Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)

Setelah meninggalnya beberapa Marja’ Besar di Hauzah Ilmiah Qom dan Najaf Asyraf, sekarang kita menyaksikan kecemerlangan ulama-ulama besar yang mumpuni di bidang fikih di Qom, dan salah satu dari mereka adalah Fakih Ahlul Bait Ayatullah al Uzhma Sayid Muhammad Ali Alawi Husaini Gorgani.

Tulisan ini hendak mengungkap secara singkat biografi beliau yang disarikan dari situs resmi beliau.

Keluarga

Ayahanda Sayid Muhammad Ali Alawi Husaini Gorgani adalah Ayatullah Haji Sayid Sajjad Alawi Gorgani termasuk pribadi yang paling menonjol di bidang keilmuan di kawasan “Gorgan dan Dasyt” dan juga terhitung sebagai tokoh yang paling terkenal di propinsi Mazandaran. Beliau pada tahun 1322 Hijriah di salah satu desa Gorgan, yaitu Alang di rumah Agha Sayed Qasim yang merupakan seorang yang senantiasa berzikir, ahli tahajud dan seorang mukmin religius yang belum dikaruniai anak. Dan melalui tawasul, doa dan banyak zikir, akhirnya Allah Swt menganugerahinya anak saat beliau berusia 65 tahun dan setelah beberapa tahun kemudian beliau pun meninggal dunia.

Saat hendak menginjak usia remaja, Sayed Muhammad Ali harus kehilangan kedua orang tuanya dan sepeninggal kedua orang tuanya beliau diasuh oleh Almarhum Ayatullah Haji Mulla Muhammad Hasyim Kabir Kirkuyi. Sayed Muhammad Ali memulai pelajaran agama dan mukadimah dan nahwu-sharaf dari Haji Mulla Muhammad Hasyim. (Baca: Sosok Ayatullah Gulpaigani-1)

Pada tahun 1344 Hijriah, Sayed Muhammad Ali Alawi pergi ke Masyhad Muqaddas dan melanjutkan pelajaran jenjang tinggi pada ulama-ulama yang terkenal di kota tersebut seperti Ayatullah Mirza Mahdi Isfahani, Ayatullah Mulla Hasyim Khorasani, Ayatullah Fadhil Basthami. Dan pada tahun 1347 Hijriah beliau hijrah ke kota suci Qom dan melanjutkan pelajaran di sisi para ulama hebat: Ayatullah Haji Syekh Abdul Karim Hairi Yazdi, Ayatullah Haji Syekh Muhammad Ali Hairi Qommi, Ayatullah Haji Mirza Muhammad Faidh Qummi, Ayatullah Haji Syekh Abul Qasim Qommi, Ayatullah Mirza Muhammad Ali Syah Abadi dan Ayatullah Mirza Muhammad Tsabiti Hamdani. Sayed Muhammad Ali Alawi mempelajari ilmu fikih, ushul, hikmah (filsafat) dan kalam (teologi) dari ulama-ulama kesohor tersebut.

Pada tahun 1353 Hijriah sesuai anjuran gurunya,  Ayatullah Hairi Yazdi, Sayed Muhammad Ali Alawi melanjutkan pendalaman ilmu-ilmu Islam di Najaf Asyraf dan beliau mengukuhkan ilmunya di sisi: Ayatullah Sayed Abul Hasan Isfahani, Ayatullah Syekh Muhammad Kazhem Syirazi, Ayatullah Muhaqqiq Isfahani dan Ayatullah Aga Dhiya Iraqi. Dan secara khusus, beliau berada dalam bimbingan Ayatullah Sayed Abul Hasan Isfahani. Dan selama di sana, beliau juga mengajar suthuh ‘aliyah (jenjang tinggi pelajaran keagamaan) dan di antara murid beliau di Najaf adalah Syekh Muhammad Ibrahim, Syahid Syekh Murtadha Borujerdi, Hajj Mirza Ali Muhaddits Zadeh dan Hajj Mirza Muhsin Muhammad Tsazadeh (anak-anak dari Hajj Syekh Abbbas Qommi) dan Almarhum Syahid Nawab Safawi. (Baca: Fikih Haji dan Umrah Menurut Mazhab Ahlulbait)

Setelah menetap 12 tahun di Najaf, Sayed Muhammad Ali Alawi kembali—karena permintaan cukup banyak dari penduduk Gorgan dari Ayatullah Sayed Abul Hasan Isfahani dan juga akhirnya karena perintah guru yang sangat dihormatinya ini—ke Iran pada tahun 1365 Hijriah dan menetap di kota suci Qom dan mengajar pelajaran jenjang tinggi di bidang fikih dan ushul, dan di antara muridnya adalah Almarhum  Ayatullah Hajj Aga Syihab Isyraqi.

Setelah beberapa saat dan karena permintaan dan desakan rakyat Gorgan yang religius dan perintah Ayatullah al-Uzhma Borujerdi, beliau kembali ke Gorgan pada tahun 1366 Hijriah. Di sana beliau memimpin shalat jamaah dan berdakwah di Majid Jami’ serta mengajar pelbagai ilmu agama di Madrasah ‘Imadiyyah dan di antara murid-murid yang berada dalam bimbingannya ialah: Almarhum Ustad Muhammad Taqi Danispezuh dan anak-anaknya, Ayatullah Thahiri Gorgani dan ayatullah Jannati Syahrudi. Kegiatan lain beliau adalah membangun Husainiyyah dan masjid serta makam para habaib keturunan Rasulullah saw yang dikenal dengan istilah Imam Zadegan yang total jumlahnya mencapai 200 orang. Di samping itu, beliau juga menulis tafsir Al-Qur’an yang empat kali beliau menafsirkan secara sempurna, dan tentu beliau juga terlibat dalam menyelesaikan pelbagai problema masyarakat di daerah tersebut.

Karena memiliki keunggulan dan keutamaan akhlak serta keilmuaan dan ketakwaan dan penjelasan yang enak dan nasihat-nasihat dan tafsir Al-Qur’an, beliau mendapat perhatian yang luar biasa dari masyarakat di kawasan tersebut baik dari kalangan Syiah maupun Ahlu Sunnah. dan seolah-olah di bidang fikih, tafsir dan akhlak sulit dicari tandingannya.

Putra-putra beliau selain Ayatullah al-Uzhma ‘Alawi adalah Hujjatul Islam Hajj Sayed Muhammad Hasan, Hajj Sayed Muhammad Husain Alawi, dan menantu-menantu beliau adalah Ayatullah Hajj Sayed Habibullah Thahiri Gorgani dan Hajj Sayed Hasan Sibth Ahmadi. (Baca: Pro dan Kontra Akal dalam Berakidah)

Ibu beliau adalah putri Almarhum Aga Syekh Ali Asghar Muayyidi Syari’ah, murid Almarhum Ayatullah Hajj Sayed Muhammad Hujjat Kohkamri, menantu Hujjatul Islam Mulla Mahmud Zahid Qommi (1266-1325), yaitu wakil rakyat Qom pada dewan perwakilan rakyat pada masa pertama di zaman Masyruthiyyah dan saudara istri Almarhum Ayatullah Hajj Mirza Abul Fadhl Zahidi Qommi.

Mertua Ayatullah al-Uzhma Alawi juga seorang sastrawan ternama Qom yang sekaligus pensyarah dan penyusun Nahjul Balaghah dan penyair Ahlul Bait yaitu Almarhum Hujjatul Islam wal Muslimin Hajj Syekh Muhammad Ali Anshari Qommi (1328-1405) dan penulis beberapa kitab yang bermaterikan pembelaan terhadap ajaran Ahlul Bait dan saudara-saudaranya adalah ulama-ulama terkemuka dan orator di Qom dan Najaf Asyraf, yaitu Ayatullah Hajj Syekh Murtadha, Ayatullah Hajj Syekh Ahmad dan Ayatullah Hajj Sykeh Mahmud Anshari.

Kelahiran

Ayatullah al Uzhma Sayed Muhammad Ali Alawi Husaini Gorgani dilahirkan bertepatan dengan kelahiran Siti Fatimah az-Zahra pada tahun 1359 H di Najaf Asyraf di rumah yang diliputi dengan ketakwaan dan keutamaan. Tentu saja kelahiran ini disambut suka cita oleh ayahanda beliau karena beberapa anak lelaki yang dimilikinya semua meninggal di waktu kecil. Oleh karena itu, ayah beliau bertawasul kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan memohon dengan maqam agungnya supaya dikarunia anak alim dan saleh. (Baca: Antara Ulama dan Raja, Penguasa dan Hamba Saleh)

Mimpi yang Menjadi Kenyataan

Ayatullah Haji Sayed Sajjad ‘Alawi bermimpi pada suatu malam bahwa beliau bertemu dengan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Dalam mimpinya tersebut Imam Ali memberitakan kepada beliau bahwa dalam waktu dekat dia akan mendapatkan anak lekaki dan beliau diminta untuk menamakan anaknya Ali. Ketika anaknya lahir, ayahnya menamainya–untuk mempraktikan sunah–“Muhammad” dan untuk menepati janji kepada Imam Ali, beliau akhirnya menamakannya “Ali”. Ayah beliau berulang kali berkata kepadanya, kamu akan sangat berbeda dengan saudara-saudaramu dan di masa mendatang engkau akan mencapai kedudukan yang tinggi karena engkau lahir berkat tawasul kepada Sayidina Ali. Sang anak besar dan tumbuh di bawah pendidikan langsung ayahanda dan ibundanya dan banyak mendapatkan pengetahuan dasar-dasar agama dari keduanya.

Masa Belajar

Ayatullah Alawi kembali ke Iran saat berusia tujuh tahun (tahun 1365 H) dan mempelajari ilmu Al-Quran, matematika, syair Sa’di dan setelah itu mempelajari ilmu sastra Arab (nahwu, sharf dan balaghah) pada ayahnya. Di samping itu, beliau juga dibimbing oleh ayahnya untuk belajar kitab Mughni dan Muthawwil serta sebagian syarah Lum’ah. Dan pada tahun 1374 H, bersama rombongan sahabat-sahabat asal kotanya, beliau pergi untuk berziarah ke situs-situs suci di Mekkah (Baitullah al-Haram) dan Baitul Maqdis dan Suriah, dan dalam perjalan spiritual tersebut, beliau membacakan dan menjelaskan persoalan-persoalan keagamaan dan kitab agama bagi peserta ziarah tersebut. Dan saat pulang dari haji, beliau berkeinginan untuk menetap dan melanjutkan studi di Hauzah Ilmiyah Najaf Asyraf namun Almarhum Ayatullah al-Uzhma Hakim yang di zaman itu mengetahui rencana ini dari ayahanda beliau menyarankan bahwa sebaiknya beliau melanjutkan belajar di Qom karena dianggap lebih baik. Sebab, Hauzah Qom memiliki dua kriteria: Seni mengajar dan seni belajar. Seseorang yang belajar di hauzah ini akan mempelajari dua seni ini sekaligus: dia akan belajar dan sekaligus mengajar serta bertablig/berdakwah. Oleh karena itu, beliau akhirnya berangkat ke Qom dan menghadiri pelajaran guru-guru besar seperti Ayatullah Mujahdiri Tabrizi, Ayatullah Thabathaba’i dan Setodeh Araki selama empat tahun (yang menunjukkan kapasitas dan kesiapan beliau dalam menyerap ilmu) untuk meningkatkan jenjang suthuh (tingkatan tinggi pelajaran Hauzah).

