Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Sirah Qurani Nabi SAW: Manifestasi dari Al-Quran dalam Kehidupan Rasulullah

Kesadaran Rasulullah SAW terhadap Al-Quran adalah sesuatu yang patut dijadikan teladan. Al-Quran menegaskan, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…” (QS. al-Ahzab: 21). Sama seperti Al-Quran yang memiliki lapisan makna, kehidupan Rasulullah SAW juga mengandung berbagai makna mendalam. Imam Husain AS dan Imam Shadiq AS meriwayatkan bahwa Al-Quran memiliki makna ibarat (ungkapan verbal), isyarat (implisit), lathaif (makna batin), dan haqaiq (makna hakiki). Makna ibarat untuk orang awam, isyarat untuk yang terpilih, lathaif untuk para wali, dan haqaiq adalah untuk para nabi.

Setiap aspek kehidupan Rasulullah SAW mencerminkan ajaran Al-Quran. Mulai dari perilaku hingga tindakan, semuanya berjalan sejalan dengan wahyu ilahi. Bahkan, Al-Quran sendiri menegaskan bahwa akhlak Rasulullah SAW adalah representasi dari Al-Quran itu sendiri.

Kedalaman Ibadah Rasulullah SAW: Tahajud sebagai Cerminan Ketaatan

Salah satu contoh yang paling mencolok adalah ibadah tahajud yang dijalankan oleh Rasulullah SAW. Allah SWT memerintahkannya untuk melaksanakan salat malam, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Isra: 79: “Dan pada sebagian malam lakukanlah salat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.”

Meskipun berat, Rasulullah SAW tetap melaksanakan tahajud dengan penuh ketekunan. Bahkan, setelah perintah tersebut turun, beliau semakin giat menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah hingga Allah menurunkan QS. Thaha: 2, yang berbunyi: “Kami tidak menurunkan Al-Quran ini untuk menyusahkanmu.”

Dikisahkan bahwa Rasulullah SAW selalu mempersiapkan air wudu sebelum waktunya salat malam. Beliau bagaikan seorang prajurit yang selalu siaga, penuh konsentrasi, dan tidak pernah lalai. Setelah tidur sebentar, beliau bangun untuk salat empat rakaat, istirahat sejenak, lalu melanjutkan tahajudnya. Setiap kali bangun, beliau memandang langit sambil membacakan ayat QS. Ali Imran: 190-191, yang mengajarkan manusia untuk merenungkan penciptaan alam semesta dan mengingat Allah dalam setiap keadaan.

Ayat tersebut mengajak manusia untuk merenungi alam semesta dan memberikan ciri-ciri orang yang berpikir serta metode berdoa kepada Allah SWT. Orang yang menghidupkan malamnya dengan ibadah, akan mengisi siangnya dengan aktivitas berpikir dan perenungan. Dalam QS. al-Isra, Rasulullah SAW digambarkan sebagai sosok yang penuh ketakwaan di malam hari, sedangkan dalam QS. Ali Imran, beliau disibukkan dengan pemikiran dan refleksi pada siang hari.

Kehidupan Rasulullah SAW adalah manifestasi sempurna dari ajaran Al-Quran, baik dalam ibadah malam maupun aktivitas harian, yang selalu sejalan dengan kehendak Allah.

Kesederhanaan Hidup Rasulullah SAW: Tidak Terpesona oleh Dunia

Rasulullah SAW menjalani hidupnya dengan kesederhanaan, menjadikan setiap aspek kehidupannya sebagai bentuk ibadah. Imam Shadiq AS dan Imam Baqir AS mengisahkan bagaimana Rasulullah SAW diberikan pilihan untuk menikmati kekayaan duniawi tanpa mengurangi maqam beliau. Namun, Rasulullah SAW menolaknya dengan bijak, seraya berkata, “Dunia adalah rumah bagi yang tidak punya rumah, dan orang bodoh akan memungut remah-remahnya.”

Tempat tidur Rasulullah hanyalah tikar sederhana yang meninggalkan bekas di punggung dan wajahnya. Ketika seseorang merasa kasihan dan membandingkannya dengan kemewahan Kaisar dan Kisra, Rasulullah SAW menjawab, “Dunia ini lenyap, biarlah menjadi milik mereka. Sedangkan kita, milik kita adalah kampung akhirat yang abadi.” Beliau menegaskan bahwa hidup ini adalah perjalanan sementara, dan mereka yang sadar akan tujuan akhir tidak akan terpesona oleh gemerlap dunia.

Al-Quran pun mengingatkan manusia agar tidak terpesona dengan harta dan anak-anak, karena mereka bisa menjadi ujian. Allah berfirman, “Harta-harta kalian dan anak-anak kalian adalah fitnah.” (QS. at-Taghabun: 15). Manusia yang mengabaikan perintah Allah demi mengejar dunia akan jatuh ke dalam jebakan setan. Allah juga memperingatkan agar tidak iri pada kenikmatan dunia yang diberikan kepada orang lain, karena sesungguhnya karunia Allah yang abadi jauh lebih baik (QS. Thaha: 131).

Kesederhanaan hidup memudahkan seseorang menuju jalan yang lurus. Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang hidup sederhana adalah manusia paling bahagia.” Bahkan, Imam Ali AS mengatakan, “Hiduplah sederhana, maka engkau akan sukses.” Keterikatan berlebihan pada dunia akan menistakan nilai-nilai keutamaan. Dunia dan akhirat, seperti Timur dan Barat, tidak bisa dipersatukan; semakin berat yang satu, semakin ringan yang lain.

Syiar dan Zikir di Medan Perang: Menjaga Semangat Spiritual

Di medan perang, syiar-syiar yang diajarkan Rasulullah SAW mencerminkan misi Islam yang sejati. Sama seperti syiar ketika salat, umat Islam diingatkan untuk selalu mengingat Allah. Amirul Mukminin Ali AS mengisahkan bahwa dalam Perang Badar, Rasulullah SAW bersujud seraya terus mengucapkan “Ya Hayyun, Ya Qayyum” (Asmaulhusna) untuk memohon kemenangan.

Rasulullah SAW selalu menghormati para syuhada dengan cara yang mulia. Ketika berziarah ke makam syuhada Uhud, beliau selalu membacakan ayat QS. ar-Ra’d: 24, “Salam bagi kalian karena telah bersabar, dan alangkah baiknya balasan yang akan kalian dapatkan.” Salam dan penghargaan bagi mereka yang sabar adalah tanda bahwa keberhasilan di dunia hanya sebagian kecil dari kesuksesan abadi yang menanti di akhirat.

Ketaatan dan pengorbanan para syuhada dihormati dengan cara yang diajarkan Rasulullah SAW, yang menjadi teladan bagi kita semua dalam menghormati orang-orang yang telah berkorban di jalan Allah.

Harap dan Takut dalam Kehidupan Rasulullah SAW

Perasaan harap dan takut adalah dua emosi mendasar yang mendorong seseorang untuk melakukan kebajikan. Rasulullah SAW, sebagaimana diajarkan oleh Al-Quran, menekankan pentingnya menumbuhkan perasaan takut kepada Allah dan harapan akan rahmat-Nya. Hal ini tercermin dalam ayat, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (hari Kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku,” (QS. al-An’am: 15). Ayat ini menegaskan bahwa ketakutan terhadap siksa Allah adalah peringatan bagi siapa saja yang melakukan maksiat dan durhaka.

Meskipun Rasulullah SAW dijamin kebersihannya dari dosa, seperti yang dijelaskan dalam QS. al-Fath: 1-2, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kemenangan kepadamu dengan kemenangan yang nyata agar Allah mengampuni dosa-dosa yang telah engkau lakukan,” rasa takut tetap menjadi bagian dari kesadaran spiritual beliau. Ayat ini tidak berarti Rasulullah SAW pernah melakukan dosa, melainkan menekankan ketinggian derajatnya sebagai manusia maksum yang dijaga dari godaan setan.

Para nabi dan manusia maksum memiliki jiwa yang terjaga dari bisikan setan dan godaan hawa nafsu. Mereka memiliki kendali penuh atas tindakan mereka, dan kemaksuman menjadi bagian yang menyatu dengan diri mereka. Rasa takut mereka bukanlah ketakutan terhadap hukuman, melainkan cerminan dari keagungan Allah dan rasa tanggung jawab yang mendalam terhadap misi ilahi yang mereka emban.

Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah SAW menunjukkan keseimbangan sempurna antara harap dan takut. Beliau mengajarkan bahwa harapan akan rahmat Allah harus diimbangi dengan rasa takut kepada hukuman-Nya, agar manusia tidak terlena dalam kenikmatan dunia dan selalu menjaga diri dalam ketaatan.

Rasa harap dan takut adalah dua sisi yang saling melengkapi dalam spiritualitas Islam. Harapan akan ampunan dan rahmat Allah memotivasi manusia untuk terus berbuat baik, sementara rasa takut akan siksa-Nya menjaga agar manusia tidak terjerumus dalam maksiat. Rasulullah SAW, dengan kesadaran maksum yang beliau miliki, menjadi teladan dalam menyeimbangkan kedua perasaan ini, menunjukkan bahwa seorang mukmin harus selalu hidup dalam keadaan waspada, namun tetap optimis akan rahmat Allah yang luas.

*Disarikan dari buku karya Ayatullah Jawadi Amuli – Nabi SAW dalam Al-Quran

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT