Oleh: Husein Muhammad Alkaff
Para sayid Ba ‘Alawi adalah sebuah komunitas yang hadir di Nusantara bersamaan dengan kedatangan para Wali Sanga, bahkan sebelum Wali Sanga. Menurut catatan beberapa sejarawan, leluhur Wali Sanga adalah Sayid Abdul Malik bin Alwi Ammul Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath Ba ‘Alawi. Beliau seorang sayid Ba ‘Alawi yang berasal dari Hadhramaut dan kemudian hijrah ke Gujarat, India. Dengan demikian, Wali Sanga adalah para sayid Ba ‘Alawi.
Kemudian kehadiran para sayid Ba ‘Alawi ini dari masa ke masa bertambah dengan kedatangan gelombang berikutnya dari keturunan saudara sepupu leluhur Wali Sanga, yaitu keturunan al-Faqih al-Muqaddam Sayid Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath Ba ‘Alawi dan keturunan Sayid Abdurahman bin Alwi Ammul Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath Ba ‘Alawi. Gelombang ini datang pada masa penjajahan Eropa di Nusantara.
Tidak ada informasi yang pasti tentang jumlah mereka sampai saat ini, karena sebagian dari mereka tidak terkonsentrasi dalam satu tempat, dan juga karena tidak ada sensus yang cermat tentang keberadaan mereka. Penulis yakin, jumlah mereka banyak dan mencapai jutaan
jiwa, baik yang terdata maupun yang tidak terdata.
Baca: Tuhan, Manusia, Agama dan Budaya
Lebih penting dari sekadar jumlah jiwa di Tanah Air, para sayid Ba ‘Alawi datang ke kepulauan Nusantara dengan membawa agama Islam, baik sebagai padagang maupun sebagai pendakwah agama Islam.
Lambat laun, agama Islam yang mereka bawa telah memengaruhi masyarakat asli di Nusantara hingga akhirnya mayoritas dari mereka memeluk agama Islam. Sebuah prestasi yang besar, Islam tersebar di kepulauan Nusantara secara damai dan alami, dan sekarang Indonesia merupakan negara yang paling banyak jumlah kaum Muslimnya di dunia.
Oleh karena para sayid Ba ‘Alawi merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw, maka mereka menerima agama Islam secara langsung dari leluhur mereka sendiri, tanpa melalui perantara pihak luar. Kenyataan itu yang menjadi kekhasan mereka. Artinya, mereka yang ada sekarang beragama Islam karena mengikuti ayah mereka, dan ayah mereka dari ayah mereka dan seterusnya sampai kepada Nabi Saw.
Baca: Perpecahan di Tengah Umat Islam; Sebuah Telaah
Meskipun para sayid secara umum menerima ajaran Islam lewat jalur leluhur mereka sendiri hingga Nabi Muhammad Saw, namun pengamalan ajaran Islam di tengah mereka mengalami dinamika dan
improvisasi sehingga muncul perbedaan pengamalan Islam antara kelompok sayid yang satu dengan kelompok sayid yang lain.
Untuk lebih jelasnya, para sayid keturunan Nabi Muhammad Saw tersebar di berbagai belahan dunia, dan para sayid Ba ‘Alawi hanya satu bagian dari seluruh sayid itu.
Pengamalan para sayid Ba ‘Alawi, misalnya, tidak sama dengan pengamalan para sayid yang berada di Irak, Maroko, dan lainnya, sementara mereka semuanya adalah Muslim dan menerima ajaran Islam dari leluhur mereka—agamanya sama dan sumbernya sama tapi pengamalan mereka berbeda.
Kenyataan itu menunjukan bahwa telah terjadi dinamika dan improvisasi dalam ajaran dan pemikiran di tengah mereka sehingga pengamalan mereka terkait agama Islam berbeda-beda. Salah satu
sebab terjadinya dinamika dan improvisasi itu, menurut penulis, adalah karena setelah peristiwa Asyura mereka menerima tekanan yang besar dari para penguasa dinasti Bani Umayyah dan dinasti Bani Abbas yang berlangsung berabad-abad mulai dari penangkapan, pengejaran hingga pembunuhan, sehingga sebagian dari mereka ada yang menyesuaikan diri dengan kelompok yang diterima oleh para
penguasa, dan sebagian lagi melakukan hijrah ke berbagai pelosok dunia, yang akhirnya keturunan mereka tidak lagi mendapatkan sumber ajaran leluhur mereka dan lain sebagainya. Beradaptasi dan berhijrah itu mereka lakukan semata-mata demi menyelamatkan diri dan keluarga mereka.
Para sayid Ba ‘Alawi yang berada di Hadhramaut dan Nusantara tidak dikecualikan dari keadaan tersebut. Leluhur mereka, Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir berhijrah dari Basrah ke Hadhramaut dan berketurunan di sana, kemudian sebagian dari mereka berhijrah ke Nusantara. Dalam rantauan itu, terjadi dinamika dan improvisasi dalam ajaran dan pemikiran mereka karena faktor-faktor di atas.
Perbedaan pengamalan para sayid tidak berarti sebuah penyimpangan dari ajaran Islam yang prinsipal. Selama mereka mengimani rukun-rukun iman dan menjalankan rukun-rukun Islam, maka mereka adalah umat Islam.
Baca: Makna Islam
Tulisan sederhana ini mencoba mempelajari apa yang terjadi di tengah para sayid Ba ‘Alawi berupa dinamika dan improvisasi pada thariqat mereka. Penulis menemukan hal itu melalui beberapa buku yang ditulis oleh beberapa tokoh Ba ‘Alawi yang representatif, seperti buku “Al-Kibrit al-Ahmar” karya Syekh Abdullah Alaydrus bin Abubakar as-Sakran, buku “Al-Burqah al-Masyiqah” karya Syekh Ali bin Abubakar as-Sakran, buku “Risalah Muawanah” karya Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad, “Iqdu al-Yawaaqit al-Jawhariyyah” karya Habib Idrus bin Umar Alhabsyi, dan lainnya.
Tujuan dari kajian dan tulisan ini tidak lain adalah mengetahui ajaran dan pemikiran para tokoh Ba ‘Alawi serta perkembangan dan dinamikanya dan menyadari bahwa ajaran, pemikiran, dan pengamalan mereka akan Islam melewati proses dinamika dan improvisasi panjang yang dilakukan oleh beberapa tokoh Ba ‘Alawi.
Ala kulli hal, kerja keras para tokoh Ba ‘Alawi dalam dinamika dan improvisasi Thariqat Ba ‘Alawi itu menjadi sebuah fakta sejarah yang patut diketahui dan disadari para sayid Ba ‘Alawi, khususnya bagi para peminat sejarah dan pendulang mutiara ajaran mereka, dan lebih khusus lagi, para pemuda Ba ‘Alawi.
Baca: Imam Khomeini: “Jangan Biarkan Hakikat Islam Tersembunyi!”
Akhirul kalam, semoga tulisan ini berguna dan dijauhkan dari interpretasi yang salah, dan semoga para sayid Ba ‘Alawi yang terdahulu dirahmati oleh Allah Swt, dan mereka yang masih hidup dijaga oleh-Nya, aamiin ya Mujibas Saailiin.
Husein Muhammad Alkaff
Bandung, 13 Jumadil Awal (Hari Syahadah al-Kautsar a.s) 1442 H/ 28 Desember 2020 M.
Lebih lengkap, baca:👇👇👇
>>DWONLOAD PDF<<