Ketika Imam Ali a.s. terbunuh, Al-Hasan putra Ali berkhutbah, “Aku termasuk Ahlul Bait yang Allah wajibkan mencintai mereka atas setiap Muslim. Allah berfirman,
قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَىٰ ۗ وَمَنْ يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْنًا ۚ
Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu imbalan pun atas seruanku kecuali kasih sayang terhadap keluargaku.” Dan barangsiapa mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan kebaikan baginya. (QS. As-Syura [42]: 23)
Imam Hasan bin Ali melanjutkan, “Mengerjakan kebaikan yang dimaksud adalah mencintai kami Ahlul Bait.”[1]
Pada 19 Ramadan 40 H, di saat fajar menjelang, ketika bersiap-siap untuk memimpin pasukan menuju Shiffin untuk kembali memerangi Muawiyyah, Abdul Rahman bin Muljam Muradi mengunjamkan belati ke kepala Ali bin Abi Thalib di mihrab masjid Kufah ketika hendak memimpin shalat subuh. Beliau syahid tiga hari kemudian, yaitu pada 21 Ramadan 40 H. Inna lillah wa inna ilahi rajiun.
Baca: “Amalan Umum Lailatul Qadr“
Menurut riwayat Ibnu Sa’ad, tiga orang Khawarij bernama Abdul Rahman bin Muljam, Burak bin Abdullah Tamimi dan Amru bin Bukair Tamimi telah bersumpah di Makkah untuk membunuh Imam Ali as, Muawiyyah dan Amru bin Ash.
Untuk mengunjungi sahabat Khawarijnya, Abdul Rahman pergi ke Kufah. Ketika dia dalam perjalanan untuk menemui sekelompok Bani Taim ar-Rabab, dia melihat seorang gadis bernama Qutsam binti Syajannah bin Adi yang ayah dan saudara-saudaranya telah terbunuh dalam perang Nahrawan.
Ketika Ibnu Muljam melamar Qutsam binti Syajannah, dia meminta mahar sebesar 3000 dinar ditambah dengan pembunuhan atas Imam Ali. Dia pernah bercerita karena alasan inilah dia tanpa rencana sebelumnya datang ke Kufah. Dia membubuhi pedangnya dengan racun, lalu menyerang kepala Imam Ali. Akibat dalamnya luka yang diderita beliau ditambah dengan racun yang dibubuhkan di pedang itu menyebabkan syahidnya beliau.
Berdasarkan riwayat, pada malam pembunuhan itu, Ibnu Muljam ada di rumah Asy’ats bin Qais.
Baca: “Mengapa Hanya Imam Ali as dan Imam Husein as Yang Bangkit Melawan Penguasa Zamannya?“
Berbagai riwayat menunjukkan bahwa Imam diserang Ibnu Muljam saat berada di dalam Masjid. Menurut riwayat lainnya, beliau diserang saat membangunkan orang-orang untuk salat subuh. Banyak sumber sejarah mendukung pernyataan pertama, begitu pun riwayat yang menyebutkan bahwa beliau di serang ketika sedang melakukan salat.
Maitsam bin Tammar meriwayatkan bahwa Imam baru saja memulai salat subuh. Tidak lama kemudian, saat beliau sedang membaca sebelas ayat dari Surah Nabi, Ibnu Muljam menyerang dan melukai kepala beliau. Menurut riwayat seorang keturunan Ju’dah bin Hubairah, Imam terluka saat sedang melakukan salat. Orang yang disebutkan tadi, yaitu Ju’dah, adalah putera dari Ummu Hani (saudari Imam) yang sering mengimami salat menggantikan Imam dan diriwayatkan bahwa dia yang melanjutkan salat ketika Imam as terluka akibat serangan Ibnu Muljam. Syekh Thusi juga menguatkan riwayat di atas.
Namun, Muttaqi Hindi melaporkan bahwa Ibnu Muljam menyerang Imam saat Imam kembali sujud. Ibnu Hanbal maupun Ibnu Asakir menguatkan riwayat ini. Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa tidak ada kesepakatan tentang apakah Imam diserang ketika sedang melaksanakan salat atau sebelumnya dan apakah ada yang menggantikan Imam meminpin salat atau Imam sendiri yang mengimami salat sampai selesai. Banyak pendapat menyatakan bahwa Imam meminta Ju’dah menjadi imam untuk melanjutkan salat yang belum selesai.
Baca: “4 Kisah Keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib a.s. (Bagian Pertama)
Sejumlah besar hadis telah diriwayatkan dari jalur Ahlulbait maupun Ahlussunah mengenai perasaan Imam pada malam sebelum terjadinya peristiwa itu. Ibnu Abi Dunya mengutip Imam Baqir a.s. berkata bahwa Imam sangat menyadari syahadah akan menjemputnya. Begitu terluka, Imam langsung berseru,
فُزْتُ وَ رَبِّ الْكَعْبَةِ
“Demi Tuhan Ka’bah, aku sungguh beruntung.”
Ibnu Abi Dunya juga telah meriwayatkan wasiat Imam dari beberapa jalur sanad termasuk wasiat tentang keuangan dan pesan-pesan agama. Pesan paling penting yang diwanti-wanti oleh Imam adalah sebagai berikut:
“Peliharalah hubungan kekerabatan, perhatikanlah fakir miskin dan tetangga, ikutilah tuntunan al-Quran, dirikanlah shalat sebagai tiang agama, Haji, puasa, Jihad, zakat menurut ajaran ahlulbait nabi yang maksum, layanilah hamba-hamba Allah, laksanakanlah yang makruf dan cegahlah kemungkaran. Diriwayatkan, pada tanggal 21 Ramadan menjelang wafatnya, beliau menggumamkan zikir “لا إله إلا الله” (Tidak ada tuhan selain Allah) lalu beliau membaca ayat,
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
Barangsiapa membuat kebajikan seberat zarrah dia akan melihat buah kebajikannya, dan barangsiapa melakukan kejahatan seberat zarrah, dia akan melihat buah kejahatannya. (QS. al-Zalzalah:7-8) dan menghembuskan nafas terakhirnya.
Menurut riwayat lain, setelah syahadah Imam, Imam Hasan as, Imam Husain as, Muhammad bin Hanafiyyah, Abdullah bin Ja’far dan beberapa orang anggota keluarga ahlulbait membawa jenazah Imam keluar dari kota Kufah di malam hari dan menguburkan beliau secara rahasia. Ini dilakukan mengingat kaum Khawarij dan pengikut Umayyah dikhawatirkan akan menggali pusara beliau.
[1] Al-Hakim An-Naisaburi, Al-Mustadrak ‘ala as-Shahihain, j. 3, h. 172
Baca: “Puasa Memanusiakan Manusia“