Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Dengki: Hasrat Sia-sia dan Merusak

Manusia hidup dalam perjalanan yang penuh tantangan dan penderitaan di dunia yang rapuh. Dalam usaha mereka untuk mengurangi beban jiwa dan tubuh, manusia berjuang mencapai harapan-harapan mereka satu per satu. Harapan ini memberikan makna dalam kehidupan, mengubah pahit menjadi manis. Beberapa orang berharap menjadi kaya dan memiliki harta, sementara yang lain mencari ketenaran dan kedudukan. Tindakan manusia terkait dengan kebutuhan fisiknya dan tingkat keutuhan rohani dan psikologis yang ingin mereka capai.

Namun, kita harus menyadari bahwa harapan hanya akan membawa kebahagiaan jika sejalan dengan kebutuhan rohani, memenuhi kebutuhan mental, mengembangkan pengetahuan, menerangi jalan hidup, dan menyelamatkan kita dari kesulitan dan penderitaan. Naluri-naluri seperti keserakahan dan kesombongan bisa menjadi akar penderitaan dalam kehidupan. Salah satunya adalah rasa iri hati, yang mengalihkan manusia dari jalur yang benar dan membatasi kesadaran mereka untuk mencapai harapan-harapan yang realistis.

Orang yang iri hati tidak bisa melihat kebahagiaan orang lain. Mereka merasa tertekan oleh pandangan pesimis terhadap kebaikan orang lain. Socrates pernah berkata bahwa orang yang iri hati menjalani hidup dengan merusak dirinya sendiri, sedih karena tidak dapat mencapai apa yang orang lain capai. Mereka merasa sedih dan menyesal, sambil merencanakan kejahatan untuk merampas kebahagiaan orang lain.

Baca: Dengki, Sifat yang Sangat Dekat dengan Kekafiran

Dalam analogi yang digunakan oleh seorang penulis terkenal, jiwa kita seperti kota di tengah gurun yang rentan terhadap pencuri kebahagiaan. Bahkan angin lembut pun dapat menghantam jiwa kita dengan gelombang kehancuran, dan musuh-musuh dalam batin kita dapat menguasai dan melarang kita hingga akhir hayat. Ketika seseorang sakit kepala, mereka akan pergi ke dokter untuk menyembuhkannya. Namun, orang yang terkena iri hati tidak akan mencari bantuan untuk menyembuhkannya.

Orang yang iri hati menjadikan keberuntungan orang lain sebagai target mereka. Mereka menggunakan berbagai cara untuk merampas kebahagiaan orang lain. Mereka menjadi budak dari nafsu mereka sendiri tanpa menyadarinya. Orang yang iri hati mencapai tujuan jahat mereka dengan menyebarkan tuduhan dan kebohongan tentang orang yang mereka iri. Jika mereka tidak puas dengan perbuatannya, mereka bahkan dapat mengancam kebebasan atau bahkan mengambil nyawa orang yang mereka iri, semata-mata untuk memuaskan nafsu yang tidak terpuaskan.

Namun, apakah kecenderungan ini sesuai dengan tujuan hidup manusia yang sejati? Apakah itu sesuatu yang alami? Orang yang iri hati tidak hanya tidak pantas mendapatkan gelar manusiawi, tetapi mereka juga lebih rendah dari hewan. Karena mereka tidak peduli terhadap penderitaan orang lain, mereka tidak mampu mewujudkan kemanusiaan yang sejati.

Dengki adalah perasaan yang sangat berbahaya, seperti yang dikatakan oleh Schopenhauer. Oleh karena itu, manusia harus melihat dengki sebagai musuh utama dan berjuang untuk menghilangkannya dari jalan menuju kebahagiaan. Ketika dengki menyebar dalam masyarakat, berbagai fenomena negatif muncul, seperti pertikaian dan kerusakan. Masyarakat yang penuh dengan dengki kehilangan semangat kerja sama, kegembiraan, dan kepercayaan antara anggota masyarakat, yang pada akhirnya mengarah pada kehancuran.

Banyak kejahatan yang terjadi saat ini bermula dari dengki. Penting untuk memahami dampak negatif dengki dalam kehidupan individu maupun dalam masyarakat secara keseluruhan. Menghilangkan dengki dan membangun rasa saling menghormati dan kerja sama adalah langkah yang penting dalam menciptakan kehidupan yang lebih baik dan harmonis.

Agama versus Dengki

Walaupun merupakan watak manusia untuk mencintai dan mencari kemaslahatan bagi dirinya sendiri, Allah Yang Mahakuasa telah berfirman dalam Al-Qur’an agar ia menyesuaikan diri dengan hukum, logika akal, serta kesejahteraan masyarakat ketika berusaha memenuhi tuntutan watak tersebut.

Karena itu, ketika Allah mengaruniai seseorang dengan suatu kebajikan, tak ada seorang pun yang patut merampas atau merenggutnya demi memenuhi nafsu dengkinya atau untuk mengambil keuntungannya. Sebaliknya, manusia diharapkan mengikuti jalan yang patut dan yang mampu membawa ke harapan-harapannya dalam hidup ini. Allah Yang Mahakuasa berfirman: “Dan janganlah kamu iri hati karena apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak daripada sebagian yang lain. [Karena] bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita [pun] ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. 4:32)

Baca: Imam Khomeini: Memelihara Ibadah dari Gangguan Setan

Jadi, kita harus berusaha sedapat-dapatnya dan memohon kepada Allah untuk mengaruniai kita dengan perbendaharaan abadi-Nya, untuk memudahkan urusan kita, dan untuk menuntun kita kepada tujuan dan harapan-harapan kita. Sekiranya orang yang dengki, yang membiarkan pikiran dan perasaannya melanggar batas, mengarahkan pikirannya kepada tujuan yang benar, maka sinar kebahagiaan pasti akan menerangi jalannya.

Banyak hadis dari para imam memperingatkan kita tentang perangai dengki yang menyesalkan, dan menyeru kita melindungi diri dari akibat-akibatnya yang parah. Hadis dari Imam Jakfar Shadiq as. berikut ini rasanya cukup bagi kita sekarang. “Dengki berasal dari kebutaan hati dan penolakan rahmat Allah Swt, yang merupakan dua cincin kekafiran. Karena dengkilah maka putra Adam menjadi mangsa kesedihan dan kutukan abadi tanpa terselamatkan.”

Salah satu unsur yang menimbulkan dengki adalah pendidikan yang buruk di rumah. Apabila orang-tua lebih mencintai salah satu anak dan melimpahinya dengan cinta dan kasih sayang yang khusus, tanpa memberikan hal yang sama kepada yang lainnya, anak yang terbiar akan membangun perasaan terhina dan memberontak. Jenis dengki yang menimpa kebanyakan orang umumnya berasal dari rumah, dan menyebabkan kesedihan dan malapetaka bagi sebagian besar masyarakat. Akibat semacam itu juga merupakan hal yang wajar bilamana pemerintahan dibangun di atas basis ketidakadilan, penindasan, rasisme, sektarianisme, dan sebagainya. Para anggota masyarakatnya akan dilanda perpecahan, api kebencian dan dengki akan berkobar di hati mereka.

Nabi Saw melarang kaum Muslim menyimpang dari keadilan di antara anak-anaknya, untuk mencegah agar dosa dengki dan dosa-dosa lain tidak mencemari kehidupan mereka. Beliau berkata, “Perlakukanlah anak-anakmu secara adil.” (Nahj al-Fashahah, hal. 366)

Imam Ali menunjukkan kerugian jasmani yang disebabkan oleh dengki ketika ia mengatakan, “Saya heran akan kejahilan orang-orang dengki tentang kesehatan tubuh mereka.” (Ghurar al-Hikam, hal. 494)

Menurut seorang psikolog, dengki yang parah adalah salah satu kepedihan psikologis yang menciptakan banyak penyakit, kesalahan yang tak mungkin diperbaiki, penindasan, dan ketidakadilan terhadap jiwa. Hendaklah diketahui bahwa banyak perbuatan orang dengki tidak dilakukan menurut kemauannya melainkan atas perintah kejahatan dengki itu sendiri.

Kita tak boleh membiarkan harapan-harapan dan hawa nafsu rendah mengubah manisnya kehidupan menjadi pahit, mendirikan tembok yang tak nampak yang menghalangi tujuan­tujuan mulia dan harapan untuk mencapai perangai tertinggi dan paling luhur. Perangai-perangai semacam itulah yang mampu menuntun pikiran kita ke jalan yang benar, dan pada akhirnya akan mengantarkan manusia ke tujuannya yang mulia.

Imam Ali berkata: “Berlomba-lombalah dalam perangai­perangai yang diinginkan, harapan-harapan besar, dan gagasan-gagasan luhur, maka pahala Anda akan menjadi lebih besar.” (Ghurar al-Hikam, hal. 355)

Menyadari kenyataan itu membantu pikiran, kemauan dan kecenderungan kita. Tirai hawa nafsu membutakan pikiran kita dan menciptakan gangguan padanya. Jadi, adalah kewajiban manusia untuk menjaga cermin fakta-fakta dan realitasnya. Ia pun harus menghapus dari jiwanya belenggu kebencian yang menekan jiwanya, sehingga jiwa terbebas dari kepedihan dan penyakitnya. Kemudian ia harus mengisi jiwanya dengan niat baik terhadap orang lain sesuai dengan tatanan kemanusiaan.

*Disarikan dari buku Menumpas Penyakit Hati – Ayatullah Mujtaba Musawi Lari

No comments

LEAVE A COMMENT