Sebuah wasiat dari Ayatullah al-Uzhma Sayid Ali Sistani –semoga Allah senantiasa menjaganya- ditujukan kepada para pemuda Islam, khususnya kepada mereka yang Syiah, pecinta keluarga suci Nabi saw. Telah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bentuk buku saku dengan judul “Nasehat Ayatullah al-Uzhma Sayid Ali Sistani untuk Para Pemuda”, di dalamnya memuat delapan poin penting menyangkut kebahagiaan dunia dan akhirat –yang menjadi tujuan hidup setiap manusia.
Satu poin yang menjadi urutan pertama dari wasiat beliau ialah mengenai keyakinan yang benar yang harus dimiliki seorang pemuda. Beliau mengatakan (kira-kira demikian terjemahannya): “Janganlah kamu ragukan keyakinan ini oleh satu keadaan pun setelah dalil-dalil yang nyata menunjukkannya dan metode yang benar mengukuhkannya. Semua yang ada di alam ini –apabila seseorang selami bagian dalam dirinya- adalah ciptaan nan menakjubkan yang menunjukkan atas Sang Pencipta Yang Maha kuasa lagi Maha agung..” (Baca: Tuhan, Alam dan Gempa)
Kemudian beliau mengatakan: “Maka siapa yang keberadaan Allah dan alam akhirat terhijab darinya, sungguh ia telah kehilangan arti kehidupan, segi-segi dan hasilnya –yang semestinya dia raih… Oleh karena itu, hendaklah kamu menetapi keyakinanmu itu, dan jadikan sebagai sesuatu yang paling bernilai, sebagaimana ia lah yang terpenting. Bahkan berusahalah untuk tambah yakin dan kuat keyakinanmu itu, hingga ia menjadi hadir bagimu, engkau melihatnya dengan mata batin (bashirah) yang tajam dan pandangan yang cermat…”
Mengenal Allah, Sifat Pertama Syiah Ali
Di sini penulis hanya ingin memperoleh manfaat dari pesan beliau tersebut, di antaranya bahwa: 1-Keberadaan Allah swt sebagai Sebab segala sesuatu. 2-Hakikat keberadaan seluruh ciptaan-Nya termasuk manusia, menjadi jalan untuk mengenal Dia dengan sifat-sifat serta perbuatan-perbuatan-Nya. 3-Ma’rifat atau mengenal Allah berperan mengantarkan tujuan hidup manusia, yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Mengenai poin ketiga inilah yang ingin penulis ketengahkan di sini. Yaitu, peran atau dampak ma’rifatullah bagi seseorang yang menjadikan dirinya ‘ârif billâh. Sebagai mukadimah, sebuah riwayat yang pernah disampaikan oleh Ayatullah Misbah Yazdi di salah satu ceramahnya, yaitu terkait dengan sifat-sifat pecinta keluarga suci Nabi saw, yang dikenal dengan Syiah Ahlulbait as. (Baca: Makna Syiah – 1)
Diriwayatkan oleh Nauf al-Bikali: “Di perjalanan kami menuju masjid, kami bertemu dengan sejumlah orang yang sedang duduk, asyik dalam perbincangan yang disertai gelak tertawa. Saat mereka melihat Amirul mu`minin as lewat, mereka langsung berdiri dan mengucapkan salam dengan penghormatan kepadanya.
Setelah balas salam dan hormat mereka, beliau bertanya: “Siapakah kalian?”
“Kami adalah orang-orang dari Syiah Anda!”, sahut mereka.
Imam berkata, “(Tetapi) Mengapa saya tidak melihat tanda-tanda Syiah pada diri kalian?” Mereka menundukkan kepala tampak merasa malu karenanya. Lalu beliau melanjutkan jalannya -bersama kami.
Dua orang yang bersama saya (Nauf) bertanya kepada Imam, “Tuanku, apa sifat-sifat Syiah Anda?” Beliau sepertinya menghindar dari menjawab pertanyaan itu. Tetapi Hammam yang paling muda di antara kami mendesak beliau supaya menjelaskan kepada kami tentang hal itu.”
Ringkas cerita, usai shalat dan setelah Imam memberikan ceramah kepada hadirin di dalam masjid, beliau menghampiri Hammam dan berkata kepadanya: “Tadi kau bertanya kepadaku tentang Syiah Ahlulbait as -yang Allah telah hilangkan nista dari mereka bersama nabi-Nya dan mensucikan mereka sesuci-sucinya. (Ketahuilah bahwa) Mereka (Syiah) itu adalah orang-orang yang mengenal Allah (‘ârif billâh) dan melaksanakan perintah-Nya. (Baca: Konsep Takdir dalam Akidah Syiah)
Jika kau ingin mengetahui sifat-sifat mereka, maka dengarkan (penjelasanku)!” Kemudian beliau menyebutkan sifat-sifat mereka. Jadi, sifat pertama yang mereka miliki adalah mengenal Allah, dan yang kedua adalah melaksanakan perintah-perintah-Nya.
Syiah itu ‘Ârif billâh
Ayatullah Misbah Yazdi memulai penjelasannya dengan pertanyaan, apa dimaksud ‘ârif billâh atau seorang arif? Apa keistimewaan dia, dan seberapa besar dampak ma’rifat (mengenal Allah) ini di dalam kebahagiaan dan kesempurnaan manusia?
Kata “‘ârifîn” atau ‘urafâ` (orang-orang yang mengenal Allah) dalam pandangan umumnya seperti sebagaimana halnya bila kita menyebut kata “syu’ara (para penyair). Yakni, orang-orang khusus, yang memiliki citarasa yang khas terkait perkataan dan melantunkan syair-syair. Sedangkan ‘urafa, adalah para pelaku amal ibadah, zikir dan wirid. Orang-orang yang memiliki kekhususan ini, sebagaimana halnya para penyair ketika mengungkapkan kata-kata, kita kesulitan di dalam memahami maksudnya. Demikianlah yang dipahami pada umumnya. (Baca: Apakah Definisi Sahabat Menurut Madrasah Ahlulbait? -1)
Kesimpulannya bahwa ‘ârif yang sejati adalah seseorang mengenal Allah secara hakiki. Kaum arif yang sejati, sudah pasti yang pertama adalah Rasulullah saw, dan yang dikenal di kalangan Syiah adalah Ahlulbait as pada tingkatan tertinggi. Setelah mereka adalah murid-murid (khusus) madrasah mereka.
Yang menarik dari penjelasan Ayatullah Misbah Yazdih ialah bahwa sekadar titel atau atribut yang khas seperti yang tampak di permukaan, misal bersoban atau memakai kopiah dan sebagainya tidak berarti menunjukkan dia seorang arif. Memang hal-hal semacam ini menampak di sebagian kaum arif, tetapi itu bagian dari sifat-sifat yang umum. Artinya, selain mereka juga bisa demikian. Sorban di kepala menjadi sebuah tanda bagi fuqaha, tetapi tidak setiap orang yang mengenakan ‘amamah adalah seorang faqih.
Menurut beliau penampakan keirfanan, istilah-istilah irfan, syair-syair dan amalan-amalan khusus dari seseorang bukanlah pertanda bahwa dia ‘ârif sebagaimana yang diungkapkan Imam Ali as bahwa: “Syiah kami adalah orang-orang yang -arif- mengenal Allah..” Dengan kata lain, ia bukanlah makna yang biasa berlaku dan istilah yang dimiliki orang-orang pada umumnya. Tetapi adalah hakikat ma’rifat, dan adalah yang benar-benar mengenal Allah.[*]
Baca: Amalan Malam Nisfu Sya’ban Menurut Sunnah dan Syiah