Sebagaimana diketahui, Imam Ali bin Abi Thalib sejak kecil hidup dan dibesarkan dalam asuhan Rasulullah Saw. Sedangkan kakaknya yang bernama Jakfar bin Abi Thalib sepuluh tahun lebih besar dari adiknya diasuh dan dibesarkan oleh pamannya yang bernama Abbas bin Abdul Muthalib. Hingga saat Muhammad Saw diangkat sebagai Nabi dan Rasul, Imam Ali tetap hidup di bawah asuhan beliau, beriman kepada beliau dan dengan patuh mengikuti ajaran-ajarannya.
Sebelum Allah Swt menetapkan kewajiban salat pada malam Isra. tiap saat Rasulullah Saw hendak beribadah menghadapkan diri kepada Allah, beliau selalu pergi ke suatu tempat di Makkah yang terkenal dengan nama Syi’ib. Imam Ali bin Abi Thalib selalu menyertai beliau dan turut beribadah bersama beliau. Bila hari telah mulai petang, keduanya pulang ke rumah.
Pada suatu hari Abu Thalib melihat kedua-duanya sedang beribadah. Dengan rasa keheran-heranan ia bertanya kepada Rasulullah Saw: “Anakku, agama apakah yang kau peluk itu?” Rasulullah Saw. menyahut: “Paman, aku memeluk agama Allah, agama yang dipeluk oleh para malaikat dan yang dibawakan oleh para Nabi dan Rasul, yaitu agama sesepuh kami, Nabi Ibrahim. Allah telah mengangkatku sebagai Nabi dan Rasul untuk menyampaikan agama-Nya kepada umat manusia; dan engkau, paman, adalah orang yang paling berhak menerima ajakanku menuju jalan hidayat, dan paman jagalah orang yang paling berhak menolongku.”
Baca: Imam Ali a.s. Seorang Perkasa yang Penuh Welas Asih
Menanggapi jawaban Rasulullah Saw itu Abu Thalib dengan semangat bersumpah akan melindungi beliau selama hidup, dan dalam keadaan bagaimanapun ia tidak akan membiarkan beliau diganggu orang. Pada kesempatan yang lain Abu Thalib bertanya kepada putranya, Ali: “Agama apakah sesungguhnya yang kau peluk itu?” Putranya menjawab: “Ayah, aku telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku membenarkan agama yang dibawa oleh Rasul-Nya, aku bersembah sujud kepada Allah bersama beliau dan kuikuti yang beliau ajarkan kepadaku.”
Mendengar jawaban putranya demikian itu Abu Thalib berkata: “Ia pasti mengajakmu ke arah kebajikan, karena itu teruskanlah.”
Pada kesempatan yang lain lagi Abu Thalib mengajak putranya yang bernama Jakfar datang ke rumah Rasulullah Saw. Ketika itu beliau sedang beribadah bersama Ali yang mengambil tempat di sebelah kanan beliau. Melihat hal itu Abu Thalib segera berkata kepada Jakfar: “Ayolah, itu beribadah bersama saudara misanmu.” Jakfar lalu mengambil tempat di sebelah kiri Rasulullah Saw dan turut beribadah bersama beliau.
Imam Ali a.s. adalah orang pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Muhammad Saw diangkat sebagai Nabi dan Rasul pada hari Senin, dan keesokan harinya Imam Ali memeluk Islam. Menyusul kemudian Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah Saw. Sementara ahli riwayat mengatakan bahwa Khadijah yang memeluk Islam lebih dulu sebelum Imam Ali.
Golongan yang mengatakan Imam Ali memeluk Islam sebelum Sayidah Khadijah berpegang pada khutbah Imam Ali sendiri, yang antara lain mengatakan: “Demi Allah, akulah orang pertama yang mendengar dan menerima kebenaran Allah, tidak ada yang mendahului aku selain Rasulullah Saw.” Mengingat keadaan Rasulullah Saw sehari-hari yang demikian erat hubungannya dengan Imam Ali, maka apa yang dikatakan olehnya itu adalah wajar, sekalipun Khadijah sendiri adalah istri Rasulullah Saw. Yang tidak dapat diragukan lagi ialah, jarak waktu antara keislaman Imam Ali dan keislaman Khadijah dekat sekali dan hampir bersamaan. Karenanya dapat dipastikan Imam Ali adalah pria pertama yang memeluk Islam dan Khadijah wanita pertama yang memeluk Islam. Selama Rasulullah berkhalwat di Gua Hira, kalau pembantu rumah tangga Khadijah tidak sempat mengantarkan makanan dan minuman kepada beliau, Imam Ali-lah yang mengantarkannya ke Gua Hira.
Usia Imam Ali ketika Memeluk Islam
Dengan sanad berasal dari Muhammad Ibnu Ishaq, Al-Hakim mengatakan di dalam Al-Mustadrak bahwa Imam Ali memeluk Islam dalam usia 10 tahun. Hal itu sejalan dengan pihak yang mengatakan bahwa Imam Ali dilahirkan pada waktu Muhammad masih berusia 30 tahun, yakni 10 tahun sebelum bi’tsah (sebelum Nabi Muhammad Saw diangkat Allah Swt sebagai Nabi dan Rasul). Muhammad Saw diangkat sebagai Nabi dan Rasul dalam usia 40 tahun. Hitungan tahun itu cocok dengan pihak yang mengatakan bahwa beliau hidup mencapai usia 63 tahun.
Imam Ali wafat pada tahun ke-40 H, sedangkan Rasulullah wafat pada tahun ke-10 atau ke-11 H. Dengan demikian, maka Imam Ali sepeninggal Rasulullah Saw. masih hidup selama 30 tahun. Jika ditambah dengan 23 tahun (sejak bi’tsah hingga Rasulullah Saw wafat di Madinah) maka jumlah itu menjadi 53 tahun, dan jika ditambah lagi dengan 10 tahun sebelum bi’tsah, maka usia Imam ‘Ali adalah 63 tahun.
Penulis buku Al-Mufid fi-Irsyad mengatakan, ketika Rasulullah Saw wafat, Imam Ali berusia 33 tahun. Jadi kalau sepeninggal Rasulullah, Imam Ali masih hidup selama 30 tahun, berarti ia wafat dalam usia 63 tahun. Karena masa kenabian dan kerasulan Muhammad Saw itu 23 tahun, yakni 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah, maka jika ketika Rasulullah Saw wafat Imam Ali berusia 33 tahun, itu berarti imam Ali memeluk Islam pada usia 10 tahun.
Selalu Menyertai Rasulullah Saw
Imam Ali selalu mendampingi Rasulullah Saw, mengawal dan membela beliau selama 23 tahun, yaitu sejak bi’tsah hingga beliau wafat di Madinah. Tidak sedikit duka derita dan beban berat yang dipikul Imam Ali selama 13 tahun mendampingi Rasulullah di Makkah. Sesudah hijrah ke Madinah, selama 10 tahun Imam Ali terus menerus berjuang membela keselamatan beliau dari permusuhan dan perlawanan kaum musyrikin, kaum kafir dan kaum Yahudi. Tidak sedikit jumlah gembong musyrikin yang tewas di tangan Imam Ali dalam berbagai peperangan membela kebenaran Allah dan Rasul-Nya, padahal ketika itu ia masih seorang pemuda berusia antara 20 hingga 25 tahun.
Kenyataan itu disaksikan oleh Rasulullah sendiri dan disaksikan juga oleh semua sahabat beliau. Bahkan tidak ada seorang pun dari musuh-musuh Islam yang dapat mengingkari kenyataan itu. Pada waktu Rasulullah bersama semua orang Bani Hasyim diboikot dan dikepung oleh kaum musyrik Quraisy di dalam Syi’ib (dataran sempit di antara bukit-bukit), Imam Ali menunjukkan pembelaan yang luar biasa, sekalipun ketika itu ia masih remaja.
Mengapa Abu Thalib tidak menyuruh dua orang saudara Imam Ali, yaitu Aqil dan Jakfar, memainkan peranan lebih besar daripada yang dimainkan Imam Ali? Jawabnya tidak sulit, yaitu karena Imam Ali lebih mantap tekadnya, lebih berani dan lebih besar kesediaannya berkorban dalam membela orang yang paling dicintai dan disayanginya, yaitu Muhammad Rasulullah Saw. Benar, bahwa Jakfar bin Abi Thalib seorang pemuda yang memiliki sifat-sifat utama, tetapi tidak setinggi keutamaan sifat-sifat yang ada pada Imam Ali a.s.
Sejak usia kanak-kanak Imam Ali membela Rasulullah Saw. Sebagaimana diketahui, kaum musyrik Quraisy tidak ada yang berani mengganggu beliau berkat perlindungan yang diberikan Abi Thalib. Mereka membujuk dan mengerahkan anak-anak kecil untuk melempari beliau dengan batu dan pasir pada saat-saat beliau keluar dari rumah. Abu Thalib sudah tentu tidak mungkin melawan anak-anak dalam usahanya melindungi Rasulullah Saw. Gangguan anak-anak yang selalu beliau alami itu beliau ceritakan kepada saudara misannya yang masih kecil, sebaya dengan anak-anak yang sering mengganggu beliau di jalanan.
Baca: Keteraniayaan yang Dialami Imam Ali a.s.
Pada usia kanak-kanak Imam Ali tidak hanya membela Rasulullah saja, bahkan lebih dari itu, ia bersedia mengorbankan jiwa demi keselamatan beliau Saw. Ibnu Abil Hadid mengatakan: “Aku membaca sebuah uraian di dalam kitab Amali yang ditulis oleh Abu Jakfar Muhammad bin Habib, bahwa yang sangat dikhawatirkan oleh Abu Thalib ialah kemungkinan terjadinya serangan di malam hari yang dilakukan oleh orang-orang yang bermaksud jahat terhadap Rasulullah, jika mereka mengetahui letak tempat tidur beliau. Karena itu Abu Thalib sering membangunkan beliau di tengah malam untuk berpindah tempat, sedangkan Ali disuruh pindah ke tempat tidur beliau.”
Pada suatu malam Imam Ali pernah berkata kepada ayahnya, “Ayah, aku bakal mati terbunuh!” Abu Thalib menjawab, “Tabahlah, engkau kuhadapkan kepada bahaya demi keselamatan orang yang kita cintai bersama!”
*Disarikan dari buku Imamul Muhtadin Ali bin Abi Thalib – Hamid al-Husaini