Ibadah merupakan salah satu naluri jiwa manusia. Sosiologi menyatakan bahwa pengumbaran naluri dapat menimbulkan kehinaan dan tindak kejahatan. Karena itu, naluri dapat menimbulkan perbuatan tercela dan tindakan kejahatan. Semua insting, jika dikekang dan dikendalikan secara proporsional, dapat menjadi salah satu sarana untuk mencapai kebahagiaan seseorang dan juga bagi masyarakat dan kemajuannya.
Kebanyakan orang saleh menganggap ibadah formal seperti salat, puasa, dan membaca wirid sebagai manifestasi iman dalam segala aspeknya. Pandangan demikian dianggap keliru dan bodoh. Ibadah merupakan salah satu manifestasi rasa hormat, ketakutan, dan kekhawatiran. Oleh sebab itu, amal ibadah yang kosong dari pemujaan dan rasa hormat adalah sia-sia yang menurut pandangan para ahli fikih, bagaikan jasad tanpa ruh.
Sedangkan orang-orang awam menganggap bahwa orang yang tekun melaksanakan amal ibadah adalah mukmin sejati. Dalam pandangan mereka, orang mukmin identik dengan orang yang taat beribadah. Ini jelas merupakan penggeseran dari maksud yang sebenamya. Iman merupakan makna yang dinisbahkan kepada hal-hal yang bersifat psikologis (kejiwaan), bukan makna yang bersifat fisik, yang dapat kita indera melalui panca indera, dalam bentuk pendengaran ataupun penglihatan.
Para rasul datang dan mengetahui dengan wahyu yang benar, tentang kedudukan ibadah dari jiwa manusia. Kondisi tersebut mengkonsekuensikan bahwa ibadah manusia harus terkonsentrasikan pada satu titik; ibadahnya harus hanya karena Allah semata, tidak menyekutukan-Nya dengan siapa pun. Karena, bila naluri ini lepas dari ikatannya, maka manusia bisa menyembah sesuatu yang tidak berhak disembah.
Baca: Mukmin ‘Mendesak’ Allah
Kita semua tahu bahwa iman memiliki dua aspek. Pertama, aspek psikologis. Aspek inilah yang menjadi sasaran. Jika aspek ini sudah tertanam di dalam jiwa, maka layaklah jiwa tersebut dinamakan mukmin, yang konteksnya adalah lahirnya ketenteraman dan ketundukan kepada Allah, Rasul, dan yakin akan adanya Hari Kiamat.
Aspek kedua adalah aspek sosial. Aspek sosial ini menuntut keimanan seseorang menjadi pencetak jiwa setiap individu dalam pola yang sesuai dengan masyarakat, dan menumbuhkan rasa cinta, karena cinta dapat berfungsi menegakkan rancangan (desain) iman yang kokoh. Sebab, manusia diciptakan dalam bentuk yang sangat baik dan sempurna.
Iman yang dapat menyelaraskan individu dan masyarakat adalah iman yang sempurna. Dengan iman yang sempuma, kaum Muslim memperoleh kedudukan yang tinggi, kehormatan yang tak terbatas, dan karakter yang disegani. Dengan iman seperti inilah mereka bangkit untuk pertama kalinya, dan mereka tidak bisa bangkit kembali dari kemerosotan kecuali dengannya juga. Ahlulbait a.s. menyeru umat menuju iman seperti ini.
Baca: Tiga Karakter Seorang Mukmin
Imam Ali a.s. bertanya kepada Rasulullah Saw tentang sifat seorang mukmin. Beliau menjawab: “Ada 20 sifat yang harus dimiliki oleh seorang mukmin. Jika belum lengkap, maka imannya belum sempurna. Sesungguhnya di antara akhlak orang mukmin, wahai Ali, adalah mengerjakan salat, cepat-cepat membayar zakat, memberi makan kepada fakir miskin, mengusap kepala anak yatim, membersihkan keburukannya, bersikap adil dalam mengambil keputusan, tidak berdusta jika berbicara, tidak ingkar jika berjanji, tidak khianat jika dipercaya siang maupun malam, sering bangun malam, giat bekerja di siang hari, puasa di siang hari, tidak menyakit tetangga, tidak sombong bila berjalan, sering datang pada rumah orang-orang yang mengalami kematian, serta mengantarkan jenazah.”
