Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Pendahuluan Taubat (3/4)

pendahuluan-taubat

  1. Mengetahui Keburukan dan Bahaya Maksiat.

Faktor kedua bagi keterjagaan dan kesadaran untuk kembali kepada fitrah ialah mengetahui besarnya keburukan dan bahaya perbuatan maksiat. Sedangkan untuk mendapatkan pengetahuan ini sendiri, ada yang menyebutkan tiga faktor; takzim kepada Allah SWT, pengendalian hawa nafsu, dan percaya kepada ancamanNya.

2.a. Takzim Kepada Allah

Takzim atau kesadaran untuk senantiasa menganggungkan Allah SWT meniscayakan kesadaran akan dahsyatnya keburukan maksiat, sebab kedahsyatan ini relevan dengan kemaha agungan Allah SWT sebagai pihak yang didurhaka.

Tentang ini Imam Jakfar al-Shadiq as meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda;

من عرف الله وعظّمه منع فاه من الكلام وبطنه من الطعام وعفى نفسه بالصيام والقيام.

 “Siapa mengenal Allah dan mengagungkanNya maka dia akan mencegah mulutnya dari perkataan (yang tidak patut), dan perutnya dari makanan (yakni, berpuasa, atau tidak makan sampai terlalu kenyang), serta mencari kebaikan untuk jiwanya dengan berpuasa dan mendiri shalat.”

Orang-orang berkata, “Demi ayah dan ibu kami, wahai Rasulullah, mereka itu adalah para wali Allah.”

Beliau bersabda;

إنّ أولياء الله سكتوا فكان سكوتهم ذكراً، ونظروا فكان نظرهم عبرة، ونطقوا فكان نطقهم حكمة، ومشوا فكان مشيهم بين الناس بركة. لولا الآجال التي قد كتب الله عليهم لم تقرّ أرواحهم في أجسادهم خوفاً من العقاب وشوقاً إلى الثواب.

“Sesungguhnya para wali Allah itu diam, dan diam mereka ada zikir. Mereka memandang, tapi pandangan mereka adalah ibrah (pelajaran), mereka berkata-kata, tapi perkataan mereka adalah hikmah, dan mereka berjalan tapi perjalanan mereka di tengah masyarakat adalah berkah. Seandainya ajal tidak ditetapkan Allah pada mereka niscaya ruh mereka tidak akan betah berada dalam raga mereka karena takut kepada saksaan dan rindu kepada pahala.”[1]

Sebuah kalimat dalam Doa Abu Hamzah al-Tsumali juga mengingatkan orang yang bermaksiat supaya menyadari besarnya keburukan maksiat;

أنا الذي عَصَيْتُ جبّار السماء.

“Akulah yang telah durhaka kepada Sang Penguasa langit.”[2]

Adapun mengenal diri, seandainya manusia menyadari kepapaan dan ketidak berdayaan dirinya sehingga sepenuhnya membutuhkan inayah dan pertolongan Allah SWT niscaya dia akan lebih dan semakin menyadari besarnya keburukan maksiat dan durhaka kepadaNya dan pada gilirannya akan semakin cenderung kepada taubat.

2.b. Pengendalian Hawa Nafsu

Mengenai pengendalian hawa nafsu terdapat suatu riwayat menarik dari Rasulullah saw sebagai berikut;

Suatu hari seorang pria bernama Majasyi’ datang kepada Rasulullah saw lalu berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana jalan untuk mengetahui al-Haq SWT? Beliau bersabda; “Mengetahui hawa nafsu.” Majasyi’ bertanya lagi, “Lantas bagaimana jalan agar diterima oleh al-Haq SWT?” Beliau menjawab, “Menolak hawa nafsu.” Pria itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana jalan untuk mendapatkan keridhaan al-Haq SWT? Beliau menjawab, “Kemurkaan terhadap hawa nafsu.”

Dia bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana jalan untuk terhubung dengan al-Haq SWT? Beliau menjawab, “Meninggalkan hawa nafsu.” Dia bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana jalan menuju kepatuhan kepada al-Haqq?” Beliau menjawab, “Perlawanan terhadap hawa nafsu.”

Dia bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana jalan untuk mengingat al-Haq?” Beliau menjawab, “Melupakan hawa nafsu.” Dia bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana jalan untuk mendekati al-Haq?” Beliau menjawab, “Menjauh dari hawa nafsu.” Dia bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana jalan untuk tentram di sisi al-Haq?” Beliau menjawab, “Takut kepada hawa nafsu.” Dia bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana jalan menuju semua itu?” Beliau menjawab;

الاستعانة بالحقّ على النفس.

 “Memohon pertolongan kepada al-Haqq dalam perlawanan terhadap hawa nafsu.”[3]

Sabda Nabi saw mengenai keharusan mememohon pertolongan kepada Allah yang tertera di bagian akhir riwayat ini sejalan dengan firman Allah SWT;

وَلَوْلاَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَى مِنكُم مِّنْ أَحَد أَبَداً ..

Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya (QS. al-Nur [24]: 21).”

(Bersambung)

 

[1] Bihar al-Anwar, jilid 69, hal. 288 – 289.

[2] Mafatih al-Jinan, Doa Abu Hamzah al-Thumali.

[3] Bihar al-Anwar, jilid 70, hal. 72.

Post Tags
Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT