Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Nilai-nilai Keagamaan

Manusia bukan malaikat. Kesempurnaannya bukan kesempurnaan malaikat. Sebab, malaikat tercipta hanya memiliki akal tanpa syahwat, dan binatang sebaliknya. Sedangkan manusia tercipta memiliki akal dan syahwat. Jadi, manusia adalah makhluk malakuti (alam yang tinggi) dan juga mulki (alam yang rendah). Dua daya inilah yang menjadi sarana dia dalam mencapai dan meningkatkan kesempurnaan.

Kesempurnaan dia capai dengan mewujudkan nilai-nilai yang ditekankan dalam agama. Di antaranya ialah penghambaan kepada al-Ma’bud, dengan “menyepi” dan berduaan dengan-Nya melalui shalat, doa dan munajat, tahajjud dan sebagainya. Semua ini selain merupakan ajaran permanen Islam yang tak mungkin terhapus atau berubah, juga adalah satu nilai di antara nilai-nilai lainnya yang dianjurkan agama.

Dengan hanya mewujudkan satu nilai dan mengabaikan nilai-nilai keagamaan lainnya, karena hanyut dalam ibadah sehingga tak terkontrol, hal ini berarti pelakunya telah terseret pada ifrâth (hal melampaui batas). Bagi dia, Islam hanyalah ibadah dan ibadah. Kehidupan baginya terbatas pada pergi ke masjid, melaksanakan shalat-shalat sunnah, berdoa, berzikir dan baca wirid, baca Alquran dan amalan-amalan yang sunnah lainnya.

Baca: “Ekstremisme dalam Agama

Jika hanya jalan itu yang ditempuh masyarakat dan berlebihan sedemikian itu, mereka telah kehilangan nilai-nilai lainnya dan jatuh ke dalam lembah ifrâth itu. Malaikat bisa sedemikian karena memang hanya nilai itu baginya atau hanya itu jalannya. Tetapi manusia bukanlah malaikat. Di hadapannya terdapat nilai-nilai termasuk ibadah dan lainnya yang berhubungan, yang harus dia capai dan tingkatkan.

Di masa Rasulullah saw, keadaan mereka tak luput dari perhatian beliau. Ketika dikabarkan kepada Rasulullah bahwa sejumlah sahabat telah hanyut dalam peribadatan, beliau datang ke masjid dan berkata: “ما بال اقوام” (“Ada apa dengan sekelompok orang ini?”) Dengan bahasa kita seakan mengatakan, “Mereka sakit apa?”.

Baca: Kemanusiaan Dulu Keyakinan Kemudian

Beliau berkata (yang maknanya kira-kira demikian): “Aku dengar di tengah umatku ada orang-orang sedemikian itu. Aku yang adalah Nabi kalian tidak sampai begitu. Tidak pernah aku melakukan ibadah semalaman penuh hingga subuh. Sebagian waktu darinya aku harus beristirahat, tidur dan mengurus keluarga. Aku tidak berpuasa setiap hari, melainkan beberapa hari dan hari-hari lainnya aku makan dan minum. Yang tidak berlaku demikian keluar dari sunnahku.”

Kesimpulannya bahwa Rasulullah saw bangkit saat melihat satu nilai di antara nilai-nilai Islam melenyapkan semuanya, dan menentang jalan orang-orang yang hanya berpaling pada satu sisi saja dalam agama.

Nilai Lainnya dalam Agama

Diceritakan; ‘Amr bin ‘Ash mempunyai dua anak laki; yang satu bernama Muhammad, dia seperti ayahnya “matre” dan budak dunia. Yang satunya lagi sangat “saleh”. Si ayah kerap berdiskusi dengan dua anaknya ini. Abdullah mengajak ayahnya berpihak kepada Imam Ali as, sedangkan saudaranya mengatakan pada ayahnya, “Berpalinglah pada Muawiyah, karena ayah tidak melihat suatu kebaikan pada diri Ali!”

Suatu hari Rasulullah saw bertemu Abdullah, dan berkata: “Aku dengar tentang kamu kalau malam sampai subuh beribadah dan siangnya berpuasa”

“Benar wahai Rasulullah”, jawabnya.

“Tetapi aku tidak sampai begitu. Aku menolak hal itu, karena tidak benar. Jadi, tinggalkanlah hal itu!”

Hidup zuhud, memang zuhud merupakan kebenaran yang tak dipungkiri, bernilai positif dan membawa banyak manfaat. Tidaklah mungkin masyarakat mendapati kebahagiaan atau menjadi masyarakat Islam sementara nilai (kezuhudan) ini tak ada pada mereka. Akan tetapi sebagian orang didapati, nilai ini menarik diri mereka kepadanya, sehingga semua hal dizuhudi dan tiada hal lain selain kezuhudan bagi mereka.

Baca: “Membedah Makna Zuhud (2)

Di dalam Islam terdapat nilai lainnya yang sudah pasti ditekankan sepenuhnya, yaitu nilai kemanusiaan; melayani hamba-hamba Allah. Rasulullah saw sangat menekan hal ini; saling membantu, menolong dan mengabdi sesama, sebagaimana diterangkan dalam QS: al-Baqarah 177:

لَّيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَ الْمَغْرِبِ وَ لَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ وَ الْمَلآئِكَةِ وَ الْكِتَابِ وَ النَّبِيِّيْنَ وَ آتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَ الْيَتَامَى وَ الْمَسَاكِيْنَ وَ ابْنَ السَّبِيْلِ وَ السَّآئِلِيْنَ وَ فِي الرِّقَابِ

Kebajikan itu bukanlah (hanya) kamu menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat (ketika salat). Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu adalah orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, para malaikat, kitab-kitab, dan para nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya.” [*]

Referensi: Insan Kamil/Syahid Muthahhari

Syahid Murtadha Muthahhari

Baca: “Ahlul Bait Nabi saw., Penjaga Ajaran Islam

 

No comments

LEAVE A COMMENT