal dengan segala risiko dan hambatan-hambatan internal dan eksternalnya.
2022 komunitas ini tak boleh lagi terlihat sebagai kumpulan orang-orang bengong tak tahu apa yang mesti dilakukan atau pasif menanti ada yang meminang dan meminta sedikit dari apa yang dimilikinya atau saling menyalahkan bila pukulan keras fitnah besar dihantamkan ke arahnya.