Diriwayatkan dari Abu Thufail bahwa suatu hari Imam Ali as membeli pakaian yang membuatnya terkagum tapi kemudian malah mendermakannya kepada orang lain dan berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda;
: مَنْ آثر على نفسه آثره الله يوم القيامة بالجنَّة، ومَنْ أحبّ شيئاً فجعله لله قال الله تعالى يوم القيامة : قد كان العباد يكافؤون فيما بينهم بالمعروف، وأنا أُكافيك اليوم بالجنّة.
“Barangsiapa mengutamakan orang lain atas dirinya maka Allah akan mengutamakannya dengan surga pada hari kiamat, dan barangsiapa menyukai sesuatu kemudian menjadikannya untuk (jalan) Allah maka Allah pada hari kiamat berfirman; ‘Sungguh hamba-hambaKu telah saling berbagi kebajikan satu sama lain, dan hari ini Aku akan membagikan surga kepadamu.”[1]
Selanjutnya adalah penjelasan mengenai ayat ketiga di bagian pertama artikel ini, yaitu;
يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْماً كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيراً * وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِيناً وَيَتِيماً وَأَسِيراً …
“Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. ….”[2]
Ayat-ayat ini menggabungkan tiga kebajikan sekaligus , yaitu bernazar, memberi makanan kepada orang miskin dan anak yatim, dan memberi makanan kepada tawanan. Tiga kebajikan ini tidak mungkin berkenaan dengan ihwal seseorang dalam satu peristiwa kecuali karena kebetulan, dan ayat ini tampak membicarakan mengenai suatu kejadian nyata dan langka yang kemudian menjadi pelajaran penting bagi umat mengenai hakikat pengorbanan. Dalam literatur sejarah Syiah dan Ahlussunnah tidak ada riwayat yang mengisahkan terjadinya tiga kebajikan itu dalam satu peristiwa kecuali sebuah kisah terkenal mengenai Ahlul Bait as sehingga tampak ayat-ayat itu berkenaan dengan peristiwa itu.
Karena itu, tidaklah benar anggapan bahwa ayat-ayat itu turun berkenaan dengan seorang pria berkulit hitam yang datang kepada Nabi SAW dan bertanya mengenai tasbih dan tahlil, dan kemudian Umar berkata kepada pria itu, “Kamu terlalu banyak bertanya kepada Rasulullah”, lalu turunlah ayat-ayat itu.
Tidak benar pula anggapan bahwa ayat-ayat itu berkenaan dengan kisah seorang pria Habasyah yang bertanya sesuatu kepada Nabi SAW. Kisah itu menyebutkan bahwa pria tersebut berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, engkau lebih baik daripada kami dari segi warna kulit, tampilan, dan kenabian. Jika aku beriman kepada apa yang engkau imani dan mengamalkan apa yang engkau amalkan, apakah aku akan bersamamu di surga?” Beliau menjawab, “Ya. Demi Zat Yang jiwaku ada dalam genggamanNya, sesungguhnya putihnya hitam akan menampak dalam surga dari perjalanan seribu tahun.” Beliau lantas menyebutkan pahala besar bagi orang yang mengucapkan kalimat “lailaha illa allah wa subhan Allah wa bihamdihi”, kemudian turunlah ayat-ayat itu.[3]
Jelas sekali betapa dua kisah yang disebut-sebut sebagai sebab turunnya ayat-ayat itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan tiga kebajikan berupa nazar serta memberi makanan kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan.
Kemudian, surat atau setidak ayat-ayat tersebut menurut konsensus mufassir Syiah dan apa yang masyhur di kalangan Ahlussunnah adalah ayat-ayat Madaniyah. Hanya sebagian orang yang fanatik buta saja yang menganggapnya Makkiyah agar mereka dapat membantah pendapat yang mengatakan bahwa ayat-ayat itu turun berkenaan dengan Ahlul Bait, sebab jika berkenaan dengan Ahlul Bait maka ayat-ayat ini turun setelah kelahiran Imam Hasan as dan Imam Husain as sehingga masuk dalam kategori Madaniyyah. Padahal, di Mekkah jelas tidak ada tawanan perang. Disebutnya tawanan perang dalam ayat-ayat itu menunjukkan bahwa ayat-ayat itu Madaniyah.[4]
Tawanan perang disebutkan bisa jadi untuk menunjukkan besarnya keutamaan pengorbanan sehingga bahkan juga bernilai jika dilakukan untuk seorang kafir sekalipun selagi berprinsipkan norma kemanusiaan.
Satu poin lagi yang sangat menarik dan layak dicamkan dalam ayat-ayat ini ialah bahwa ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang kenikmatan surga umumnya selalu menyebutkan bidadari. Namun ayat-ayat yang kita bahas ini tidak menyebutkan bidadari meskipun memaparkan kenikmatan surga sehingga seolah sebabnya adalah karena ayat-ayat ini berkenaan dengan kedudukan Fatimah Al-Zahra as serta suami dan kedua puteranya sehingga bidadari sengaja tidak disebutkan demi menunjukkan keagungan Al-Zahra as.
Beberapa riwayat[5] menyebutkan bahwa pelayan mereka, Fiddah, masuk dalam kisah kejadian yang disinggung dalam ayat-ayat suci itu. Karena itu Syekh Javadi Amuli menyebutkan bahwa ayat-ayat ini mengungkap suatu kedudukan yang bahkan juga sesuai untuk orang yang kedudukannya rendah di antara mereka. Karena itu, kedudukan yang disebutkan dalam ayat-ayat itu adalah berkenaan dengan pelayan Ahlul Bait, sedangkan kedudukan mereka berada di atasnya.
Para ulama Syiah sepakat bahwa ayat-ayat ini berkenaan dengan Ahlul Bait, sedangkan para ulama Ahlussunnah sebagian besar juga berpendapat demikian, sehingga Imam Syafi’i bersyair;
إلىمَ إلىمَ وحتى متى *** أُعاتب في حبِّ هذا الفتى
وهل زوِّجت فاطم غيره *** وفي غيره هل أتى هل أتى
“Sampai kapan dan sampai kapan aku dicela karena mencintai ksatria ini. Apakah Fatimah menikah dengan selainnya? Dan apa datang kepada selainnya?”[6]
(Bersambung)
[1] Majma’ Al-Bayan, jilid 2, hal. 342.
[2] QS. Al-Insan [76]: 7 – 10.
[3] Dua kisah itu dikutip dalam Tafsir Namuneh, jilid 25, hal. 345 – 346 dari Al-Durr Al-Mantsur, jilid 6, hal. 297.
[4] Lihat Tafsir Namuneh, jilid 25, hal. 328 – 320, dan hal. 345 – 348.
[5] Lihat Bihar Al-Anwar, jilid 35, hal. 237 – 240.
[6] Tafsir Namuneh, jilid 25, hal. 330.