Masih mengenai firman Allah “dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri..,.” ada pula yang menyebutkan bahwa ayat suci Al-Quran dalam surat Al-Hasyr [59]: 25 ini turun berkenaan dengan tujuh orang yang tercekik dahaga pada Perang Uhud. Saat itu tersedia air yang cukup hanya untuk salah seorang di antara mereka. Salah satunya menyilakan rekan-rekannya untuk meneguk tapi tak seorangpun mau menegaknya sehingga mereka semua mati kehausan. Allah SWT lantas memuji mereka dengan firman tersebut.[1]
Ada pula yang menyebutkan bahwa salah seorang sahabat mendapat hadiah berupa kepala hewan panggang karena dia telah bersusah payah untuk mendapatkannya. Tapi ternyata dia berkeliling menyilakan para tetangganya untuk ikut menikmatinya terlebih dahulu. Sebanyak sembilan orang ikut menikmatinya sehingga dia hanya mendapatkan sisanya, lalu turunlah ayat tersebut.[2]
Namun demikian, tafsiran pertama yang disebutkan di bagian pertama artikel inilah yang relevan dengan konteks ayat, sedangkan tafsiran-tafsiran lain bisa jadi sekedar penerapan atau pengulangan dalam tanzil.
Dalam riwayat dari Abu Hurairah disebutkan bahwa suatu hari seorang pria datang kepada Rasulullah SAW dan mengadu kepada beliau bahwa dia kelaparan. Beliau lantas menyuruhnya mendatangi rumah isteri-isterinya, namun mereka mengatakan tidak memiliki apapun kecuali air. Beliau lantas bertanya, “Siapa yang dapat membantu orang itu malam ini?” Imam Ali bin Abi Thalib as menjawab, “Saya akan membantunya, wahai Rasulullah.”
Imam Ali as lantas mendatangi isterinya, Fatimah Al-Zahra as, dan bertanya, “Apa yang kamu miliki, wahai putri Rasulullah?” Fatimah as menjawab, “Tidak ada apa-apa kecuali makanan jatah satu anak kecil, tapi biarlah kita korbankan demi tamu kita.” Imam Ali as berkata, “Wahai puteri Muhammad, tidurkanlah anak itu, matikanlah pelita supaya tamu itu mengira tuan rumah sudah makan.”
Dini hari kemudian Imam Ali as mendatangi Rasulullah saw dan memberitahu beliau ihwal kejadian itu, lalu turunlah ayat tersebut.[3]
Diriwayatkan dari Imam Jakfar Al-Shadiq as bahwa suatu hari Fatimah al-Zahra as berkata kepada suaminya, Imam Ali as, “Pergilah kepada ayahku dan mintalah sesuatu darinya.” Imam menjawab “ya” kemudian pergi mendatangi Rasulullah SAW, dan beliaupun memberinya uang 1 dinar. Namun, ketika keluar dari rumah Nabi SAW, Imam berjumpa dengan Miqdad bin Al-Aswad. Keduanya berdiri lama dan imam mendengar pengaduan Miqdad ihwal kesulitan yang dialaminya sehingga membutuhkan bantuan.
Imam lantas memberikan uang 1 dinar itu kepada Miqdad. Setelah itu Imam pergi ke masjid dan tertidur di dalamnya. Nabi SAW menunggu Imam tapi tak kunjung datang sehingga beliau mencari dan menemukannya dalam keadaan tertidur di masjid. Beliau membangunkannya hingga Imam duduk. Nabi SAW bertanya, “Apa yang kamu perbuat, wahai Ali?” Imam menjawab, “Wahai Rasulullah, Setelah keluar dari rumahmu aku ditemui Miqdad bin Al-Aswad lalu dia bercerita kepadaku panjang lebar, masya Allah, sehingga aku memberinya uang dinar itu.”
Nabi SAW bersabda;
أمّا إنَّ جبرئيل فقد أنبأني بذلك، وقد أنزل الله كتاباً فيك : ﴿… وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ﴾.
“Jibril telah memberitahuku tentang ini, dan Allah telah menurunkan suatu ayat berkenaan denganmu; ‘…dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.’”[4]
Selanjutnya adalah penjelasan mengenai ayat kedua yang disebutkan di bagian pertama artikel ini, yaitu;
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ…
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai…” [5]
Kebajikan yang dimaksud bisa jadi adalah “perbuatan baik” sehingga berarti bahwa manusia tidak bisa mencapai perbuatan baik sampai dia menafkahkan sebagian harta yang disukainya. Bisa juga berarti “pahala kebajikan” sehingga berarti bahwa manusia tidak akan bisa meraih besarnya pahala kebajikan sebelum dia menafkahkan sebagian dari apa yang disukainya. Tafsiran pertama tampaknya lebih relevan.
Ayat ini membuat pengecualian sedemikian rupa, yakni bahwa manusia tidak bisa berbuat kebajikan kecuali jika bersedia memberikan kepada orang lain sebagian harta yang dicintainya, karena nilai perbuatan ditimbang dari kadar pengorbanannya, sedangkan pengorbanan adalah menginfakkan apa yang disukainya, bukan apa yang tidak disukainya.
(Bersambung)
[1] Ibid.
[2] Ibid.
[3] Tafsir Al-Burhan, jilid 4, hal. 317.
[4] Ibid, hal. 317 – 318.
[5] QS. Ali Imran [3]: 92.