Guru-Guru Besar

Selama melangsungkatan kegiatan belajar, beliau dibimbing oleh guru-guru besar yang mumpuni di bidang ilmu dan fikih, di antaranya: pimpinan besar Syi’ah, Ayatullah al-Uzhma Borujerdi, yang beliaumendapatkan ilmu fikih darinya selama tiga tahun. Beliau juga belajar dari pencetus revolusi Islam, Ayatullah al-Uzhma Imam Khomaini, yang beliau mendapatkan ilmu darinya selama 8 tahun di bidang Ushul. Beliau juga belajar kepada Muhaqqiq Damad selama 12 tahun di bidang fikih dan ushul. Dan asatid  beliau yang lain ialah: Ayatullah al-Uzhma Sayed Muhammad Reza Golpaigani,Ayatullah Sayed hajj Abbas Ali Syahrudi, Ayatullah Hajj Syekh Muhammad Ali Araki, Ayatullah Hajj Ogo Murtadha Hairi Yazdi yang beliau mendapatkan ilmu di bidang fikih darinya selama 15 tahun sehingga mendapatkan perhatian khusus dari gurunya ini. Tidak cukup sampai di sini kesemangatan beliau dalam belajar, pada saat liburan di Hauzah Ilmiah Qom, di musim panas, beliau melakukan perjalanan ke Najaf Asyraf selama 7 tahun di samping berziarah ke situs-situs suci, beliau juga mengambil manfaat dari pelajaran ulama-ulama besar Najaf zaman itu seperti Imam Khomaini(saat tinggal di sana), Ayatullah Khu’i, Ayatullah Syahrudi dan Mirza Baqir Zanjani. (Baca: Ujian dan Pertolongan dari Allah bagi Para Kekasih-Nya Bag. 1)

Mengajar

Ayatullah Alawi Gorgani memiliki usia yang berkah yang dihabiskan untukmengajar,mengarang kitab dan berdakwah. Sejak masa permulaan belajar, beliau sudah mengajar kitab-kitab sastra Arab dan pelajaran keagamaan. Berulang kali beliau mengajar kitab Suyuthi, Mughni, Syarh Syamsyiyah, dan Syarah Nazhm, bahkan pada usia remaja (16 tahun), beliau sudah menulis kitab “Kasyf al-Ghasyiyah ‘an wajh al-Hasyiyah”. Dan sejak tahun 1382 H, beliau mengajarkan jenjang sutuh kitab-kitab seperti Ma’alim, Qawanin, Syarh Lum’ah, dan Sayrh Tajrid dan juga mengajarkan pada tingkatan tertinggi (sutuh ‘aliyah) kitab Rasa’il, Makasib,Kifayah dan Sayrh Manzhumah, bahkan terkadang dalam sehari beliau mengajar empat mata pelajaran. Sehingga pelajaran yang beliau sampaikan terhitung sebagai majelis taklim yang paling favorit dan terkenal di Hauzah Ilmiah Qom.

Salah satu sejarawan Hauzah Ilmiah Qom, lebih dari 30 tahun yang lalu menulis tentang beliau seperti ini: Beliau termasuk ulama terkemuka dan pengajar jenjang tertinggi (sutuh ‘aliy) Hauzah Ilmiah yang dikenal dengan ilmu, ketakwaan dan kebaikan budi. Beliau pada tahun 1405 H–sesuai dengan permohonan sekelompok orang-orang mulia–mengajar pelajaran kharij fiqh (berdasarkan kitab Syara’i al-Islam, karya Abul Qasim Najmuddin Ja’far Muhaqqiq Hilli) dan sampai sekarang beliau telah menyelesaikan bab thaharah dan zakat dan sekarang masih melanjutkan bab kitab sholah, Begitu juga beliau mengajarkan pelajaran berdasarkan kitab Kifayah al-Ushul. Dan selama 40 tahun masa mengajarnya, banyak orang-orang mulia yang mendapatkan sumber ilmu dari beliau dan banyak dari mereka (murid-murud kharij ushul beliau) mengabdi di tengah masyarakat dengan pelbagai profesi seperti: dosen, guru, imam jumat, imam shalat jamaah, hakim, anggota dewan dan sebagainya.[*]

*Oleh: Abu Qadiran

Baca: Ta’qibat Umum Shalat

 

Latest comment
  • masyaallah sangat bermanfaat sekali untuk mengenal para ulama ulama kita.
    bagaimana agar para ulama kita ini lebih dikenal oleh generasi penerus, agar memotivasi generus untuk meneruskan jejaknya?

LEAVE A COMMENT