Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Rahasia Kelahiran Imam Mahdi dan Paralelnya dengan Nabi Musa

Imam Mahdi lahir di Samara pada akhir malam Jumat tanggal 15 Syakban. Malam itu dianggap istimewa dan disarankan untuk diisi dengan ibadah, serta disarankan untuk berpuasa keesokan harinya. Saran ini didasarkan pada hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis yang sahih seperti Sunan Ibn Majah, Sunan Turmudzi, dan lainnya, serta hadis-hadis dari para imam Ahlulbait as.

Tahun kelahiran Imam Mahdi umumnya dipercaya terjadi pada tahun 255 Hijriah. Meskipun ada beberapa riwayat yang menyebutkan tahun 256 Hijriah atau 254 Hijriah, semua riwayat tersebut sepakat tentang hari kelahirannya. Bukti yang lebih kuat menunjukkan bahwa tahun 255 Hijriah lebih mungkin berdasarkan beberapa bukti, termasuk informasi dari sumber-sumber yang lebih tua seperti kitab Al-Ghaibah karya ulama terpercaya, Syekh Ibnu Syadzan.

Bukti lain yang mendukung tahun 255 Hijriah adalah bahwa sebagian besar riwayat yang menyebutkan hari kelahirannya mencatat hari Jumat pada pertengahan bulan Syakban, meskipun tahun kelahirannya berbeda. Setelah penyesuaian penanggalan, ditemukan bahwa pertengahan bulan Syakban yang jatuh pada hari Jumat terjadi pada tahun 255 Hijriah, bukan pada tahun-tahun lain yang disebutkan dalam riwayat-riwayat tersebut. Perbedaan dalam riwayat ini adalah hal yang biasa dalam sejarah penanggalan kelahiran dan kematian, bahkan terjadi pada kakeknya, Rasulullah saw. Namun, perbedaan tersebut tidak memengaruhi penetapan kelahiran mereka.

Kisah kelahiran Imam Mahdi telah diriwayatkan oleh banyak ulama dengan sanad yang sahih seperti Abu Ja’far Thabari, Fadhl bin Syadzan, dan lain-lain. Mereka menceritakan kisah tersebut secara lengkap atau ringkas. Bahkan beberapa ulama Ahlusunah dari berbagai mazhab Islam juga mencatat riwayat tersebut, seperti Nuruddin Abdurrahman Jami al-Hanafi dalam kitab Syawahid an-Nubuwwah, Allamah Muhammad Mubin Maulawi al-Hindi dalam Wasilat an-Najah, Allamah Muhammad Khajeh Barisa al-Bukhari dalam kitab Fash al-Khithab, al-Hafizh Qanduzi al-Hanafi dalam kitabnya Yanabi’ al-Mawaddah.

Kisah tentang kelahiran Imam Mahdi telah disampaikan oleh lebih dari 130 ulama dari berbagai mazhab. Beberapa di antara mereka hidup pada masa “ghaybat ash-shughra” atau saat kelahiran Imam Mahdi, sementara yang lain hidup dalam berbagai masa hingga saat ini. Daftar ini mencakup sebagian dari sumber-sumber Islam dan tidak mencakup semuanya. Di antara para ulama yang terkenal, ada Ibnu Khalkan, Ibnu Atsir, Abil Fida, Dzahabi, bnu Thulun ad-Damisyqi, Ibnu Jauzi, Muhyiddin Ibnu Arabi, Khawarizmi, Baihaqi, Shafadi, Ya’fi, Qimmani, Ibnu Hajar, Haitsami, dan lain-lain.

Ayah Imam Mahdi, Imam Hasan Askari, berupaya menyembunyikan kabar kelahiran putranya. Dia meminta bibinya, Sayidah Hakimah binti Imam Jawad, untuk tinggal di rumah mereka pada malam ke-15 bulan Syakban. Imam Hasan Askari memberitahu bibinya bahwa putranya akan dilahirkan di rumah tersebut sebagai bukti kehadiran Allah di bumi. Bibinya bertanya tentang ibu bayi itu, dan Imam memberitahunya bahwa ibunya adalah Nargis. Bibinya memeriksa istri Imam tetapi tidak menemukan tanda-tanda kehamilan. Imam menjelaskan bahwa kehamilan istrinya mirip dengan kehamilan ibu Nabi Musa as yang tidak menunjukkan tanda-tanda. Tidak ada yang tahu tentang kelahirannya sampai saat itu tiba, karena penguasa zalim Dinasti Abbasiyah merasa terancam oleh kelahiran Imam Mahdi.

Beberapa riwayat menyatakan bahwa kelahiran Imam Mahdi terjadi menjelang fajar, waktu yang mendukung penyembunyian karena mata-mata penguasa zalim biasanya tidur. Ada riwayat yang menyatakan bahwa hanya bibi Imam Hasan Askari yang menyaksikan kelahirannya, Hakimah, dan dia pun tidak tahu kapan persisnya itu terjadi. Berikut beberapa contoh riwayat tersebut:

  • Syekh Shaduq, dalam kitab Kamaluddin dan Kifayyat al-Atsar, yang bersandarkan pada Imam Hasan bin Ali as, menyatakan bahwa al-Qaim (al-Mahdi) akan dilahirkan tanpa ada ancaman untuk berbaiat pada penguasa zaman tersebut. Allah menyembunyikan kelahirannya dan menjadikannya gaib agar tidak ada ancaman tersebut.
  • Syekh Shaduq, dalam dua jalur riwayat dari Imam Ali as, menyatakan bahwa al-Mahdi adalah keturunan ke-9 dari Imam Husain dan bahwa kelahirannya dirahasiakan untuk melindunginya dari ancaman tersebut.
  • Dalam kitab Al-Kafi, Kulaini meriwayatkan dari Imam Muhammad Baqir as bahwa kelahiran al-Mahdi disembunyikan dari pandangan manusia, namun dia adalah pemimpin yang ditunjuk oleh Allah.

Riwayat-riwayat seperti ini sangat banyak dan sebagian besar disertai dengan sanad yang sahih yang menyatakan secara jelas tentang kelahiran yang tersembunyi. Meskipun ada beberapa sanad yang dhaif atau majhul, kenyataan kemudian membuktikan kebenaran berita tersebut. Hadis-hadis yang mulia menjelaskan bahwa kelahiran yang dirahasiakan adalah salah satu tanda yang membedakan al-Mahdi yang dijanjikan, yang merupakan putra Fathimah Zahra as, sebagaimana diberitakan dalam hadis-hadis nabawiyah.

Penjelasan ini penting untuk membantu umat Islam membedakan antara Imam Mahdi yang sebenarnya dengan orang-orang yang mengklaim sebagai Imam Mahdi. Tanda-tanda yang diberikan dalam hadis-hadis tidak relevan dengan pengklaim tersebut, dan tidak ada dari mereka yang kelahirannya disembunyikan seperti yang terjadi pada Imam Mahdi.

Alasan di balik kelahiran yang dirahasiakan, seperti yang dijelaskan dalam hadis-hadis, sama dengan alasan di balik kelahiran Nabi Musa as adalahuntuk melindungi bayi dari penguasa zalim yang ingin membunuhnya. Ini penting agar Imam Mahdi dapat memenuhi perannya sebagai utusan Allah untuk memperjuangkan keadilan dan memperkuat agama Islam.

Hadis-hadis ini telah tersebar di kalangan Muslim dan dicatat oleh ulama sebelum kelahiran Imam Mahdi. Bani Abbas menyadari status Imam Hasan Askari sebagai Imam ke-11 dari keturunan Nabi Muhammad Saw, dan mereka mencoba mencegah kelahiran Imam Mahdi dengan memutuskan garis keturunannya.

Tindakan keras Bani Abbas untuk mencegah kemunculan Imam Mahdi menimbulkan pertanyaan tentang motif mereka. Meskipun tidak ada catatan langsung tentang kekejaman mereka, hal ini menunjukkan bahwa mereka ingin menghentikan garis keturunan Imam untuk mencegah kemunculan Imam Mahdi.

Fakta bahwa ayah Imam Mahdi, Imam Hasan Askari, meninggal pada usia 28 tahun, kakeknya Imam Ali Hadi meninggal pada usia 40 tahun, dan Imam Muhammad Jawad meninggal pada usia 25 tahun, menunjukkan tekanan dan bahaya yang dihadapi para imam sebelum kelahiran Imam Mahdi. Upaya-upaya kejam yang dilakukan oleh Bani Abbas terhadap para imam, seperti penjara dan upaya pembunuhan, menunjukkan keinginan mereka untuk menghentikan garis keturunan dan mencegah kemunculan Imam Mahdi.

Imam Hasan Askari diriwayatkan berkata: “Bani Umayah dan Bani Abbas menempatkan pedang-pedang mereka terhadap Ahlulbait Rasulullah saw. dengan dua alasan utama. Pertama, mereka sadar bahwa mereka tidak memiliki klaim yang sah atas kepemimpinan (khilafah), dan mereka takut akan pengakuan Ahlulbait tentang hak mereka atas khilafah, yang akan membuat kekuasaan khilafah tetap berada pada pusatnya yang sah. Kedua, mereka mengetahui dari sumber-sumber yang dipercaya tentang ramalan mengenai kehancuran dan penggulingan rezim yang zalim dan sewenang-wenang melalui tangan al-Qaim (al-Mahdi) dari keluarga Nabi saw. Mereka menyadari bahwa tindakan mereka termasuk dalam kezaliman dan penindasan, karena mereka telah berusaha membunuh Ahlulbait dan memutus garis keturunannya dengan harapan mencegah kelahiran al-Mahdi atau membunuhnya. Namun, Allah Swt memilih untuk menyempurnakan rencana-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.”

*Disarikan dari buku Biografi Imam Mahdi – Tim Al-Huda

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT