Imam Musa bin Jafar a.s. atau dikenal dengan Imam Kazhim adalah salah satu mata rantai kenabian, pewaris ilmu-ilmu Ahlulbait pada zamannya. Beliau adalah murid ayahnya, Imam Jafar Shadiq a.s, Sang Maha Guru Syariat Islam dan imam para ulama. Imam Shadiq bukanlah orang yang asing bagi siapa pun di kalangan ulama, fuqaha, para ahli hadis, dan cendekiawan ilmu-ilmu keislaman. Semuanya mengakui kebesaran beliau. Beliau telah mewasiatkan imamahnya kepada Musa Kazhim a.s. putranya melalui berbagai nash, di antaranya yang dikemukakan melalui riwayat Ali bin Jafar, saudara kandung lmam Musa, yang juga merupakan salah seorang perawi yang terpercaya.
Ali bin Jafar mengatakan, “Saya mendengar Abu Jafar bin Muhammad a.s. mengatakan kepada kelompok khusus dari para sahabatnya, ‘Mintalah nasihat kepada puteraku, Musa tentang yang baik-baik. Sebab, dia adalah anakku yang paling utama, yang kepadanya aku menyerahkan imamah sesudahku kelak. Dialah yang menggantikan kedudukanku, dan menjadi hujjah bagi Allah Swt terhadap seluruh makhluk-Nya sesudahku.’” [AI-Thabari, Dakha’ir AI-‘Uqba, hal. 259]
Baca: Imam Musa Kazhim tentang Evaluasi Diri
ltulah kesaksian yang diberikan oleh Imam Jafar bin Muhammad a.s. tentang putranya Imam Musa bin Jafar a.s. Atas dasar itu, maka Imam Musa memikul amanat keilmuan sesudah ayahnya sekaligus memangku tugas imamah dan memelihara syariat. Imam Musa betul-betul telah menunaikan amanat keilmuan dan penyebarluasannya, mendidik generasi penerus yang terdiri dari para ulama, para perawi, dan ahli-ahli hadis..
Tiga puluh lima tahun masa imamah Imam Musa adalah masa-masa yang semarak dengan muncul dan berkembangnya aliran-aliran, mazhab-mazhab filsafat teologi, ijtihad dalam bidang fiqih, dan pusat-pusat tafsir serta hadis. Babakan sejarah ini merupakan babakan paling penting dalam sejarah kaum Muslimin. Pada masa ini tumbuh pengingkaran dan ke-zindiq-an, gerakan ghulat (ekstrem), aliran-aliran dalam ilmu kalam (teologi Islam) dengan berbagai pemikiran dan pendapat-pendapatnya, dan mazhab-mazhab fiqih. Juga merasuk pula ilmu-ilmu yang berkaitan dengan teknik pengambilan hukum Islam, semisal manthiq (logika formal), filsafat, kalam, linguistik, sebagaimana halnya dengan qiyas, istihsan, dan praktik-praktik yang disandarkan pada kesimpulan akal.
Periode ini diisi oleh berbagai hukum fiqih yang dilakukan oleh para fuqaha dan hakim-hakim agama, hadis-hadis palsu berkembang luas, dan riwayat-riwayat dusta diproduk secara besar-besaran. Sungguh periode ini merupakan periode yang paling kritis yang mengancam eksistensi Islam dalam bidang syariat dan akidah. Kendati kondisi politik saat itu amat berat dan Imam Musa selalu mendapat tekanan dari para penguasa, namun beliau tidak pernah meninggalkan tanggung jawab keilmuannya, dan tidak pernah berdiam diri untuk meluruskan perjalanan sejarah Islam dengan mengisikan ilmu-ilmu dan orientasi keislaman. Akibatnya, beliau bersama murid-muridnya harus menghadapi gelombang pengingkaran dan ke-zindiq-an sebagaimana yang dulu dialami oleh ayahnya, Imam Jafar Shadiq dalam usahanya mengokohkan sendi-sendi ketauhidan untuk kemudian mereka tanamkan di kalbu dan akal kaum Muslimin.
Hal itu dibuktikan oleh kitab-kitab fiqih yang selalu memuat hadis-hadis, riwayat-riwayat, dan penafsiran-penafsiran beliau terhadap Al-Quran. Dengan metode seperti itulah Imam Musa Kazhim mengokohkan sendi-sendi Islam dan·memperdalam prinsip-prinsip tafsir yang islami, sekaligus membersihkan metode fiqih dan pengambilan hukum dari metode-metode yang keliru. Dengan itu semua, terpeliharakan ajaran Ahlulbait yang kemudian memberikan buahnya kepada sejarah Islam.
Baca: Para Ulama Periwayat Hadis Ghadir Khum
Berbagai buku biografi tentang tokoh-tokoh dan para perawi mengemukakan lebih dari 300 perawi yang meriwayatkan hadis dari Imam Musa a.s. dan sejarah ilmu pengetahuan dalam Islam dengan bangga selalu menyebut-nyebut nama murid-murid beliau yang terdiri dari para ulama terkemuka dan cendekiawan-cendekiawan kelas satu, berikut kitab-kitab yang mereka susun.
Imam Kazhim mendidik generasi fuqaha, ulama, dan para perawi, serta menyirami para sahabat dan murid-muridnya dengan berbagai fatwa, kesimpulan-kesimpulan hukum, diskusi, dan lain sebagainya. Sejarah telah mengungkapkan kepada kita diskusi yang terjadi antara Imam Musa dengan para pemikir dan fuqaha di zamannya, seperti Abu Hanifah, Abu Yusuf (hakim agung Khalifah Harun AI-Rasyid), dan tokoh-tokoh lainnya, serta penerimaan dan ketundukan mereka terhadap hukum-hukum dan fatwa-fatwa beliau.
Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari beliau dengan penuh kepercayaan dan penghormatan, maka seperti itu pulalah yang ditegaskan oleh para perawi dan para penyusun kitab yang menaruh perhatian terhadap hadis. Riwayat yang disampaikan Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa, “Telah bertutur kepadaku Musa bin Jafar, dari Abu Jafar bin Muhammad,” dan seterusnya hingga sampai pada Nabi Muhammad Saw, lalu Ahmad bin Hanbal menambahkan, “Ini adalah rangkaian sanad yang andaikata dikemukakan kepada orang gila sekalipun, pasti dia akan membenarkannya”.
*Dirangkum dari buku Para Pemuka Ahlulbait karya Ali Muhammad Ali