Imam Ali a.s. juga meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menciptakan Islam, kemudian Dia menciptakan tempat berlindung, cahaya, benteng, dan penolong. Tempat berlindungnya adalah Alquran, cahayanya adalah kebijaksanaan, bentengnya adalah kebaikan, dan penolongnya adalah aku, keluargaku, dan syiah (pengikut) kita.
Imam Jafar Shadiq a.s. berkata: “Seorang mukmin memiliki kekuatan di dalam agama, kemauan keras dalam kelembutan, iman dalam keyakinan, rakus dalam mempelajari ilmu agama, bersemangat dalam mencari petunjuk, konsisten dalam kebaikan, sabar mencari ilmu, cerdik dalam keramahan, dermawan dalam kebenaran, sederhana ketika kaya, indah dalam kesadaran, pemaaf ketika berkuasa, taat kepada Allah, mengikuti nasihat-Nya, mengendalikan hawa nafsu, wara’ pada yang disukai, menjaga jihad, sibuk dalam salat, sabar menghadapi kekerasan, sabar menjauhi hal-hal yang dilarang, bersyukur ketika mendapatkan kebaikan, tidak menggunjingkan orang, tidak sombong, tidak memutuskan hubungan dengan kerabat, tidak dikelabui oleh yang hina, dan tidak terlena dalam kesenangan… Senantiasa menolong orang yang tertindas dan bersifat kasih sayang terhadap orang miskin.”
Baca: Kemuliaan bagi Mukmin
Beliau a.s. juga berkata: “Seorang mukmin harus memiliki sedikitnya delapan sifat, yaitu: tenang ketika menghadapi kesulitan, sabar dalam menghadapi cobaan, bersyukur atas segala nikmat, merasa puas dalam rezeki yang didapat dari Allah, tidak menganiaya musuh, berbuat baik terhadap teman, badannya capek karena ibadah di saat orang-orang beristirahat.”
Iman orang mukmin kokoh dan konsisten dengan makna-makna Islam, tidak lemah hanya karena adanya goncangan dan benturan, serta tidak goyah dengan adanya badai, betapa pun hebatnya. Seorang mukmin tidak dikhawatirkan keselingkuhannya dalam pergaulan, tidak bohong dalam berbicara, tidak berkhianat terhadap sesamanya, tidak pula berkhianat pada tanah air, umat, undang-undang, dan agama. Sifat-sifat ini harus dimiliki semua orang mukmin, tanpa kecuali. Manakala seseorang dapat memiliki sifat-sifat di atas, maka imannya akan sempurna dan lebih lengkap. Sebaliknya, jika sifat-sifat tersebut berkurang, maka berkurang dan tidak sempurnalah imannya.
Iman itu mengalami fluktuasi, bertambah dan berkurang, kuat dan lemah, bergairah dan loyo, baik secara individual maupun sosial. Keadaan jiwa seseorang pun berbeda-beda tingkatannya, tergantung pada kemampuan dan kadar kualitasnya. Ada yang cerdas dan ada yang bodoh, ada yang sabar dan ada yang kejam. Iman orang yang cerdas tidak sama dengan iman orang yang bodoh. Keyakinan yang ada pada diri seseorang itu kadang-kadang kuat dan lemah, bertambah dan berkurang, berkembang dan layu.
Baca: Ciri-ciri Orang Mukmin
Ahlulbait a.s. menerangkan kepada manusia bahwa iman itu bertingkat-tingkat. Imam al-Shadiq a.s. berkata: “Sesungguhnya Allah meletakkan iman di atas tujuh hal, yaitu: kebaikan, kebenaran, keyakinan, keridaan, keramahan, ilmu, dan kesabaran. Dia membagi manusia berdasarkan itu. Siapa yang dapat memperoleh ketujuh bagian itu, maka ia orang yang sempurna. Orang lain ada yang memperoleh satu bagian, yang lain memperoleh dua bagian, dan yang lain lagi tiga bagian, sampai akhirnya mereka memperoleh tujuh bagian.”
*Dikutip dari buku Akhlak Keluarga Muhammad Saw karya Dr. Musa Subaiti